35. Hukuman

24.4K 3.3K 1.2K
                                    

Erlan menggenggam botol minum ditanganya. Cowok itu membukakan penutup botol kemudian menyodorkanya pada Dira. 

"Minum," ujar Erlan pelan. Matanya mengamati Dira yang tampak diam, lemah duduk di kursi taman rumah sakit.

Dira berdehem, suaranya terdengar serak. Gadis itu mengambil botol minum dari Erlan. Meminumnya karena tenggorokanya terasa kering sekarang. Langit sore mulai nampak, Erlan menemaninya disini sedari tadi.

Dia sudah menanyakan kejelasan kesehatan Dendra. Dokter bilang turun drastis dari sebelumnya, dan menjadi drop. Hal itu juga memicu amarah Mamanya yang semula meredam, kembali tersulut api padanya.

Dira tak mampu menyalahkan siapapun lagi selain dirinya. Memang ini karena Dira, Dendra terbaring koma juga karenanya. Dia sama sekali tak melawan dengan cacian Mamanya tadi. Malah, Erlan yang lebih melawan wanita itu, dibanding dirinya.

Erlan duduk disamping Dira. Khawatir tentu saja, malamnya pingsan, demam tinggi, dan tiba-tiba mendapat cacian serta tamparan dari ibunya sendiri. Erlan tak tau situasi ini, tapi dia paham ini termasuk situasi memojokkan Dira.

"Mau cerita?" ujar Erlan memecah keheningan yang tercipta. Setelah berdebat panjang dengan Mama Dira, Erlan hanya membiarkan Dira menyendiri sampai sekarang.

Dira tersenyum pahit. Kenapa? Kenapa harus dia yang ada disamping Dira saat ini?

"Mungkin gue udah sadar hubungan lo sama keluarga lo itu nggak baik dari awal," ujar Erlan melanjutkan pembicaraanya dirasa tak ada jawaban. Dia sadar jika mengantar Dira kerumah gadis itu, rasanya sikap Dira sangat asing jika bersama bersama kedua orangtuanya. Tapi Erlan tak paham dengan kejadian barusan. Dendra siapa?

"Tapi dia siapa?" tanya Erlan menatap Dira intens. Cowok itu menghela nafas berkali-kali saat Dira hanya memandang kosong kearah depan.

Drtttttt…Drrttttt…

Erlan mengambil ponselnya yang berbunyi. Satu hal yang mampu membuat Dira menoleh kepo siapa yang menelfonya.

Nama Aurel yang terpampang membuat Dira memutar bola mata malas. "Pergi aja, dia lebih butuh," ujar Dira membuat Erlan tersenyum tipis.

Cowok itu mematikan ponselnya, sama sekali tak menjawab pesan dari Aurel. "Jadi gue harus telfon Aurel biar lo ngomong dulu?" 

"Basi," gumam Dira.

"Beneran gak mau cerita?" tanya Erlan sekali lagi.

"Kenapa sih? Kenapa harus lo yang disamping gue sekarang?"

Erlan mengangguk pelan. "Kalau lo emang berat cerita sama gue, anggep aja gue temen terakhir buat lo sekarang."

"Gue masih punya Seina, Rayhan, Yara, kenapa harus lo?"

Erlan terkekeh, mengusap rambut Dira pelan yang langsung ditepis oleh gadis itu. Keadaan taman mulai sepi, keheningan mulai melanda mereka lagi.

Dira melirik Erlan sekilas, apa sebab Erlan diam karena tersinggung? Tak Dira pungkiri, Erlan merawatnya dengan baik kemarin malam sampai sekarang.

"Anggep aja ini terakhir kali kita ketemu."

Gadis itu langsung menoleh kaget. Matanya menatap Erlan dengan tatapan menuntut, meski Erlan sama sekali tak menatapnya. Hal itu membuat Dira menunduk, dia tak punya hak. Lagipula, jika kata Erlan benar, harusnya dia senang kan? Karena dia sendiri yang berbicara ingin menjauhi laki-laki itu.

"Lo mau kemana?" tanya Dira.

"Kalau gue bilang, lo nggak bakal peduli kan?" 

Dira langsung menutup mulutnya. Rasa sesak datang tiba-tiba. Sedangkan Erlan hanya diam dengan pemikiranya. Berfikir mungkin gadis itu benar-benar jengah denganya. Bahkan untuk berbicara sekalipun.

SENIOR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang