48. Reason

3.2K 211 34
                                    


Tolong tandai typo yaa!

Happy Reading

______

Erlan tak bisa untuk sekadar tenang saat ini. Laki-laki itu akhirnya sampai didepan rumah sakit setelah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Ini adalah salah satu hal yang selalu Erlan umpati sepanjang waktu, bahwa tak ada sebuah ketenangan yang mampir dalam waktu lama dalam hidupnya. Baru saja Erlan merasa tenang dengan sebuah kepastian dari Dira, baru saja dia berhasil memikirkan sebuah keputusan tentang hubunganya dengan Aurel, bahkan Erlan sudah membayangkan makan malam dengan sang bunda sambil bercerita banyak hal seperti yang selalu mereka lakukan sebelumnya. Sekarang, Erlan kembali dihadapkan dengan situasi buruk seperti ini.

"Bunda gimana?" erlan langsung berucap to the point kala mendapati sang ayah berjaga didepan ruangan.

"Dia kecapekan. Kata dokter hari ini boleh langsung pulang."

Erlan tak menanggapi apapun, laki-laki itu sempat meirik sinis Shasha yang duduk diam dengan wajah menunduk sebelum masuk keruangan sang ibunda.

"Bunda gak papa."

Suara lemas itu lebih dulu mengambil alih sebelum Erlan membuka suaranya. Erlan menatap wanita itu tak suka. "Gak papa gimana?" jawabnya dengan nada sedikit kesal. Dari sudut matanya saja Erlan bisa melihat wajah pucatnya.

"Lagian kenapa bisa sama dia? Dia kerumah sama anaknya itu?" cerca Erlan.

"Erlan say-"

"Oh? Atau bunda yang datang kerumahnya? Ke rumah lama kita?"

"Erlan-"

"Kenapasih Bunda selalu kaya gini? Stop urusin keluarga mereka!"

"Erlan, udah ya? Bunda masih pusing."

Erlan tak bisa menyembunyikan raut wajah tak sukanya. Namun mendengar suara lemah Fani, Erlan biarkan emosinya perlahan mereda. Cowok itu mengalah hingga memilih mendudukkan diri di sofa sambil memejamkan matanya. "Maaf," ujar Erlan setelahnya.

"Bunda yang minta maaf karena udah bikin kamu khawatir."

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Bundanya tampak lelah dan ingin beristirahat, mata caniknya tertutup dengan deru nafas teratur membuat Erlan tak berani menganggunya. Ada banyak yang ingin dia tanyakan sejujurnya, apa, mengapa, bagaimana, Erlan ingin tau mengapa sang bunda bisa berakhir dengan ayahnya dengan kondisi seperti ini.

Erlan melirik sebentar kearah pintu, berfikir apa ayahnya dan Shasha, sang adik tiri masih disana menunggu mereka. Namun setelahnya dia melengos, untuk apa dia mengkhawatirkan dua orang itu. Daripada memikirkan hal tak penting, Erlan ikut menutup matanya untuk beristirahat sebentar.

"Aku pamit pulang dulu. Erlan sepertinya gak suka aku ada di sini."

Nada lembut itu, Erlan mendengarnya. Dia mendengar bagaimana suara sang ayah berpamitan pada bundanya, atau suara lemah sang bunda yang membalas. Entah sudah berapa menit Erlan memejamkan mata, dia disuguhkan dengan hal ini. Namun matanya tak ingin terbuka sekarang, Erlan tetap dalam posisinya, memejamkan mata dengan telinga yang terus menangkap sebuah pembicaraan yang terjadi diantara kedua orangtuanya. Bahkan hingga pintu ruangan ditutup, Erlan masih diam dalam posisinya, tak merubah apapun kecuali untuk menghela nafas dan tak angkat bicara sama sekali.

Dari sejak dokter memperbolehkan pulang, tak ada pembicaraan yang berarti diantara keduanya. Meskipun begitu, Fani sangat tau bahwa Erlan khawatir padanya. Cara sang ana membantu lewat gerakan-gerakan kecil tanpa perlu dimintai tolong telah menjadi bukti.

SENIOR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang