Aku sarankan baca ulang dulu beberapa chapter sebelumnya yaa...
HAPPY READING!
*****
Nafas Dira terengah usai berlari kencang dari lapangan utama ke area gerbang. Gadis itu menggenggam erat ponselnya. Rasanya kepalanya pusing saat dilempar suatu pernyataan besar. Bahwa Dendra bangun. Kakak laki-lakinya bangun.
Entah rasanya Dira ingin menangis sekarang. Baru 1 Minggu yang lalu Dendra mengalami kondisi kritis yang cukup parah, meninggalkan satu bekas tamparan dipipi Dira. Atau baru kemarin dia menangis didepan ruang rawat Dendra ditemani Erlan.
Dia ingin berteriak kencang melampirkan rasa senangnya. Hari ini benar-benar harinya. Kasusnya disekolah yang sudah diperbaiki, Pandangan orang lain padanya yang mulai membaik, dan Dendra yang bangun setelah sekian lama.
"Papa!" Dira terengah, memegang pintu bagian belakang mobil. Dia bahkan tak menyadari bahwa Chalya sudah duduk dibangku depan.
Dira tersenyum lebar melihat wajah Ayahnya yang tampak bahagia, menatap Chalya gadis itu menahan nafas mendapati Chalya yang sudah meninggalkan jejak air mata dipipinya. Perasaan mereka bertiga sama tentunya. Senang yang tak terkira. Dira melupakan fakta bahwa beberapa hari lalu Ayahnya masih bersikap acuh padanya.
Tak ada pembicaraan yang berarti setelah ayah Dira berujar tentang keadaan Dendra. Mereka tenggelam dengan kebahagiaanya masing-masing seiring mobil melaju cepat menuju rumah sakit.
Dan pikiran Dira mulai melayang kemana-mana, satu hal yang membuat hatinya menjadi kalit secara tiba-tiba. Bagaimana jika respon Dendra soal kecelakaan itu sama dengan respon mereka? Respon ayah dan ibunya?
****
"Tolong jangan terlalu memaksa Dendra untuk berbicara banyak. Kondisinya belum bisa dikatakan baik pasca bangun dari koma. Kami sudah sangat bersyukur melihat keajaiban yang ada dalam diri Dendra hingga kita bisa melihat dia bangun sekarang. Jangan terlalu memaksakan Dendra menanggapi." Dokter berbicara pada ketiga orang yang baru saja datang.
Mama Dira sudah menangis sedari tadi, matanya merah sembab. Dia sudah berada disini sejak awal saat rumah sakit mengatakan bahwa Dendra bangun, dan Dira tebak bahwa Mamanya itu sudah bertemu dengan Dendra sejak tadi.
Dira mundur untuk duduk, mengisyaratkan bahwa dia akan masuk sendiri terakhir nanti, sedangkan dia ingin membiarkan ayah dan kakaknya untuk menjenguk Dendra terlebih dahulu.
Suasana menjadi tegang setelah Chalya dan papanya pergi. Tidak, mungkin hanya Dira. Karena wanita paruh baya yang ada disampingnya ini masih terus menangis mengeluarkan isakan isakan kecil. Meluapkan segala rasa bahagia serta kesedihannya untuk Dendra.
"Maa..." suara Dira seolah tertahan ditenggorokan. Tak ada tanggapan, sepertinya wanita itu tidak mendengar suara Dira.
Dada Dira terasa sesak memikirkan semuanya. Dia masih selalu menyangkal bahwa kejadian ini sama sekali bukan salahnya, dia selalu membenci bagaimana keluarganya selalu membencinya. Tapi melihat punggung Mamanya yang bergetar hebat karena menangis, perasaan bersalah itu muncul lagi tanpa dikomando.
Wanita ini tak segan memaki Dira untuk kesalahan-kesalahan kecil yang dia perbuat, atau pada saat-saat keadaan Dendra dikabarkan kritis atau tidak mempunyai perkembangan, Mamanya akan meluapkan emosi yang dipendam padanya. Satu hal yang tidak dapat Dira lihat sejak Dendra mengalami koma. Bahwa Dira dan Mamanya sama.
Dira hanyalah seorang yang sangat terpukul kala melihat Kakak laki-laki kesayanganya terbaring tak mampu melakukan apa-apa. Dan Mamanya, merupakan sosok ibu untuk mereka, rasa sakitnya mungkin jauh berkali-kali lipat dibanding Dira menghadapi semua masalah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
SENIOR LOVE
Novela JuvenilErlan Anggara, ketua osis di SMA nya sendiri, SMA Cakrawala. Dingin, bermulut pedas, itu yang mereka kenal dari Erlan. Satu lagi, tampan. Semua wanita yang melihatnya akan tergila-gila, tapi tak ada berani yang mendekatinya. Erlan tak bisa tersentuh...