××Author POV××
Matahari meninggi.
Pintu terketuk 3 kali.
"Masuk"
Orang di dalam mempersilakan si pengetuk masuk.
"Oh, sudah datang ternyata"
"Aku mau melapor"
"Iya, tulis saja sini, mau onigiri? Oh, iya kau dapat apa di sana?"
Tangan ramling membuka kancing di bagian perut.
"Hei! Hei! Mau apa-!"
"Aku dapat luka tusuk", katamu dengan santai.
Pria itu terdiam dengan mata terbelalak.
Khawatir berkecamuk di dalam dirinya.
"Na Hwajin?", bingungmu.
"Ka-kau tidak apa? Ayo ke rumah sakit!"
"Ini bukan apa-apa, sudah ditangani, tidak ada rasa sakit, luka menutup dengan baik, tanpa ada infeksi", katamu seperti laporan yang biasa kau lakukan di militer.
"Meski begitu--"
"Aku baik-baik saja", katamu. "Apa aku terlihat tidak baik-baik saja?"
Manikmu menatap datar manik hitam di depannya.
Na Hwajin menelan kalimatnya lagi saat akan keluar dari tenggorokan.
Tangannya hanya menepuk lembut kepalamu. "Lain kali hati-hati"
"Baik, lain kali aku akan hati-hati"
Atmosfir di sekitar kalian hening.
Na Hwajin kembali memakan sisa onihirinya sambil menonton sedang dirimu berkutat dengan kertas dan berkas lain.
Sesekali manik Na Hwajin melirikmu dari sudut matanya.
"Kau terbiasa untuk tidak merasakan sakit?", tanyanya memecahkan keheningan.
"Iya, aku tidak boleh merasakan apapun, emosi apapun itu tidak diperlukan untuk perang, yang ada kawan atau lawan", jawabmu teyap fokus pada kertas-kertas di depan matamu.
"Sejak kapan?"
"Aku sendiri tidak tahu kapan aku lahir, aku tidak ingat apapun tentang orang tua atau keluargaku, mungkin sejak aku seusia anak SD di sini"
"Ingat, kau manusia bukan senjata"
"Aku tahu"
Menjawab tanpa kehilangan fokus.
Itu sudah biasa bagimu.
Apalagi dengan hal yang tidak kau ketahui.
"Oh, lihat ini si Lim Halim"
Na Hwajin ingin membuatmu bersantai sedikit setelah bekerja.
Manikmu teralihkan oleh teman sekamarmu.
"Keren"
"Haha, iya kan?", seketika ide iseng terintas di benak Na Hwajin. "Hei, [y/n] kemarikan telingamu"
"Eh, potongan telingaku?"
"Bukan! Haduh, mendekat sini"
📚📚📚
××Reader POV××
"Saya datang"
"Kakak Lim kerja bagus hari ini"
"Eh?"
Apa aku salah?
Aku lakukan sesuai yang dikatakan Na Hwajin.
Dia bilang, ketika seseorang kagum pada seseorang harus memanggilnya dengan sebutan kakak.
"Ada apa ini?", dia jadi bingung.
"Kakak Lim keren, aku kagum"
"Eh? Eh? Kok tiba-tiba?"
"Haha, lihat ini kau terlihat cantik di sini dan keren"
"Keren dan anggun"
Mukanya jadi merah.
"Malu tahu!"
"Kakak keren meski pidato hafalan"
"[Y/n] jangan ikut-ikut!"
"Aku jujur"
Orang kalau malu seperti ini ya?
Mirip orang demam dan mabuk.
"[Y/n] jangan turuti kata senior!"
"Baik", pipiku dicubit. "Tapi aku boleh memanggilmu kakak kan?"
"Bo-boleh sih, berhenti memujiku terus! Aku malu!"
Kan pujian biasanya buat orang senang.
"Oh, pas sekali [y/n] ada di sini"
"Pak menteri"
Ada apa beliau datang kemari?
Apa aku buat kesalahan?
"Ini parah", berkas diberikan ke Na Hwajin. "Terus [y/n], ini pertama kali kau ke kutugaskan di sekolah agar bisa langsung lihat kinerja keduanya untuk belajar"
"Saya ditugaskan di sekolah?"
"Iya, belajar yang baik ya"
"Saya mengerti"
Aku membaca berkas yang kini di tangan kakak.
Isinya membuat kepalaku sakit.
"Nazisme..."
"[Y/n] kau tidak apa?"
Semakin kubaca membuat kepalaku sakit.
"Maaf kepala saya...agak sakit?", apa yag kulihat barusan?
"Kita bicara sebentar di luar"
"Baik, pak"
Aku mengekor di belakangnya.
Apa tadi ingatanku?
Aku tidak begitu ingat kehidupanku sebelum bertemu komandan.
Yang tadi kuingat hanya...sekilas penyiksaan.
"Tujuanku menugaskanmu di sekolah kali ini"
Kami berhenti agak jauh dari pintu ruangan tadi.
"Karena kau yang paling tahu hal ini dan aku ingin kau menghadapi masa lalumu"
"Masa lalu saya? Tapi saya tidak ingat"
"Aku hanya tahu dari mulut orang, selanjutnya kau dan tubuhmu yang ingat segala yang terjadi padamu meski kau melupakannya sekalipun"
"Saya tidak mengerti..."
"Meski ingatan keji itu terkubur dalam dan membuatmu lupazitu akan bangkit kembali jika ada pemicunya"
Entah kenapa aku merasa takut.
