××Author POV××
Langit biru yng cerah.
Udara yang sejuk.
Angin sepoi-sepoi.
Seger :v
Menikmati hari libur yang damai.
"Sejuk juga di sini~"
"Uhn"
"Pantas saja kau suka di atap begini [y/n]"
"Anginnya sejuk"
"Iya~ banget~ kerjaku bagaimana?"
Salimg bertukar cerita sesama perempuan.
Pekerjaan.
Hal yang lagi ramai dibicarakan.
Gosip :v
Digosok makin sip :v//plak
Lelaki :v
"Aku melihatnya lho di rumah sakit", Lim Halim tersenyum penuh arti. "Dekat sekali kalian ya, kalian bicara apa sampai menangis dramatis begitu?"
"Sarang hayeo"
"Eh?"
"Na Hwajin bilang begitu"
Seketika snack yang dipegang Lim Halim terjatuh dengan aestetic :v
Membeku seketika dengan apa yang dikatakanmu.
Sedang kau masih aeyik makan snack sambil menatap bingung Lim Halim.
"Serius?", tanya Lim Halim.
Kepalamu mengangguk kecil.
"Se-senior sudah tidak masa berkabung?"
"Hwajin bilang, masih melihatku sebagai mendiang Gayoon"
"Terus? Terus?", Lim Halim bersemangat :v
"Saat aku bilang bagaimana perasaanku padanya, Hwajin malah mengira aku melihatnya sebagai mendiang komandan, tapi itu salah, aku melihatnya sebagai Na Hwajin bukan komandan"
Lim Halim mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti.
"Aku tidak tahu kenapa, rasanya seaak saat dia bilang dia masih melihatku sebagai mendiang Gayoon"
"Wah, rumit juga, memang sakit rasanya dibandingkan begitu dengan orang lain, aku tahu itu"
"Dia bilang akan mengatakan itu lagi saat dirinya merasa pantas"
"Hm, hm, memang senior ya"
"Aku bingung..."
"Yah, sebior memang masih dalam masa berkabung, dia jatuh hati padamu dengan posisi yang sama denganmu, dia bingung juga [y/n]"
"Bingung? Kenapa?"
Lim Halim meminum soda sebelum melanjutkan. "Posisi senior sedang berkabung atas kematian Gayoon, lalu kau datang mengisi relung hatinya, tapi dia ragu dan bingung, apa dia pantas mencintai orang lain di saat begini?"
Kau pun mendengarkan dengan teliti.
"Ia merasa, 'apa pantas aku menerima perasaan ini? Padahal aku masih berkabung' seperti itu, bagi beberapa orang rasanya sangat aneh jika orang yang baru saja ditinggal memiliki seaeorang yang dicintainya dalam waktu dekat"
Matamu mengerjap tanda tida mengerti ucapan Lim Halim.
Wanita bersurai merah itu hanya tersenyum melihatmu dan menepuk kepalamu pelan.
"Aku kurang mengerti kakak Lim"
"Nanti juga tahu, aku ambil makanan lagi ya, tunggu sini"
Kepalamu hanya terangguk sebagai jawaban sebelum Lim Halim meghilang dari balik pintu.
Pikiranmu menerawang cakrawala.
Memikirkan maksud perkataan Lim Halim yang tidak bisa kau mengerti.
Setiap kata memiliki arti itu yang kau tahu.
Sayangnya banyak yang tidak kau tahu maknanya.
Tiba-tiba ponselmu berdering.
Sebuah nomor pribadi yang tidak ada nama di sana tertera.
"Halo dengan [y/n]", jawabmu mengangkat panggilan masuk tersebut.
Seketika tubuhmu membeku ketika lawan bicaramu berucap satu kata.
Nafasmu mulai berat ketika kata lain terucap di seberang.
Sebeluk yang ketiga, ponselmu sudah kau lempar hingga hancur.
Keringat dingin mengucur deras ketika suhu tubuhmu meningkat.
Rasanya berat untuk bernafas.
"Nein...ich bin kein waffe...ich bin kein soldatin(tidak...aku bukan sejata...aku bukan tentara)", gumammu.
Kepalamu kau remas untuk menahan rasa sakit di sana.
"[Y/n], aku bawa--[y/n]?"
Lim Halim terdiam di tempat melihat keadaanmi yang kesakitan.
"[Y/n]!"
"Komm nicht zu nahe! (Jangan mendekat!)"
Tanganmu mengisyaratkan Lim Halim untuk tidak mendekat.
"Matikan ponselmu kak!", katamu.
Lim Halim bingung demgan maksudmu, tiba-tiba ponselnya berdering.
"Jangan dijawab!", katamu.
Lim Halim tidak tahu situasi apa yang sedang terjadi sekarang.
Dia memberanikan diri buat melihat panggilan masuk tersebut.
"Ini dari sersanmu!", katanya keyika melihat layar ponsel.
"Sersan Terecia?"
Lim Halim menekan tombol hijau itu dan meloud speaker.
[Da ich bin (ini aku)]
"Sergeant...(sersan)"
[Tarik nafas dan keluarkan perlahan, aku sedang ke tempatmu, aku sudah lacak nomor tadi, aku mengawasimu untuk mencegah hal ini terjadi, yunggu aku, Lim Halim jangan matikan sambungannya]
"Ba-baik!", ujar Lim Halim.
Tak lama suara gemuruh helikopter terdengar dar arah barat.
Mendekat ke arah atap apartemen tersebut.
Seorang wanita melompat dari sana dan berlari ke arahmu dengan buru-buru.
"Sergeant..."
Tanpa basa-basi orang yang kau panggil sersan itu memelukmu.
Membisikkan kalimat lembut yang nantinya membuatmu tenang.
Tapi kau mendorongnya kuat.
Dengan takut kau menatap tanganmu.
Kau hendak mematahkan tanganmu sendiri tapi tidak jadi kala peluru bius dosis tinggi mengenaimu.
"Maaf aku harus melakukan itu [y/n]", gumam Terecia.
Lim Halim yang berusaha mencerna keributan yang terjadi tidak bisa berkata apapun.
"Kau ikut aku sekarang, kita akan menjemput Na Hwajin dan Choi Kangseok di jalan nanti"