29

334 51 0
                                    

Akhirnya selesai juga ngedaftarin di sekolah yang baru, buat Ica sama Uno. Meski jaraknya lumayan jauh dari rumah, tapi setidaknya ada fasilitas antar jemput yang disediakan oleh pihak sekolah.

"Sekolahnya Uno ada AC-nya, A Icih!"

"Iya, A Icih. Sekolahnya bagus banget!"

"Ica sama Uno nanti harus rajin dan giat belajar. Kalo misalnya di sekolah ada yang nakal, lapor aja sama bapak atau ibu guru. Tapi, kalo masih ada yang nakal juga, lapor sama aku. Biar aku pites lehernya!"

"Riichi..." Mas Jimmy noleh ke aku.

"Hheehee..." aku cengengesan.

Sebelomnya, aku, Mas Jimmy, sama Mas Bima, juga udah ngedaftarin Opal sama Amin ke TK yang posisinya gak jauh dari rumah.

Aku bersyukurnya, TK itu merupakan TK islam, jadi mereka berdua bisa sekalian diajarkan juga pendidikan agama sejak masih kecil.

"Opal, nanti kita naik sepeda ya belangkatnya.."

"Iya. Tapi Opal sepedanya yang ada kling-klingannya.."

Wajah Uno keliatan lesu. Mungkin karena dia gak bisa berangkat dengan naik sepeda, seperti kedua adeknya itu.

Masalah sekolah buat keempat adeknya Mas Bima udah teratasi semua. Kini tinggal aku memikirkan, akan seperti apa sekolahku yang baru nanti...?

"A Icih!" Opal menepuk tanganku.

"Ehh, kenapa?"

"Kita mau kemana lagi?" tanya Mas Jimmy.

"Yang masang cctv sama AC udah selesai belom ya, mas?"

"Kayaknya sih belum."

"Jalan dulu kek kemana gitu. Daripada di rumah.."

"A Abim, Opal mau pica..."

"Jangan pica terus, Opal! Enakkan juga mpek-mpek..."

"Uno apaan sih! Kayak kamu suka aja!?"

"Uno suka, Teh Ica."

"Ehhh ---" tiba-tiba aku keingetan sesuatu. "Kenapa kita gak ke Dufan aja ya, mas?"

"Dufan teh apa, A Icih?" Opal menatapku polos.

"Masih jam sepuluh." Mas Jimmy ngeliat jam tangannya. "Mau sekarang?"

"Yaudahlah. Daripada bingung mau ngapain.."

"Teh Ica, Dufan itu apaan?" Amin bisik-bisik.

"Dufan itu Ancol, Amin. Ada banyak permainan disana."

Bloonnya aku ini. Masih hari libur, udah di Jakarta, tapi kok iya gak keingetan sama sekali buat kesana. Meskipun baru sekali aja aku kesana waktu diajak sama Mas Farhan dulu.

Jam sebelasan, kita sampai juga disana. Meski udah hampir tengah hari, ternyata suasana di pintu masuk tuh masih rame banget pada ngantri buat beli tiket.

"Diem aja sih, mas!" aku ngedeketin Mas Bima. "Lagi kepikiran Abi ya?"

"Ehh, enggak kok." Mas Bima salting. "Seharusnya kita gak usah kesini, dek. Kan tiketnya mahal."

"Sekali-kali mas, mumpung aku belom di asrama."

Parfum yang dipakai Mas Bima itu padahal cuma seharga puluhan ribu, gak kayak parfumnya Mas Jimmy yang harganya sampai jutaan itu. Tapi kok, tiap kali deketan sama Mas Bima, aku langsung jadi ngaceng dan deg-degan banget gara-gara nyium parfum di tubuhnya itu ya...?

"Rame, dek. Kita beli tiket premium aja."

"Bisa ya, mas?"

Karena emang akunya gak tau, jadi aku serahin aja sama Mas Jimmy.

A LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang