Karena ada satu hal, jadinya aku mempersingkat waktu liburanku di Bandung.
Tadinya aku mempersilahkan Kak Bima dan keempat adeknya untuk tetap meneruskan liburan mereka, tapi Kak Bimanya gak mau. Padahal aku udah suka rela menawarkan satu kartu kredit milikku, untuk dipegang olehnya.
"Riichi ---"
"Ehh, Ahsan? Ada apa?"
Sikapnya aneh dan mencurigakan banget. Apalagi, dengan diam-diam dia mengeluarkan sesuatu dari balik sweaternya.
"Buat kamu."
"Apaan nih?" aku bertanya padanya, tapi aku sendiri yang ngeliat isi di dalam tas kertas berwarna biru muda itu. "Topi sama sweater?"
"Yaa --- aku rasa ukurannya pas sama kamu."
"Aku gak bisa kasih apa-apa, Ahsan."
"Gak papa. Aku gak pernah mengharapkan imbalan apapun dari kamu kok."
"Hmmm ---"
"Riichi --"
"Ya?"
"Kalo boleh, aku --- hmm --- nomer kamu...?"
Karena gak enak hati, akupun memberikan nomer hapeku. Sekalian juga, aku kasih aja kartu namanya Mas Farhan.
"Coffee shop ini punya Mas Farhan. Tapi, aku kerja disana setiap Jumat sore sampai Minggu."
"Kamu part time ya?"
"Bisa dibilang gitu.."
Ahsan ngangguk-ngangguk. "Kalo gitu, aku pasti mampir."
"Jangan cuma mampir, tapi beli juga."
"Pasti dong, Riichi."
"Riichi, pacarannya udah?"
Seketika mataku memelotot ke Mas Jimmy. "Gak usah dianggep ya. Hheehe.." sialan banget emang Mas Jimmy itu. "Makasih ya, Ahsan."
"Aku juga makasih, Riichi."
Aku jadi orang terakhir yang naik ke mobil. Mungkin, aku akan merindukan saat-saat seperti ini. Bisa pergi liburan bareng, meski disini aku sangat kesiksa dengan udara dinginnya yang luar biasa.
"Opal kenapa cemberut?" tanya Ica.
Opal gak jawab. Dia tetep aja ngadepin wajahnya ke arah luar.
"Opal..." Pas Kak Bima yang panggil, Opal malah nangis pelan-pelan. "Opal kenapa nangis?"
"Opal jangan cengeng. Kan di Bogol juga ada lusa.." kata Amin sambil megangin tangannya.
"Opal mau bobo di tenda ---"
"Nanti aku beliin tenda deh buat Opal.."
"Benelan, A Icih?"
"Bukan buat Amin. Tapi buat Opal."
Aku bisa ngerti banget, kalo mereka pasti sedih dan kecewa. Tapi namanya anak-anak, cukup aku beliin burger sama kentang goreng McD aja, mereka langsung ketawa-ketiwi lagi.
Di perjalanan pulang ini, aku sengaja milih kursi paling belakang. Sementara Kak Bima sama Opal duduk di bangku paling depan, nemenin Mas Jimmy.
Hujan gerimis tanpa henti, menemani perjalanan kami mulai dari kota Bandung sampai memasuki wilayah Kota Bogor kembali.
Ketiga adeknya Kak Bima yang duduk di bangku tengah, semuanya tertidur pulas sekali. Terkecuali Opal yang daritadi terus aja mengoceh tanpa kenal lelah.
Jam lima sore, kami sampai kembali di rumahnya Kak Bima. Baik Kak Bima sendiri, serta kakek dan neneknya, menawarkan atau lebih tepatnya memaksa aku dan Mas Jimmy untuk nginep di rumah mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
A LIFE
أدب المراهقينAku kacau... Kehidupanku juga kacau... Semuanya semakin jadi kacau, saat mereka datang di kehidupanku...