"Tuan ---"
Aku tatap tajam Mas Jimmy. "Sekali lagi panggil aku kayak gitu, aku potong lidahnya!"
Satu hal yang aku lupa saat itu. Ternyata, yang lagi duduk di sekitar meja makan bukan cuma aku dan Mas Jimmy aja. Melainkan ada, Opal dan juga Amin yang kini sedang menatapku dengan wajah mau menangis.
"Kok masih disini? Emang masih mau mangga?"
Opal geleng. "A Icih, besok jadi jalan-jalan ke Puncak?"
"Bukan besok, tapi besokkannya lagi. Kan kita belom belanja bekal, Opal."
Opal sama Amin pun bisik-bisik. Terus, kedua krucil itupun pergi ke depan. Entah mau ke kamar, atau mungkin aja mereka mau merencanakan sesuatu.
"Sebetulnya, ada yang mau saya sampaikan."
"Apa masih ada rahasia yang gak aku tahu?" aku mengemut biji mangga, sambil menghisap sisa-sisa dagingnya yang masih menempel di bijinya. "Kalo soal Mas Jimmy jadi mualaf, aku udah tahu."
"Tuan --- maksudnya, kamu tahu darimana, dek?"
"Mas Bima."
"Hmmm ---"
"Mas Jim ---" aku tatap lagi. "Mas Jim sama Pak Yamada gak beneran jadian kan?"
"Enggak, dek!" Mas Jimmy keliatan gugup. "Pak Yamada itu orangnya baik. Tapi, dia dan saya tidak ada hubungan apa-apa!"
"Owhhh ---"
"Riichi, Opal sama Amin bilang kalo Jumat besok kita mau ke Puncak?" Mas Bima muncul dari ruang tamu.
"Iya, mas. Masa liburan semesteran gak kemana-mana?"
"Uhmmm ---"
"Kalau kamu gak bisa ikut, biar mas yang jagain adik-adikmu."
"Maaf ya Riichi -- Mas Bima. Sebetulnya aku lagi banyak tugas di kampus."
"Mas Bim, kalo udah punya gebetan bilang-bilang loh. Jangan sampai Caesar nungguin terus."
"Mukamu jadi merah, Bim."
"Errngg, enggak mas! Kalo gitu, aku mau gembok pintu pager dulu."
Beginilah kehidupanku yang sekarang. Meskipun pada akhirnya aku tahu, kalo aku terlahir di keluarga kaya, dan masih punya anggota keluarga yang utuh, tapi aku lebih memilih untuk tinggal di rumah yang bisa dibilang sangat sederhana ini.
Aku udah nyaman banget tinggal sama Mas Jimmy dan Mas Bima. Apalagi, setiap hari selalu ramai dengan suara ocehan, canda tawa, ribut-ribut, bahkan tangisan dari keempat adeknya Mas Bima.
Ngomong-ngomong, aku habis beli rumah lagi. Sebetulnya bukan beli sih, mungkin bisa dibilang aku agak sedikit memaksa tetangga sebelah kanan rumahku, agar menjual rumah dan warung kelontongnya itu padaku.
Rencananya aku mau buat kolam renang, dan juga paviliun terpisah nantinya. Paviliun itu maksudnya dibuat untuk tempat kumpul-kumpul, kalo semisal ada teman-teman sekolahku atau teman kampusnya Mas Bima dateng buat main.
Tapi di balik itu semua, aku juga punya maksud tertentu. Supaya aku punya tempat buat ngeseks, biar gak didenger apalagi sampai dicurigai sama keempat anak tuyul itu..!
Hhiiihii...!
"Tuan Noah yang melakukannya, dek."
Aku mengerjap padanya. "Maksudnya, mas?"
"Tuan Noah yang membunuh mendiang kakek anda."
Jujur aku kaget dan syok dengernya. Tapi..., aku berusaha bersikap biasa aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
A LIFE
Teen FictionAku kacau... Kehidupanku juga kacau... Semuanya semakin jadi kacau, saat mereka datang di kehidupanku...