18

422 61 6
                                    

Mas Jimmy tadi ke sekolah aku, buat ngasih surat dokter. Habis ya mau gimana lagi...? Cuma itu satu-satunya jalan supaya poinku gak berkurang di sekolah.

Jam tigaan sore, aku baru aja selesai pulang dari belanja. Syukurnya, selama tadi di pusat perbelanjaan itu, aku sama sekali gak ketemu temen sekolah, apalagi guru-gurunya. Kalo semisal sampai ketemu, udah pasti poinku akan berkurang banyak banget.

Keempat anak itu masih keliatan gembira banget. Sekarang mereka lagi ngebongkar belanjaan. Tanpa memperdulikan aku, yang lagi tiduran di sofa bed karena kecapean.

Ica lagi sibuk nyobain kerudung sama baju muslimnya. Uno sibuk sama buku komiknya. Amin sibuk dengan kartu-kartu bergambar yang entah apa bagusnya sih kartu itu. Sementara itu Opal malah lagi duduk dengan kedua kaki ditekuk ke belakang, dan dengan wajah bingungnya.

"Opal kenapa?" tanyaku.

"Kok kula-kulanya diem aja ya, aa?"

"Mungkin lagi tidur, Pal.." jawabku.

Sambil membawa kura-kura dan rumahnya itu ke toilet, Opal terus aja berceloteh gak jelas.

Hapeku berdering. Kupikir Mas Jimmy. Tapi taunya, Aldi.

'Lo dimana?'

"Di sebuah  tempat.." jawabku asal.

Lalu, suara itu berganti jadi suaranya Mas Doni.

'Riichi, mas sudah tahu semuanya. Mas Minta maaf karena gak percaya sama kamu...'

Aku sontak semangat dong dengarnya.

"Mas tau darimana?"

'Dari ponsel yang ditemukan di gudang. Ternyata di dalam ponsel itu ada rekaman kejadian saat ---'

Langsunglah, aku kasih tahu aja kalo aku lagi ada di hotel yang letaknya persis seberangan sama istana presiden.

"Opal kok kura-kuranya dimasukkin ke wc...?!"

"Biar bisa belenang, Teh Ica.."

"Ihh, nanti mati atuh!"

Aku langsung menghampiri mereka. menyelematkan kura-kura kecil itu, sebelum ada dari salah satu anak-anak itu yang memflush toilet.

"Di dalem situ, airnya kan kotor. Nanti bisa mati kura-kuranya."

Mata Opal berkaca-kaca. Bocah ini beneran sensitif banget. Padahal aku tuh ngomongnya biasa aja. Tapi dia malah mau nangis.

"Aa, boleh belenang lagi di situ gak?" tanya Amin polos sambil nunjuk ke bath tub.

"Iya. Tapi jangan dorong-dorongan ya." ujarku. "Yang mau berenang, barang-barang di kamar di beresin dulu, sambil nunggu airnya penuh."

"Asyikkk...!!"

Enaknya jadi anak kecil. Berendem di bath tub aja, kayaknya pada bahagia banget. Giliran aku yang berendem, apalagi berduaan sama Mas Jimmy, ujung-ujungnya malah entot-entotan gak karuan.

Mereka berempat tau-tau udah pada telanjang aja, ngantri di depan kamar mandi. Ngeliat mereka, persis kayak tuyul yang udah siap nerima perintah dari majikkannya.

"Jangan dorong-dorongan!"

"Iya, A Icih...!"

Hapeku berdering lagi. Kali ini Mas Jimmy yang menelepon.

"Iya, ma ---"

'Riichi, rumah kamu kebakaran...!'

"Kebakaran...?! Kebakaran gimana, mas...?!"

'Mas juga gak tahu. Tadi mas ditelepon sama Pak RT!'

Mas Jimmy merubah panggilang suara jadi panggilan video. Seketika badanku jatuh terduduk, dengan kedua kaki ya g terasa lemas sekali,  melihat kobakaran api yang sangat besar sedang melahap rumah peninggalan mamah itu.

'Riichi...!'

'Riichi...!'

'Tolong kamu jangan kemana-mana dulu! Riichi, kamu dengar kan...?!'

Aku harus cepat-cepat kesana. Meskipun Mas Jimmy melarang, aku harus tetap kesana!

Cklek.

"Riichi..."

Aku menelan ludah. Mataku panas sekali rasanya.

"Mas Doni..."

"Mas baru aja terima kabar, Riichi."

"Rumahku, mas ---"

"Bima mencoba mengakhiri hidupnya. Saat ini kondisinya sedang kritis."





"Riichi..."

Mamah...?

"Kamu semakin tinggi dan tampan, Riichi..."

Om Noah...?

Air mataku mengalir turun. Rasa sesak itu, seolah kian menghimpitku.

"Anak mamah jangan nangis ya..."

"Kuatlah, Riichi. Kuat..."

"Riichi..."

Dani...?!

"Gua minta maaf ya, kalo ternyata gua cuma bisa manfaatin lo doang."

Dan --- Dani...?

"Sampaikan permintaan maaf gua ke Mas Doni. Gua emang gak pernah bisa jadi adek yang baik buat dia.."

Dani, kamu mau pergi kemana...?

"Gua harus pergi, Riichi. Thank's buat semua yang udah pernah lo kasih ke gua.."

"Riichi..."

"Riichi..."

"Riichi..."

Kedua kelopak mataku membuka. Kudapati Mas Jimmy dengan wajah sayunya.

"Dani meninggal..."

"Meninggal...?!"

Seketika aku berlari menelusuri lorong rumah sakit. Pikiranku saat ini seperti benang kusut. Entah bagaimana cara untuk menguraikannya kembali.

Langkahku seketika terhenti. Mendapati Mas Doni sedang nangis sejadinya, persis di depan ruang ICU.

"Mas Doni ---" aku berjalan perlahan mendekatinya. Dari sekian banyak pengawalnya, tak satupun dari mereka yang bisa menghiburnya. Atau minimal membuat tangisnya mereda.

"Mas ---" aku berlutut sampil kuusap punggungnya. Kupeluk dia, meski itu sama sekali tak bisa mengobati rasa kehilangan akan adik satu-satunya yang ia miliki.

"Dani sudah pergi, Riichi..."

"Ikhlas, mas. Kalo itu memang yang terbaik..."

"Maafin mas, Dani --- maafin mas..."

"Riichi..." aku menoleh ke arah lain. "Dokter memberitahu, kalau ---" Ada yang aneh dengan raut dan nada suara Mas Jimmy. "Bima tidak tertolong."

Mataku membulat sejadinya. Namun, Mas Doni-lah yang bangkit duluan.

"Bukannya tadi dokter bilang dia sudah melewati masa kritis?!"

"Pendarahannya cukup hebat. Kondisinya menurun dengan tiba-tiba. Dan nyawanya tidak bisa tertolong."

"Ya Tuhan...!!"

Pranggg...!!

Mas Doni menonjok kaca jendela ruang ICU sampai kaca itu pecah berkeping-keping.

"Mas Doni..."

"Ini semua salahku! Ini semua salahku!"

Darah segar menetes dari kepalan tangan kanannya itu. Aku tahu, pasti dia begitu sedih dan emosi.

Tapi, apa lagi yang bisa kita lakukan sekarang...?

Semua udah menjadi takdir-Nya. Dan gak ada satu manusia pun yang bisa luput dari yang namanya kematian...

• • •

A LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang