Bagian 3. Aku Marah

1.2K 210 3
                                    

Aku marah. Iya, kalian pasti sudah tahu alasannya. Mendadak aku nggak suka dengan banyak orang. Apalagi yang menempeli Kalka dengan sangat erat. Padahal Kalka erat dengan buku. Dengan buku saja aku cemburu, apalagi dengan makhluk hidup yang bernapas dan punya nafsu! Aku nggak suka. Aku yang menemukannya lebih dulu. Ketika orang lain mengabaikannya lantaran dia hanya fokus dengan buku, aku berani menghampirinya. Kalka adalah milikku!

"Kok Milo diem aja?" Ketika istirahat kedua Kalka bertanya. Aku nggak menjawab.

"Ada masalah apa?" Dia bertanya lagi.

"Nggak apa." Aku menjawab juga pada akhirnya.

"Milo sakit?"

"Kalka perhatian, ya!"

"Jadi beneran sakit?"

"Kalka mau ngerawat?"

"Sakit apa?"

Aku menunjuk dadaku. "Di sini."

"Jantung?"

"Ah, di sini!" Aku ganti menunjuk perut sebelah kiriku.

"Hati?"

"Iya, hatiku yang sakit."

"Kenapa sakit?"

"Karena lihat Kalka sama dia. Dia siapa?"

"Yang mana?"

"Yang tadi, yang ngomong sama Kalka di depan kelas."

"Fika. Dia teman saya."

"Temen biasa?"

Kalka mengangguk. Aku menatapnya nggak percaya. Tapi Kalka masih mengangguk kencang. Kalka nggak mungkin bohong. Dia memang nggak bohong. Aku mencoba percaya padanya. Tapi... Fika atau siapa pun itu namanya... dia belum tentu nggak punya perasaan yang sama. Mendadak aku merasa insecure karena perempuan.

"Beneran temen biasa?"

"Iya. Memangnya temen yang nggak biasa yang gimana?"

"Yang ada rasa?"

"Rasa?"

"Seperti aku ke kamu..."

Kalka terkekeh. "Milo selalu saja, ya!"

"Memang harus begini!"

"Kalau terlalu sering bilang, saya menanggapinya seperti bercanda."

"Tapi aku nggak pernah bercanda. Kalau bercanda, aku nggak akan seserius ini."

"Milo pamrih?"

"Juga marah."

"Aih, kenapa marah?"

"Mendadak aku merasa cemas."

"Karena?"

"Karena Fika..."

"Eh?"

"Juga orang lain di luar sana."

"Kenapa?"

"Kalka pernah ditaksir orang? Berapa banyak?"

"Nggak sebanyak Milo!"

Wajahnya berubah. Dari yang bingung jadi cemberut. Aduh, aku nggak tahan! Jangan begitu, Kalka! Nanti aku khilaf! Kalka masih merengut. Aku nggak tahan dengan ekspresinya yang memesona itu. Padahal... Padahal itu ekspresi yang nggak bagus. Tapi aku suka. Mungkin karena wajahnya jadi manis ketika cemberut. Atau karena itu Kalka.

"Kalka tahu dari mana?"

"Karena banyak temen kelas yang bilang Milo keren."

"Oh, ya? Berapa banyak?"

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang