Bagian 11. Kalau Kalka Tanya, Aku Jawab Apa?

843 166 2
                                    

            Aku menelepon Kalka karena terpaksa. Terpaksa menelepon karena sudah benar-benar merindu. Aku nggak tahu kalau pada akhirnya Kalka bisa jadi canduku. Aku rindu dia. Maka meski aku nggak bisa melihatnya, aku mau meneleponnya. Meskipun aku nggak suka. Nggak betah. Kalau sudah dengar suaranya nanti, aku pasti ingin lebih. Aku rindu pokoknya!

"Jadi... tadi Kalka lihat aku main basket, kan?"

"Iya."

"Suka?"

"Suka. Milo keren mainnya."

"Kagum?"

"Iya."

"Makin cinta, nggak?"

"Eh?"

"Siapa tahu aku bisa membuat kamu jadi fans utamaku."

"Milo hebat, ya!"

"Kalka... aku sayang kamu."

"Kan Milo sering bilang."

"Aku nggak akan bosen."

"Tadi Milo keren."

"Aih... Aih... aku terpesona!" Aku tergelak senang. Kalka menghela napas. Aku mendengarnya berbisik pelan. Tapi aku nggak bisa dengar. Padahal aku juga penasaran. Kenapa Kalka jadi begitu? Kenapa dia sepertinya...

"Kalka kenapa hari ini?"

"Saya kenapa?"

"Kalka kayak punya beban berat."

"Beban saya sudah berat sejak dulu, Milo!"

"Memikirkanku yang nggak berat, Kalka. Merindukanku juga nggak akan berat."

"Aih, Milo kayak Dilan!"

"Dilan nggak lebih keren dariku. Dilan nggak jago main basket. Bukan pemain nasional juga."

"Milo mulai jumawa?"

"Aku harus menunjukkan kelebihanku di depan kamu."

"Aih..."

Aku cemburu. Aku cemburu pada lelaki nggak dikenal bernama Dilan. Aku cemburu bukan karena Dilan lebih terkenal dariku. Nyatanya aku lebih ganteng daripada Dilan. Kisah cintaku juga nggak seperti Dilan. Tapi aku cemburu karena Kalka membandingkanku dengannya. Aku dan Dilan beda! Dan aku harus jadi spesial di mata Kalka. Satu-satunya. Jadi tolonglah! Jangan ada Dilan atau manusia lain di antara kita. Kita adalah kita. Aku dan kamu. Bukan kami, bukan aku dan dia.

"Jangan sebut nama orang lain, Kalka!"

"Siapa?"

"Dilan. Aku nggak suka."

"Kenapa nggak?"

"Karena aku cemburu."

"Kenapa cemburu? Saya kira kamu dan Dilan mirip."

Aku merasa kesal mendadak. Ingin kubanting teleponku. Lalu ingin kuhampiri Kalka dan kucubit pipinya.

"Dilan nggak seganteng aku."

"Aih, saya tahu!"

"Dilan nggak bersatu dengan Milea."

"Ah, itu... tapi kan..."

"Dan aku nggak berharap punya ending seperti Dilan dan Milea."

"Lalu seperti siapa?"

"Yang bahagia. Yang bersama. Selamanya."

"Kayak cerita negeri dongeng, Milo?"

"Itu terlalu fantasi."

"Tapi saya suka fantasi."

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang