Bagian 19. Dan Kubilang Sayang Untuk Mengingatkamu

1K 167 7
                                    

            Kalka menyendiri. Maksudnya, aku dan dia nggak bersama seperti dulu lagi. Teman-temanku penasaran kenapa aku nggak terlihat keluyuran di kelas Kalka lagi. Mereka menduga kami sedang bertengkar. Aku mencoba menjelaskan kalau aku sibuk. Memang aku sibuk. Tim basket putri lolos seleksi grup. Artinya, mereka tinggal melaju ke putaran selanjutnya. Riri menangis ketika mengatakan itu padaku.

"Ada sepuluh grup yang lolos. Salah satunya tim sekolah kita, Milo. Dan sepuluh tim itulah yang akan bertanding lagi. Kami masuk sepuluh besar."

"Selamat, selamat!"

"Kami nggak nyangka! Padahal... kami kira kami bakalan kalah hanya di seleksi grup aja! Kamu bayangin gimana tertekannya kami!"

"Iya, kalian pantas menang. Tim kuat itu tim yang bisa kerja sama dan kompak."

"Iya. Makasih, ya, Milo!"

"Ongkos konsultasi sejuta. Aku potong karena harga temen."

"Idih!"

"Nanti aku nonton. Sore, kan?"

"Iya. Sekalian kamu beri nasihat, dong!"

"Jangan jatuh cinta selama pertandingan! Kalau patah hati, sakit rasanya!"

"Aih, curcol!"

Aku tersenyum masam. Aku sedang baper dan sensitif akhir-akhir ini. Sudah tiga hari sejak hari itu. Sejak Kalka dan aku membuat kesepakatan bodoh yang membuat kami jadi makin jauh. Rasanya?

Kalau kalian tanya bagaimana rasanya... aih, aku hidup saja sudah untung!

"Nanti beneran datang, lho, ya!"

"Iya, iya! Aku juga lagi suntuk, nih! Butuh hiburan!"

Riri melambai pergi setelah itu. Sekarang tinggal aku sendiri. Duduk manis di gazeo sekolah. Hanya karena Riri ada di sini, bukan berarti aku lupa. Kalau saja Kalka datang dan nangis seperti dulu ketika aku bicara dengan Riri, sumpah aku ingin melakukannya lagi!

Tapi kasihan kalau Riri jadi pelampiasan dan sumber isengku semata!

Ketika sore, aku datang untuk melihat pertandingan. Riri dan yang lain melambai ke arahku. Aku diajak turun. Pelatih memelukku erat.

"Harusnya kamu tanding juga!" kata beliau.

"Saya bukan cewek, Pak!"

"Ish!"

Aku tergelak dan duduk bersebelahan dengan pelatih. Riri mengangguk pelan. Dia dan yang lain harus bersiap-siap.

"Waktu tahu Gita sakit, Bapak pusing."

"Iya, Riri nanya ke saya. Maaf, lho, Pak... saya nggak bermaksud nyerobot profesi."

"Nggak apa. Bapak kan fokus sama putra. Gara-garanya... mereka down duluan lihat musuhnya."

"Tapi mereka menang, kan?"

"Tipis banget. Kalau tim musuh nggak melakukan kesalahan, mungkin kita nggak bakalan menang."

"Aih!"

"Jujur, Bapak masih sayang kalau kamu keluar waktu itu."

"Sebenernya... saya nggak ada masalah kalau harus masuk tim."

"Lalu?"

"Tapi Bapak tahu sendiri saya nggak pinter. Jadi kalau nggak masuk tim aja udah nggak pinter, apalagi kalau masuk..."

"Iya juga!"

"Selain itu... saya bosen."

"Bosen kenapa?"

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang