Bagian 9. Boleh Lebih Deket, Nggak?

1K 166 13
                                    

            Kalka mampir. Begitu melihat Kalka, mamaku terlihat sangat bahagia. Karena dia ramah dan santun. Beda dari teman-temanku yang biasanya mampir. Kalka mengucapkan salam, memperkenalkan diri, lalu mencium punggung tangan mamaku. Aduh, aku bangga tanpa sebab mendadak! Kalka masuk ke dalam kamarku. Semalam aku mati-matian merapikannya. Nggak ada salahnya terlihat rapi di depan Kalka. Bahkan sudah kusemprot parfum biar wangi.

Kalka melangkah masuk ke dalam kamarku. Lalu dia duduk manis di atas kasurku. Ya ampun! Kamar. Kalka. Tidur. Aduh, aduh!

Kombinasinya serasi sekali!

Ingin kutiduri! Aduh!

"Kalka..." Aku membawa minuman. Kalka mendongak, tersenyum.

"Jangan repot-repot, Milo!"

"Kan kamu tamu."

"Biasa aja..."

"Nggak biasa, ah!"

Kalka tersenyum. Jemarinya membuka album-album fotoku. Aih, dia melihat foto masa kecilku. Dia melihat aku bugil! Aih, aih!

"Kok Kalka lihat itu?"

"Iya. Ingin tahu."

"Waktu aku ke rumah kamu, aku belum lihat."

"Milo nggak tanya."

"Kalau tanya dibolehin lihat?"

"Nggak boleh. Malu."

"Tapi Kalka lihat punyaku."

"Hehehe..."

"Itu foto masa laluku."

"Tapi imut."

"Iya, kalau yang sekarang udah nggak imut. Udah perkasa."

"Milo, ih!"

"Kalka mau lihat?"

"Aduh..."

"Boleh lihat, tapi nanti gantian aku lihat juga punyamu."

"Milo, ih!"

"Jangan begitu, Kalka! Kita harus adil."

"Milo, ah!"

"Jangan banyak ngomong 'ih-ah', Kalka! Nanti aku mikir jelek."

"Contohnya?"

"Kalau Kalka ngomong gitu di bawahku."

"Aih..."

"Kalka peka maksudku, ya? Aku kira Kalka polos."

"Kan sudah ada di buku."

"Soal yang mana?"

"Buku Biologi."

"Apa diajarin desahan juga?"

"Nggak, sih..."

"Berarti Kalka baca dari tempat lain."

"Hehehe..."

"Apa yang diajarkan bukumu itu, Kalka?"

"Banyak."

"Contohnya?"

"Jangan banyak percaya gombalan!"

"Apa aku terdenger gombal padamu, Kalka?"

"Iya. Begitu."

"Padahal aku serius."

Kalka bungkam. Jemarinya meraih gelas es teh di depannya. Dia teguk isinya. Jakunnya naik-turun ketika menelan. Lelehan es tehnya turun dari sudut bibirnya. Aku jadi mikir yang nggak-nggak. Aku jadi orang paling mesum. Di kamar ini.

"Di masa depan nanti Milo mau apa?"

"Kerja, sukses, lalu bawa Kalka."

"Bawa saya? Ke mana?"

"Hidup berdua. Mengikat janji."

"Saya nggak bilang iya, Milo."

"Aku paksa."

"Saya nggak suka dipaksa."

"Aku suka maksa, kok!"

"Aih, Milo!" Kalka menggerutu. Aku tersenyum geli. Mungkin Kalka menganggapku bercanda, tapi sebenarnya nggak. Kalau memang takdir berpihak di tempatku, maka semuanya akan baik-baik saja.

"Kalka..."

"Iya?"

"Aku nggak tahu kenapa bisa sayang sama kamu."

"Memangnya kalau sayang harus ada alasannya?"

"Nggak harus, ya?"

"Iya..."

"Kalau gitu, kapan Kalka sayang aku?"

"Saya sayang kamu, Milo."

"Sebagai apa?"

"Sebagai..."

"Teman."

"Saat ini iya."

"Tapi kamu pernah cium pipiku."

"Saya sudah biasa cium pipi Kak Galih..."

"Dan kamu anggap aku kakakmu?"

"Nggak..."

"Kalau gitu... anggap aku apa?"

"Untuk saat ini teman spesial."

"Aih... Kan Kalka udah tahu..."

"Tapi saya sering dengar."

"Bosan?"

"Anehnya nggak."

"Kalau gitu aku akan terus bilang."

"Bilang apa?"

"Kalau sayang Kalka."

"Sering?"

"Iya."

"Di depan umum?"

"Iya."

Kalka mengembuskan napas berat. Dia mungkin malu kalau aku berbuat seperti itu. Tapi jujur, mengklaim Kalka sebagai milikku sangat menyenangkan. Aku berharap begitu. Aku nggak mau Kalka terlalu berpikir. Aku ingin dia bahagia. Tapi... kebahagiaan harusnya lengkap. Meski orang lain terkadang benci dengan kebahagiaan kita. Aku hanya percaya kalau Kalka akan mendapatkan kebahagiaannya suatu hari nanti. Kalau bukan denganku bagaimana? Aku bisa memaksa. Otak dan logikaku tumpul kalau berhubungan dengan Kalka.

"Apa yang Milo suka dari saya?"

"Hm? Kenapa tiba-tiba tanya begitu?"

"Karena saya bingung."

"Mungkin karena kamu manis." Aku berdusta dengan alasanku, namun nggak berbohong dengan fisiknya. Dia memang manis. Aku cinta dia tanpa peduli dia manis atau nggak.

"Kalau saya nggak manis?"

"Nggak apa. Aku tetep cinta."

"Jadi, Milo suka saya karena apa?"

"Nggak tahu."

"Kenapa nggak tahu?"

"Belum cari tahu."

"Mau cari tahu kenapa?"

"Nggak masalah. Nggak usah alasan untuk cinta kamu."

"Kenapa obrolan kita jadi ambigu, ya, Milo?"

"Nggak apa. Kalau makin ambigu aku makin suka."

"Kenapa makin suka?"

"Karena Kalka bisa senyum."

"Saya dibenci karena saya manis."

"Aku cinta kamu meski kamu manis."

"Tapi saya nggak semanis itu."

"Nggak peduli. Pokoknya aku suka." Aku mengangguk mantap. Pertemananku dan Kalka mulai berbahaya daripada sebelumnya.

TBC

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang