Bagian 10. Berani Sekali Merampas Waktu Kami

1K 167 1
                                    

            Kata orang, kebahagiaan di dunia itu semu. Aku nggak boleh terlalu terlena dengan rasa bahagia. Dan mungkin ada benarnya. Sekarang kebahagiaanku mulai terlihat mencurigakan. Aku kira aku akan berdua bersama Kalka. Namun ternyata aku salah. Ada orang lain yang berniat memisahkan kami. Waktuku dan Kalka akhirnya dikorbankan. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

Tiba-tiba aku dipaksa mengajari tim basket putri sekolah. Padahal aku nggak sejago itu. Ah, lumayan, sih! Aku pernah masuk tim basket Nasional tingkat SMA, meski pada akhirnya aku mengundurkan diri. Aku harus fokus sekolah. Mama nggak setuju aku sibuk dengan basket dan mengorbankan sekolah.

Bahkan aku yang berhasil membawa nama sekolahku jadi juara satu. Setelah aku mundur, sekolahku jarang mendapatkan juara satu lagi. Paling bagus juara tiga. Itu juga dengan usaha yang sangat keras. Maaf, aku sombong! Tapi memang aku harus begitu! Hanya itu yang bisa membuatku bangga. Nanti kalau aku hebat, Kalka akan semakin memujiku!

Berkali-kali aku dipaksa masuk lagi ke tim. Tapi mamaku masih keukeh menolak. Bahkan meski pelatih tim datang ke rumah untuk minta izin, mamaku masih enggan memberi izin. Mama bilang aku harus fokus dengan sekolah. Nanti kalau sudah lulus, aku diperbolehkan memilih mau jadi apa.

Aku nggak terlalu mencintai basket. Aku hanya menjalankan instingku. Melempar bola ke ring. Kalau masuk ya bagus. Kalau nggak masuk, ya aku coba lagi. Karena jiwa santaiku terhadap basket ini orang-orang menganggap aku terlalu meremehkan. Padahal aku nggak begitu.

"Latihan dulu, ya, Milo! Ajarin temen-temen kamu yang mau lomba ini! Bapak minta tolong sama kamu..." Pelatihku memohon. Aku nggak tega menolak.

"Kapan, Pak?"

"Pulang sekolah nanti. Pertandingan sudah makin dekat."

Aduh, nanti aku nggak bisa mengantar Kalka! Padahal biasanya aku antar dia kalau aku sedang mood bawa motor. Apa aku antar Kalka dulu, lalu aku balik ke sekolah?

"Bapak minta tolong banget, Milo! Soalnya tim cowok juga butuh latihan intens."

Kasihan pelatihku! Tapi hatiku jauh lebih mengidamkan Kalka. Kalau aku telantarkan dia, aku nggak tega.

Karena itulah aku mengunjungi Kalka ketika bel istirahat berbunyi. Kalka masih sibuk mengisi absensi. Katanya dia jadi sekretaris yang baru. Sekretaris yang lama pindah sekolah. Jadi Kalka jadi sekretaris dua. Temannya bilang tulisan Kalka bagus. Kalka juga rajin.

"Lagi sibuk?" Aku duduk manis di depannya. Kalka mendongak, lalu mengangguk sambil tersenyum.

"Kalka..." bisikku lagi.

"Iya?"

"Nanti... aku ada acara."

"Iya, terus?"

"Nggak bisa anterin kamu balik."

Kalka mengangguk. "Saya bisa pulang naik angkot."

"Tapi aku nggak suka."

"Kenapa nggak suka?"

"Karena aku terkesan ninggalin kamu."

"Tapi kamu ada acara. Nggak baik ninggalin."

"Nggak tanya acara apa?"

"Nggak. Pasti acara penting."

"Tapi nggak ada yang lebih penting dibanding kamu, Kalka."

"Aih!"

Kalka tersenyum lembut. Aku jadi makin nggak tega. Kalau nanti dia dipepet tukang jual ayam yang bau keringet gimana? Kalau dia nanti panas di dalam angkot gimana? Kalau dia ketiduran di angkot gimana?

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang