Bagian 8. Kalka Main ke Rumah

917 185 10
                                    

            Kalka sudah masuk sekolah. Dia masih naik angkot seperti biasanya. Aku mengikutinya, melangkah pelan di belakangnya. Kalka menghentikan langkah mendadak. Kali ini dia baca buku matematika. Aku nggak tahu apa yang Kalka baca di sana. Nggak ada huruf, hanya ada angka. Ah, huruf juga ada! Ada rumus juga!

Kalka mendadak menoleh. Aku tersenyum spontan. Cowok itu balas tersenyum ke arahku. Aih, manisnya! Pagi-pagi saja dia begitu memesona!

"Milo... masih lihat tengkuk saya?"

Aku menelan ludah. Dia ingat!

"Iya."

"Biar nggak lihat gimana?"

"Kenapa nggak boleh lihat?"

"Nggak apa."

"Trus?"

"Saya malu."

"Makin malu makin memesona."

"Milo nggak mau jalan di samping saya?"

Aku menggeleng. Aku berjalan di belakangnya biar bisa mengawasi. Kalau ada yang macam-macam, aku tumbuk!

"Nggak. Malu."

"Aih, kita sudah biasa bersama."

"Aku gugup."

"Kemarin Milo ke rumah, dan kita sudah biasa ngobrol."

"Kalau jalan, aku lebih suka lihat tengkuk kamu."

"Nggak suka lihat lainnya?"

"Kalau dari belakang bisa lihat semuanya."

"Kan nggak bisa lihat wajah saya."

"Nggak masalah. Kamu sering noleh ke arahku. Aku nggak perlu cemas untuk itu."

"Tapi saya canggung. Dilihat orang nggak enak."

"Abaikan aja mereka!"

"Tapi saya ingin jalan di samping Milo."

Langkahku makin lebar ke arahnya. Kakiku menyejajarinya. Kalka tersenyum. Kalau bisa, aku ingin menggandengnya. Tapi aku lupa kalau kami ada di depan umum. Sebenarnya hatiku nggak mempermasalahkan. Sayangnya aku masih peduli. Kalka butuh masa SMA yang tenang. Nanti, kalau kami sudah sukses, aku mau gandeng dia sesukaku.

"Aku udah di sebelah kamu. Kita jalan bareng."

"Sampai besok-besok, terus begini, ya!"

"Artinya nggak apa aku buntuti kamu?"

"Nggak apa, Milo. Saya sudah biasa."

"Kalau peluk kamu?"

"Boleh. Kita berdua sama-sama cowok."

"Tapi aku peluknya pakai rasa."

"Saya nggak ada masalah."

"Kamu nggak apa kalau deket-deket sama orang yang naksir kamu?"

Kalka mengedikkan bahu. "Saya punya banyak teman gay. Dan mereka jauh lebih baik pada saya dibanding teman saya yang lurus."

"Tapi aku nggak gay, Kalka. Aku hanya mencintai satu lelaki. Kamu."

Kalka menunduk. Pipinya bersemu. Aih, ingin sekali kubawa pulang! Aku sayang sekali padanya. Kalka menghela napas. Dia kembali melangkah. Aku menyamai langkahnya. Kakinya lebih pendek daripada kakiku.

"Kalka..."

"Iya?"

"Di matamu aku ini apa?"

Kalka menaikkan alisnya. "Apanya yang apa?"

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang