Bagian 2. Aku Cemburu. Boleh?

2.2K 216 15
                                    

            Kalka masih setia dengan bukunya. Mendadak aku ingin jadi buku. Aku ingin selalu dibaca olehnya. Tapi aku lupa sesuatu. Aku nggak mau jadi buku pelajaran. Aku nggak suka belajar. Aku orang yang baik. Jadi aku nggak mau membuat orang lain pusing karena harus membaca pemikiranku. Aku kasihan pada Kalka yang harus menebak apa yang kutanyakan. Padahal aku sudah tahu jawabannya. Aku nggak setega itu pada orang lain. Terlebih orang yang kusayangi.

Makanya aku nggak mau jadi buku pelajaran. Aku mau jadi Milo saja! Remaja SMA biasa, yang ganteng seperti ini.

"Nanti pulang naik angkot lagi?" tanyaku, masih membuntuti. Aku sadar kalau tingkahku mungkin terlihat mengganggu. Mirip tokoh-tokoh novel. Ah, aku juga sempat baca novel "Dilan" yang terkenal itu. Biar aku punya inspirasi menggaet Kalka.

Sayangnya Kalka nggak jual mahal seperti Milea. Kalka juga nggak punya buah dada. Kalka punya wajah yang lebih manis daripada Milea. Mata Kalka lebih besar. Bulu mata Kalka lebih panjang. Hidungnya lebih mancung. Bibirnya lebih tipis. Pokoknya Kalka lebih apa pun dibanding Milea.

Dan seharusnya aku pun harus lebih daripada Dilan.

"Iya, naik angkot lagi, Milo."

Aku suka kalau dia memanggil namaku.

"Kok nggak naik bis?"

"Bis udah jarang. Turunnya nanti di terminal. Lama nunggu penumpang."

"Naik angkot menyenangkan?"

Dia mengangguk. Aku senang ketika dia bicara. Atau kalau dia mengangguk saja aku juga senang. Dia bernapas saja aku sudah bersyukur. Pokoknya Kalka adalah makhluk paling sempurna di mata Milo.

"Sejak kapan kamu naik angkot?" Kalka mencoba mencari obrolan. Aku bersemangat mendadak.

"Sejak lihat kamu."

"Aih, alasan macam apa itu?"

"Aku sungguhan."

"Saya nggak paham."

"Kamu tahu dari mana kalau aku penumpang baru di dunia per-angkot-an?"

"Saya sering lihat kamu naik motor, lalu menyalip angkot yang saya naiki."

Mendadak aku bahagia. Entah kenapa!

"Kamu sering lihatin aku, ya?"

"Sering."

"Eh?"

"Kamu sering keluyuran di sekitar saya."

Ah, iya! Kalau diingat lagi, sejak kapan aku kenal Kalka, ya? Ah, ingat! Ingat! Waktu itu Kalka sedang duduk manis di gazebo. Lalu bola basketku melayang ke arahnya. Aku batuk-batuk, memberi isyarat agar Kalka melemparkannya. Aku malas melangkah untuk mengambil. Tapi Kalka nggak bergerak.

Aku gemes.

"Bisa tolong ambilkan bolaku?" Aku mencoba sesopan mungkin. Kalka menggeleng waktu itu, lalu dia menunjuk bola basketnya.

"Bolanya menggelinding terus. Saya sungkan mau ngejar. Panas," katanya.

Idih, aku mendadak keki! Lalu aku melangkah sendiri, mengambil bolaku. Ketika aku lewat di depannya, mendadak aku suka. Dia tersenyum, tapi bibirnya berbisik pelan.

"Maaf, ya!"

Aih, dia sopan sekali!

Sejak saat itu aku suka mengejarnya. Dia selalu saja tersenyum ketika aku mengajaknya bercanda. Meski kadang nggak lucu. Dia terus tertawa. Tawanya lucu. Aku ketularan tertawa juga. Mataku selalu mencari di mana keberadaan Kalka sejak saat itu.

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang