Bagian 12. Jangan Buruk Sangka, Nanti Tuhan Marah!

842 169 1
                                    

            Mungkin aku sudah gila. Aku gila karena membayangkan Kalka cemburu. Khayalanku terlalu tinggi. Bahkan aku ingin melihatnya langsung. Setelah Kalka diam, aku mencoba menyimpulkan. Sayangnya Kalka bilang dia ngantuk. Telepon terputus. Padahal aku masih kangen.

Lalu keesokan harinya aku menemui Kalka di kelasnya. Baru semalam telepon, tapi aku sudah kangen. Pokoknya aku nggak tahan! Aku datang ke kelasnya. Kalka masih sibuk dengan bukunya, meski kadang ada teman yang mengajaknya ngobrol. Aku mengamati karena aku ingin tahu bagaimana ekspresi Kalka.

Lalu dia tersenyum.

Aih, aku cemburu!

"Kalka!" Aku memanggilnya spontan. Kalka menoleh ke arahku. Bibirnya melongo. Lalu kepalanya berpaling.

Aduh, aku merasa auranya mencurigakan! Dia nggak senyum ketika melihatku. Aih, ada apa ini?

"Kalka!" Aku memberanikan diri melangkah ke kelasnya. Para cewek tersenyum ke arahku. Aku nggak peduli. Mungkin mereka senyum karena sudah kenal aku. Atau karena mereka naksir. Aku hanya peduli pada orang di depanku ini.

"Ada apa?" Nadanya jadi dingin sekali. Aku nggak suka.

"Kalka kenapa?"

"Nggak apa. Ada apa?"

"Kamu dingin."

"Saya masih seperti biasanya, Milo."

"Kalka sakit?"

"Nggak."

"Kenapa ngomongnya beda?"

"Saya memang beda ngomongnya."

"Kenapa?"

"Nggak apa."

"Kalka marah?"

"Karena apa saya marah?"

"Aku nggak tahu, makanya nanya."

"Saya nggak apa."

"Jangan bohong!"

"Untuk apa saya bohong?"

"Kenapa kamu ngomongnya dingin? Dan ketus?"

"Saya nggak ketus."

Aku nggak tahan lagi. Teman-teman Kalka mulai memperhatikan kami. Aku menarik lengannya. Kalau dia nggak mau bilang karena malu, aku mau bawa dia pergi. Tapi Kalka yang sekarang bukan Kalka yang biasanya. Aku sudah tahu. Makanya dia menepis tanganku.

"Saya harus belajar. Jam kelima nanti ada ulangan."

"Kamu bohong!"

"Mana mungkin saya bohong!"

"Jam kelima bahasa Indonesia. Gurunya nggak masuk karena sakit. Beliau juga ngajar di kelasku."

Kalka bungkam.

"Ayo ikut!" Aku menariknya pergi. Nggak paksa. Aku takut dia sakit. Dia mengikuti langkahku. Kami sampai di dekat lapangan basket.

Aku mau dengar Kalka kenapa. Kalau dia marah karena salahku, aku mau minta maaf. Aku nggak mau Kalka membenciku.

"Kamu kenapa, Kalka?"

Kalka menghindari tatapanku. Dan aku tahu dia punya masalah. Tapi aku belum peka apa masalahnya. Apa mungkin karena dia kesal dengan kejadian kemarin? Atau semalam aku salah ngomong?

"Aku salah ngomong, ya?"

Kalka menggeleng pelan. "Omongan Milo selalu lucu. Jadi nggak mungkin saya marah."

"Apa gara-gara kemaren? Aku mengabaikan kamu, biarin kamu sendiri nunggu di pinggir lapangan sampe sore?"

"Saya yang nunggu karena inisiatif sendiri."

Jokes In Our BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang