Part 12

101K 11.4K 1.7K
                                    

WARNING : HAI! SEKIRANYA KALIAN TIDAK SUKA CERITA INI, LANGSUNG SAJA SKIP TAPI  JANGAN DIREPORT. AKU BUATNYA SUSAH LOH PAKE MIKIR JUGA. MOHON KERJA SAMANYA YA 🙏

~Sejumput Dendam Rana~

Rana mencebikkan bibir menatap ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Semenjak ada Ayah mertuanya peran Rana sebagai satu-satunya bagi Onad sedikit tergeser. Sekarang Onad lebih suka bersama Ayah mertuanya. Bahkan tadi Onad menolak Rana dan lebih memilih untuk dimandikan oleh Grand Panya. 

Hal itu tentu disambut antusias oleh Ayah mertuanya, membuat Rana kesal sendiri. Bukan kesal karena Onad lebih memilih mandi bersama Grand Panya, Rana kesal karena dia tidak diajak. Bukannya semakin ramai semakin asik? Padahal Rana sangat profesional dalam hal mandi memandikan, sayangnya Ayah mertuanya itu tidak tahu saja bakat terpendam Rana.

"Ran." panggilan dari arah kamar mandi membuat Rana melotot dan menelan ludahnya susah payah.

Apakah Ayah mertuanya itu mendengar jeritan hati Rana? Lalu meminta Rana bergabung dan bergoyang di dalam sana. Astaga ini tidak benar! Walau Rana sudah tidak pernah dibelai dan sedikit membutuhkan belaian namun Rana cukup sadar kalau ini tidaklah benar. Apa bedanya Rana dengan Damar jika begini? 

"Ran kamu dipanggil dari tadi gak nyaut-nyaut." protes laki-laki yang mengenakan handuk baju berwarna putih yang mendekat ke arah Rana.

Degh,

Jantung Rana berdetak begitu kencang begitu mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh Ayah mertuanya, baju handuk yang menampilkan sebagian dada yang ditumbuhi rambut, belum lagi rambutnya yang basah membuat Rana menelan ludah. Sial! Alarm bawah sadar Rana berbunyi keras sekarang. 

"Rana!" panggil laki-laki yang mengenakan baju handuk itu sembari menepuk pelan pundak menantunya yang hanya terus menatap ke arahnya tanpa berkedip itu.

"Jangan Pah, Rana mohon. Ini salah! Rana tau kalau Rana memang calon janda bahenol yang butuh belaian tapi gak gini caranya Pah. Jangan nodai Rana Pah. Ingat Rana ini menantu Papah sendiri." ujar Rana sembari menggelengkan kepala. 

"Ran,"

"Rana gak mau Pah. Jangan nodain Rana."

Pletak

Satu jitakan hinggap pada kepala Rana, siapa lagi pelakunya kalau bukan laki-laki yang sedang bersungut-sungut menatap sebal menantunya itu.

"Gak mau, gak mau tapi kancing bajunya dibuka." cibir laki-laki berbaju handuk itu sembari menyilangkan kedua tangannya di dada membuat Rana menggaruk tengkuknya salah tingkah.

Tidak ini bukan salah Rana. Ini salah tangan Rana yang nakal membuka kancing kemejanya sendiri.

"Namanya juga inisiatif, Pa." 

"Inisiatif gundulmu! Kalau ada setan lewat gimana? Saya itu laki-laki normal, Ran. Mau kamu beneran saya apa-apain?" bukannya menggeleng Rana yang terfokus pada bulu dada sang Ayah mertua malah mengangguk-anggukan kepala tanpa sadar.

Melihat bulu dada milik Ayah mertuanya itu sungguh membuat Rana ingin menolong mereka dengan membebaskannya dari baju handuk Ayah mertuanya yang terlihat begitu menganggu. Bagaimana kalau bulu halus pada dada Ayah mertuanya itu cidera karena tergencet baju handuk? Sungguh ini tidak bisa dibiarkan. Rana takut bulu dada Ayah mertuanya punah, padahal menurut Rana bulu dada Ayah mertuanya itu adalah aset yang perlu dilestarikan.

"Rana!" 

"Ayo, ah enggak maksud Rana bulu dada, eh gak mau Pah."

"Kamu ini kalau ngomong sama saya ambigu banget, Ran. Saya jadi enak."

Sejumput Dendam RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang