Part 5

114K 12.8K 1.3K
                                    

Riuh suara peluit berpadu dengan tepuk tangan seorang pria kecil membuat perempuan bersurai hitam di sebelahnya segera memalingkan wajah, menatap ke arah langit-langit rumah seraya menggigit bibir bawah dengan mata berkaca-kaca. Berharap cara itu bisa menahan laju isakan yang sudah siap pecah. 

Bukan karena tak senang melihat anak semata wayangnya begitu antusias bisa mengeluarkan suara dari peluit namun hatinya begitu ngilu. Selama ini dirinya mengira jika Onad sudah menerima takdir tentang kekurangannya, nyatanya Onadnya juga tersiksa karena keterbatasannya dalam berbicara.

Pukk

Sebuah tepukan membuat Rana menoleh lalu kembali memfokuskan diri pada pria kecil di sampingnya.

"Kok berhenti niup peluitnya, Sayang?" tanya Rana membuat Onad menggeleng lalu menunjuk Rana dan telinganya sendiri secara bergantian. Seakan menanyakan apakah suara nyaring peluit membuat sang Ibu terganggu.

Pecah sudah, isak yang mencoba ditahan sekarang runtuh. Awalnya hanya isakan kecil namun sekarang perempuan bersurai hitam itu sudah sesegukan. Ibu mana yang hatinya tak hancur saat melihat buah hatinya menunda ueforia yang meluap dalam dirinya, hanya karena takut jika ibunya terganggu? 

"Enggak Mama gak terganggu sama suara peluitnya Onad. Malahan Mama seneng banget Onad bisa ngeluarin suara. Lihat Mama sampe nangis karena terharu banget liat Onad. Gantengnya Mama pinter banget sih." lirih Rana membuat Onad tersenyum dan mengelus pelan lengan Rana. 

"Iya, Mama gak bakal nangis lagi. Nih Mama udah senyum." 

Melihat Rana tersenyum, lelaki kecil itu ikut tersenyum begitu lebar hingga matanya menyipit dan gigi-gigi susunya ikut terlihat. Begitu menggemaskan membuat Rana segera menciumi pipi gembul milik anak semata wayangnya itu.

Drrrttt... Drrrrtt...

Suara yang berasal dari ponselnya membuat Rana beranjak, begitu mendapati jika panggilan itu berasal dari suaminya. Rana memilih abai, terlalu malas meladeni ucapan dari laki-laki kurang ajar itu. Paling dia ingin menceramahi tentang kejadian tadi sore dimana Rana memukuli bagian vital suaminya itu secara membabi buta. Toh Rana sudah bertanggung jawab dengan mengantarkan Damar yang ditemani Nirmala ke rumah sakit. 

Masalah nanti tentang keselamatan keris berharga milik Damar, Rana tak peduli. Bukankah balasan yang pantas untuk penjahat kelamin adalah dengan menghancurkan hal yang bisa membuatnya menjadi penjahat kelamin? Bahkan Rana rasa itu belumlah cukup adil, mengingat kejahatan yang dilakukan Damar sudah tidak dapat diampuni lagi.

Tok
Tok
Tok

Suara ketukan pintu membuat Rana menghela nafas panjang. 

"Onad duduk sini dulu ya? Jangan gerak-gerak nanti jatoh. Mama mau bukain pintu." pamit Rana membuat Onad mengangguk dan mulai bermain dengan peluitnya lagi.

Setelah pintu terbuka, sebuah senyum ramah Rana sajikan untuk perempuan paruh baya yang menatapnya dengan penuh amarah itu.

"Eh, ada Mama mertua."

"Kurang ajar kamu, Rana! Apa yang kamu lakuin ke anak saya?" 

"Cuma ngasih pelajaran buat burung nakal anak kesayangan Mama mertua doang kok." ujar Rana dengan raut wajah yang sengaja di polos-poloskan.

"Lihat aja Ran, kita akan bawa ini ke pengadilan atas kasus penganiayaan. Biar kamu membusuk di penjara."

"Ih takuut. Tolong jangan penjarain aku Mama Mertua. Aku mohon ampuni aku. Aku akan melakukan apapun tapi jangan penjarain aku. Mau denger aku ngomong gitukan?" ejek Rana di sertai kekehan kecil.

"Kalau ngancem itu dilihat dulu dong orang yang diancem itu siapa. Kalian pikir aku orang bodoh yang bertindak tanpa berfikir? Sayangnya kalian salah, bahkan aku sudah mempersiapkan semuanya. Silahkan tuntut atas kasus pengniayaan. Dan aku akan tuntut balik kalian. Kasus perzinahan ditambah kecurangan-kecurangan yang selama ini dilakukan perusahaan. Bukankah akan seru ketika suami beserta dua istrinya sama-sama membusuk di penjara?"

Sejumput Dendam RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang