Part 49

50.6K 7.8K 2.7K
                                    

Kuda saja saya tunggangi, apalagi kamu
~Daniel

~Sejumput Dendam Rana~

Gemuruh pecutan langit bergema, getarkan seluruh jumantara. Riaknya begitu terasa menembus jiwa sang penyandang duka lara. Mengapa takdir cintanya tak seindah liuk goresan tinta dalam sebuah cerita romansa yang selalu berakhir bahagia.

Berbanding terbalik dengan alur takdir Karmila malah berakhir tragis, cintanya yang manis dibalas gempuran kesakitan yang begitu sadis. Pedih, perih, memilukan kala penantian panjang malah dibalas dengan untaian kata perpisahan.

"Mas! Aku hanya meminta sebuah keadilan, tapi kenapa malah sebuah perpisahan yang kamu tawarkan?" lirih Karmila dengan mata berkaca-kaca.

"Padahal selama ini aku tidak pernah menuntut apapun! Aku selalu menurut dan patuh dengan apapun yang kamu katakan. Dan sekalinya aku mengutarakan apa yang ada dalam hatiku kenapa balasanmu begini, Mas!"

Karmila memukul dadanya pelan,"Lihat aku, lihat aku, Mas! Lihatlah seorang istri yang merendahkan diri memohon suaminya kembali di hadapanmu ini. Apa tidak ada sedikit saja belas kasihmu untuknya? Apa tidak ada setitik saja rasa ibamu untuknya?"

"Tidak,"

"Mas!" jerit Karmila memilukan. Perkataan  Daniel memang begitu singkat, namun efeknya sedahsyat ombak yang sanggup meluluh lantakkan batin Karmila yang sudah remuk tak terbentuk.

Haruskah Daniel sejujur ini? Tidak bisakah sedikit saja menahan laju indra tak bertulang yang selalu berhasil menguliti lawan itu?

Karmila menghela nafas pelan, "Dua puluh tahun! Dua puluh tahun aku mendampingi kamu, selalu ada untuk kamu. Tidak pernah menuntut dan selalu menurut dengan kamu, tapi kamu dengan teganya menggadaikan dua puluh tahun kita dengan kata perpisahan? Ini tidak adil, Mas! Ini sangat tidak adil."

Jelas Karmila tidak terima, jika dua puluh tahun pengabdiannya harus berakhir duka nestapa. Kalau pun memang ada perpisahan, harusnya Ranalah yang menerima bukannya Karmila. Bukankah sudah hukum alam jika pertama akan menjadi tempat berpulang, sedangkan dia yang datang tak diundang hanya sebagai singgahan yang cepat atau lambat berakhir disingkirkan.

Karmila menggigit bibir bawahnya, berharap mendung yang menyelimuti netranya tak mengucur turun. Dirinya harus tetap terlihat kuat, meski hatinya sudah tak karuhan. Bayang-bayang perpisahan mulai berkelut dalam benaknya, akan di bawa kemana hidupnya nanti jika Daniel benar-benar beranjak pergi.

"Mas,"

"Tapi kalau dipikir-pikir memang benar apa yang kamu katakan, mengingat dua puluh tahun belakangan ini tidak benar jika saya menawarkan sebuah perpisahan," ujar Daniel membuat senyum Karmila mengembang, nafasnya yang terasa sesak perlahan melonggar. Untaian kata dari Daniel bak angin segar yang mampu memompa kembali semangat Karmila yang mulai mengendur.

"Akhirnya kamu sadar, Mas."

Daniel mengangguk, "Iya saya sadar, sadar jika kata perpisahan tidaklak cocok untuk menggambarkan kondisi diantara saya dan kamu yang tidak pernah menjadi satu."

Senyum Karmila meluntur, permainan kata yang Daniel mainkan bak roller coaster yang mampu membawa Karmila melambung tinggi sebelum dihempas tepat ke dasar bumi.

"Sepertinya sebutan dua orang asing yang berjalan masing-masing lebih cocok."

"Mas!"

Sejumput Dendam RanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang