Suasana di ruang keluarga kini penuh dengan suka cita. Bersamaan dengan tersiarnya kabar si jabang yang mereka nanti-nantikan bakal berjenis kelamin laki-laki. Sungguh sebuah kabar amat sangat membahagiakan bukan? Bahkan senyuman tak hentinya luntur dari bibir mereka yang disana, berpesta pora saling bertukar canda. Merayakan euforia yang tak terkira.
"Makasih, Sayang." ujar Damar sembari mengecupi leher belakang milik Nirmala. Membuat perempuan itu tanpa sadar mendesah lirih.
Bahkan sepasang calon orangtua itu tidak memperdulikan jika di ruang keluarga terdapat dua pasang mata yang mengamati mereka. Kedua orang itu tak peduli, bagi mereka dunia seolah hanya milik berdua. Lihatlah sekarang posisi mereka berubah menjadi sang istri berada di atas pangkuan suaminya dan tak sungkan untuk saling berpagutan bertukar saliva.
"Biasa ya Jeng Mila. Kalau lagi jatuh cinta mah begitu, dunia serasa milik berdua. Kita mah ngontrak." kekeh Sari membuat Karmila mengangguk menyetujui perkataan dari besannya itu.
"Abisnya gimana ya Jeng Sari itu bentuk luapan kebahagiaannya Damar. Bahkan bukan cuma Damar, saya aja juga seneng banget bentar lagi dapet cucu laki-laki. Ah jadi gak sabar buat segera gendong cucu."
"Lohkan Jeng Mila udah punya cucu. Si itu tu." ucap Sari seraya memeragakan gerakan tangan bertepuk tangan dengan menjulurkan lidah. Seolah mengejek cara berkomunikasi milik Onad.
"Si cacat itu? Aduh Jeng jangankan ngakuin cucu, deket-deket aja saya alergi rasanya. Udah bisu mana gak bisa jalan lagi. Nyusahin gitu ya saya ogalah Jeng Sari."
"Sama Jeng, saya kalau punya cucu kayak dia mah udah saya buang jauh-jauh. Selain nyusahin, juga malu-maluin. Gak kebayang kalau banyak orang yang tau keadaan anak itu. Udah pasti keluarganya Jeng Mila yang terpandang ini bakalan turun kasta. Pasti banyak yang mencemooh deh Jeng, gak kebayang saya."
Karmila mengangguk menyetujuinya. Itu juga yang menjadi salah satu alasan Karmila tidak pernah mengespos maupun berdekatan dengan cucunya sendiri. Dirinya bahkan terlalu jijik walau hanya sekedar bersentuhan kulit. Sungguh Onad itu merupakan aib, momok menakutkan yang harus dijauhi.
"Nah itu juga Jeng. Saya tu udah lama sebenernya pengen buang anak itu. Tapi ya si Rana itu bengal banget dibilangin gak dengerin sama sekali. Malah pake bilang cacat itu anugrah. Ya kali anugrah kayak begitu." ujar Karmila begidik ngeri mengingat pertengkarannya dengan Rana.
"Udah gak usah dipikirin itu si cacat itu Jeng. Sekarang yang perlu Jeng Mila pikirin itu calon cucu kita yang berada di dalam rahim Nirmala. Yang nanti lahirnya pasti jadi anak yang sempurna, gak bakalan cacat apalagi malu-maluin. Secara keluarga kita itu bibit unggul Jeng."
"Iya Jeng. Mending kita mikirin soal cucu kita aja. Oh ya minggu depan kita belanja buat baju-bajunya calon jagoan kita ya Jeng."
"Apa enggak kecepetan, Jeng Mila? Inikan kandungannya masih empat bulanan." tanya Sari membuat Karmila mengerutkan kening.
"Kok empat bulan sih Jeng tiga bulan." koreksi Karmila membuat Sari menggaruk belakang telinganya yang tak gatal.
"Yakan sekarang itungannya minggu Jeng. Enggak bulanan lagi, jadi ya maklum udah tua jadi susah ngitung." alibi Sari membuat Karmila mengangguk menyetujui.
Memang sekarang kalau periksa ke dokter menggunakan hitungan minggu dan itu sedikit menyulitkan bagi Ibu-ibu produk lama seperti mereka.
"Damar," panggilan itu membuat Damar memfokuskan diri pada Ibu mertuanya.
"Ya, Mi?"
"Jadi kapan kamu cerein si Rana? Kandungan milik Nirmala semakin lama semakin besar, kalau kamu nunda terus takutnya keburu lahiran."
![](https://img.wattpad.com/cover/283038884-288-k791578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejumput Dendam Rana
UmorismoTentang Rana yang harus menerima kenyataan pahit. Saat suaminya harus menikah lagi dengan anak dari pendonor ginjal untuknya. Hingga satu tahun berlalu, takdir membawa Rana kembali masuk dalam keluarga mantan suaminya. Bukan sebagai menantu tapi seb...