OD 15 : Hari ini, ya?

19.1K 1.8K 18
                                    

"Senyum aja terus," tegur Oka, mendengkus melihat kelakuan kakaknya.

Acara lamaran terjadi kemarin malam, tetapi Odeiva tak bisa berhenti tersenyum kala mengingat bahwa dirinya akan segera menikah, dan tidak perlu repot-repot memikirkan cicilan. Meski begitu, Odeiva mengatakan kepada Lansaka ingin tetap bekerja meski telah bersuami.

Lelaki itu mengiyakan, tidak melarang sama sekali. Odeiva senang bukan main, sebab setelah dipikir-pikir, selain gajinya, Odeiva pun mendapatkan uang bulanan. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Ini yang namanya surga dunia, apalagi Odeiva mungkin bisa meng-upgrade penampilannya jauh lebih berkelas. Jangan lupakan soal bulan madu, Odeiva sudah membayangkan akan diajak ke luar negeri, mengisi unggahan instagramnya dengan foto-foto estetik, bak selebgram.

Dari semua itu, ia lebih menunggu respons para teman-temannya saat melihat betapa mewah kehidupan barunya. Ah, Odeiva sangat antusias, ingin sekali pernikahannya dipercepat, besok atau lusa, ia sangat siap melakukan hal tersebut.

"Ma! Kakak gila, Ma!" teriak Oka, sembari meninggalkan meja makan dengan langkah panik.

Odeiva mendengkus, adiknya itu mengganggu acara halusinasinya. Ngomong-ngomong, ia sengaja tidak mengunggah foto saat lamaran, sebab tak ingin ada orang yang tahu dulu. Biarlah akan menjadi kejutan saat mengantarkan undangan.

"Kamu kenapa, Dei?" Derap langkah mamanya terdengar mendekat, "kata Oka, kamu jadi gila."

Berdecak, Odeiva menoleh, matanya langsung bertemu dengan Oka yang menatapnya ngeri. Tangan terangkat, memberikan kode pada sang adik untuk mendekat. Saat Oka mendekat, tangannya terulur menjentikkan di jidat si adik tanpa ampun.

"Susah banget liat orang seneng," ucapnya, kesal.

Oka mengusap jidatnya yang terasa perih. "Habisnya Kakak senyum-senyum sendiri, gimana aku nggak panik, coba?"

Odeiva beranjak dari duduknya. "Ma, aku mau belanja. Mau titip apa?"

Tiwi tersenyum cerah. "Tunggu, Mama catat dulu."

"Kakak mau belanja? Oka ikut, ya." Terdengar suara membujuk dari sang adik.

Odeiva melirik, menjitak adiknya yang tinggi menjulang melewati tingginya. "Uang jajanmu banyak, ya. Jangan nambah-nambah beban."

Oka mencebikkan bibir, tak ingin menyerah, segera berlayut manja di lengan kakaknya. "Nggak minta macam-macam, kok. Aku rela jadi tukang bawa barang Kakak, asal beliin pomade, sama parfum. Punyaku udah habis, Kak."

Hati kakak mana yang tidak akan luluh, apalagi selama ini adiknya bersikap baik, kuliahnya pun tak pernah terdengar bermasalah. Maka Odeiva mengangguk untuk mengiyakan. Ia mengalihkan pandangan pada sang mama yang sibuk di meja makan, menuliskan sesuatu di atas kertas.

Matanya hampir keluar dari tempat, pasalnya tulisan Tiwi sudah melewati batas kertas. Odeiva rasa, gajinya bulan ini akan sekarat. Hanya helaan napas berat yang diberikan, tak bisa menegur atau memarahi. Pasrah.

***

"Sumpah, belanjaan Mama banyak banget," keluh Oka, "mana pakai kertas pula, padahal bisa lewat chat. Kalau kayak gitu kelihatan banget tuanya."

Odeiva yang tengah memilih bahan makanan sesuai permintaan mamanya, sempat terganggu dengan keluhan Oka yang berdiri di sampingnya sembari memegang troli. Bukan suara Oka yang menggangu, tetapi ucapannya soal penggunaan kertas yang terkesan tua.

Ia jadi ingat pada Lansaka yang memberikan secarik kertas tertulis alamat rumah. Senyumnya tak bisa ditahan, lelaki itu benar-benar bersikap terlalu tua. Padahal, masih sangat muda. Usia baru menginjak 27 tahun, bahkan belum kepala tiga. Odeiva sendiri heran, mengapa bisa tak mengikuti zaman yang sudah lebih mudah.

"Anterin belanjaan Mama dulu ke mobil, habis itu kita beli pomade dan parfum."

Odeiva tak ingin mengambil risiko, membawa banyak belanjaan masuk ke toko satu, dan keluar di toko yang lainnya. Setelah keluar dari supermarket yang ada di lantai bawah, ia mengajak Oka untuk mengantarkan belanjaan membludak itu ke mobil terlebih dahulu, barulah setelahnya pergi mencari apa yang keduanya butuhkan.

"Kak, kalau udah nikah, sering-sering kirimin duit, ya. Aku denger calon suami Kakak orang kaya," ujar Oka, yang masih setia mengikuti Odeiva dari belakang.

Ia hanya bergumam sebagai jawaban. "Perbaiki nilai, ini kesempatan kamu buat kerja di perusahaan itu."

Odeiva merasa nasihatnya seperti orang tua yang mengajak anaknya untuk berperilaku jahat, merampas harta orang lain dengan cara perlahan, tetapi pasti. Ia sendiri sering mendengarkan hal ini dari drama kolosal.

"Tapi Kakak masih bakalan kerja, 'kan?"

"Siapa yang mau diam terus di rumah," jawab Odeiva, "udah semua kayaknya, tinggal lipstik sama bedak." Mengabsen satu per satu apa yang tertulis di kertas dan juga yang dimasukkan ke dalam troli.

Bagian membayar adalah yang paling membuat jantung berdebar, Odeiva takut uangnya tak cukup untuk keperluan sendiri. Oleh sebab itu, saat berada di depan kasir, dirinya hanya bisa pasrah, dan mencoba ikhlas jika saja ia tak bisa membeli pakaian baru untuk digunakan ke kantor.

Saat menunggu antrean, Odeiva sempat mengecek ponsel, Lansaka mengirimkan sebuah foto. Seorang perempuan yang mengenakan kaus putih, hot pants, dan sepatu putih. Odeiva jelas mengenal perempuan itu, seketika dirinya mengedarkan pandangan mencari seseorang yang mengambil gambarnya tengah berbelanja.

Mas Lan :
Kirim no. Rek kamu.

Odeiva mengerutkan kening, berpikir bahwa lelaki itu tengah melakukan kejahatan.

Mas Lan :
Aku kirim uang buat belanja

Seketika Odeiva melotot, mengapa bisa lelaki itu sangat peka dengan keadaannya. Ia kembali melihat ke sekitar, mencari si penguntit kurang ajar yang tidak ingin menampakkan wajah. Odeiva mendengkus, dikirimnya sederet angka kepada lelaki itu.

Anda :
Makasih, nanti aku ganti. Gajian bulan depan.

Biar bagaimana pun Odeiva merasa segan menerima untuk saat ini. Jika sudah menikah, mungkin lain lagi ceritanya. Maka dari itu ia ingin mengganti dengan gaji bulan depan, sebab sekarang uangnya benar-benar akan habis untuk menyenangkan mama dan adiknya. Jika tidak meminjam saat ini, maka Odeiva terancam tidak bisa membeli keperluannya berupa pakaian dan skincare.

Mas Lan :
Udah masuk?

Odeiva segera mengecek notifikasi, sederet nominal yang tak bisa dilunasi dengan gaji sebulan, membuatnya seakan ingin berhenti bernapas. Delapan digit angka berjejer, terpisahkan dengan dua titik.

Anda :
Ini kebanyakan Mas!

Mas Lan :
Buat adik ipar kalau kebanyakan.

Odeiva ingin membalas, tetapi tangannya ditarik oleh sang adik.

"Ngapain, sih, Kak. Dari tadi udah maju, loh," tegur si adik, "tunggu, Kakak HP baru?"

Tidak menyahuti, Odeiva fokus pada layar ponsel yang masih menampilkan deretan angka tersebut. Seumur hidup, baru kali ini rekeningnya berisi uang sebanyak itu.

"Kakak kenapa, sih?" tanya Oka, setelah merasa tidak dihiraukan oleh sang kakak.

Odeiva memperlihatkan layar ponselnya, Oka memicingkan mata mencari jawaban di sana. Detik itu mata hampir keluar dari tempatnya saat mengetahui apa yang membuat Odeiva tercengang.

"Dari siapa?" tanya Oka, penasaran.

"Mas Lan." Odeiva hanya bisa membeo, masih terkejut dengan saldo rekeningnya.

"Wuah, aku jadi bayangin bakal dibeliin mobil sama calon kakak ipa—au!" Oka mengelus kepalanya yang lagi-lagi dijitak oleh sang kakak.

**

Lagi-lagi aku nggak ngedit, ya.

Typo bertebaran, dan pasti ada kata-kata yg nggak nyambung.

Vote dan komen guys!

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang