OD 16 : Lah?

17.7K 1.8K 20
                                    

Odeiva membiarkan Oka memilih parfum dan segala keperluan laki-laki sendirian, sedangkan dirinya sibuk memilih make-up yang berada di dalam lemari etalase. Sebagai seorang asisten, Odeiva memang harus memperhatikan penampilannya, sebab ia akan bertemu dengan client dalam beberapa kesempatan, jangan lupa direksi yang ada di kantor.

Untuk riasan, Odeiva sendiri bukan penggemar lipstik, ia hanya memiliki dua lipstik yang digunakan bersamaan. Namun, hari ini Odeiva malah menjadi kalap, sebab saldo rekeningnya bisa membuat hari ini berfoya-foya.

"Kebetulan atau rencana?" tanya seorang wanita yang berada di sebelahnya.

Odeiva menoleh, terkesiap melihat Veronika tersenyum padanya. "Tante," cicitnya.

Beliau pasti mengetahui tentang dirinya yang mendapatkan rezeki nomplok, dipergoki sedang berbelanja, membuatnya malu bukan main. Odeiva memang memiliki sifat suka pamer, tetapi bukan dengan pemberian orang lain.

"Eh, udah di sini ternyata," imbuh seorang lelaki.

Tubuh Odeiva, belum cukup dengan kedatangan Veronika yang tak terduga, sekarang kehadiran Lansaka membuatnya tak bisa berkata-kata. Odeiva menelan saliva, entah akan menyembunyikan di mana wajahnya ini.

"Mas," Odeiva berdeham, "belanja juga?"

Lansaka mengangguk. "Tadi ketemu di bawah, tapi aku nggak negur. Soalnya alis kamu kelihatan banget lagi mikir keras, takut kena semprot."

Veronika tertawa mendengarkan itu. "Kamu ini."

Odeiva hanya bisa tersenyum, menghargai candaan Lansaka yang seperti menyindirnya. Ya, memang benar bahwa tadi Odeiva tengah berpikir keras, antara mengiyakan pesanan sang mama, atau egois ingin beli baju baru.

"Dei mau apa? Biar Tante yang traktir," ucap Veronika, beralih pada lemari etalase.

"A-aku cuma nemenin adik di sini, nggak mau beli apa-apa." Odeiva sengaja berkilah, tak ingin dicap perempuan matre karena telah menerima uang dan sekarang mengiyakan traktiran.

"Adiknya mana?" Veronika bertanya, sembari mengedarkan pandangan.

"Lagi beli pomade," jawabnya, "Tante mau beli make-up?"

"Iya, nih."

"Biasanya Tante pakai yang dari brand apa?"

"Dari Giorgio, maskara Tante udah habis."

Mendengar merek yang diucapkan, Odeiva hanya bisa menahan napas. Apalah daya dirinya yang memakai maskara tak sampai seharga seratus ribu. Odeiva mengikuti Veronika dari belakang, sedangkan Lansaka menyetarakan langkah mereka.

"Yakin, nggak mau beli?" Lansaka bertanya seperti menggoda.

"Maskaraku belum habis," ujarnya, "ah, Mas makasih yang tadi. Nanti aku cicil bayarnya."

Lansaka tersenyum tipis. "Nggak perlu, itu buat kamu."

Veronika berbalik, menatap mereka berdua. "Kalian bisa pergi berdua, nanti kalau udah selesai, Bunda telepon Mas."

Odeiva menggigit bibirnya, jika dihitung, seminggu dua kali jalan berdua. Persentase bertemu sudah sangat sering di luar kantor, tetapi Odeiva tidak pernah merasa bosan. Jika dipikir-pikir, ia mulai terbiasa dengan kehadiran Lansaka di sebelahnya.

"Kita susul adikmu, aku juga mau beli pomade."

Ia mengangguk, menuruti keinginan lelaki itu. Mereka berjalan bersisian, menuju bagian kebutuhan laki-laki. Kehadiran Oka langsung terlihat begitu jelas, di mana adiknya itu tengah menenteng keranjang belanja yang telah disediakan, sembari memilih-milih apa yang akan dibeli.

Alangkah terkejutnya Odeiva saat melihat keranjang Oka begitu penuh. Ia memalingkan wajah, tak mampu menatap wajah Lansaka sebab merasa sangat malu melihat kelakuan adiknya. Odeiva yang gengsi bukan main, menjaga harga diri dan menahan nafsu untuk berbelanja, tetapi ternyata Oka dengan seenak jidat ingin menghabiskan saldo rekeningnya.

"Eh, Kak!" seru Oka, tanpa rasa malu, "loh, ada Mas Ipar ternyata."

***

Odeiva membolak-balikan katalog di hadapannya, menatap serius dalam pemilihan dekorasi pelaminan. Ternyata keluarga Lansaka sudah lebih dari kata siap, sebab Veronika datang sendiri ke ruangan Lansaka dan memberikan katalog tersebut.

Ia tak menyangka akan masuk dalam tahap ini, membayangkan berada di pelaminan dan disaksikan banyak orang, membuatnya tak bisa berhenti sumringah. Odeiva menantikan ekspresi teman-temannya, mantan pacar, dan mantan crush, yang pasti tidak akan menyangka bahwa Odeiva diam-diam menyiapkan pernikahan.

"Suka yang mana?" tanya Lansaka.

"Eemm... masih bingung." Odeiva menjawab jujur.

Ini adalah acara sekali seumur hidup, tak bisa menimbang secara singkat. Waktu istirahat sudah hampir habis, Odeiva masih membolak-balikan katalog, sedangkan Lansaka setia berada di sebelah perempuan itu tanpa protes sedikitpun.

"Kalau serba putih?" Odeiva menunjuk gambar yang sedari tadi diperhatikannya.

"Aku terserah kamu," kata Lansaka, menatap Odeiva tepat di manik mata.

Ditatap begitu, membuat Odeiva segera melepaskan pandangan sepihak. Mungkin dirinya sudah biasa dengan keberadaan Lansaka, tetapi ditatap begitu dekat membuatnya tak tenang. Entah sejak kapan, jantung ini tak kuat menahan pesona lelaki itu.

"Itu kasian makanannya dianggurin," Lansaka menunjuk makan siang Odeiva yang dianggurin sejak tadi, "kamu nggak lapar?"

Sebenarnya Odeiva merasa lapar, hanya saja karena antusias memilih dekorasi, lapar itu seketika menghilang. Ia meraih kotak makan itu, memangku dan mulai membuka. Makan siang gratis, Lansaka yang memesan dan dirinya tinggal menyiapkan diri untuk mengunyah dan menelan.

Sejak perjodohan ini, Odeiva menjadi irit membeli makan siang, sebab ada Lansaka yang mentraktir. Sudah sebulan lamanya, dan lelaki itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti membelikan makan siang.

"Ngomong-ngomong, Oka suka dengan pemberianku?" tanya Lansaka, memulai topik baru.

"Dia apapun suka, sih, kalau itu gratis."

Odeiva mengunyah makanannya dengan sangat cepat, sebab waktu istirahat akan segera berakhir. Di sofa ini mereka berdua lebih sering menghabiskan makan siang bersama, dibandingkan keluar kantor. Lansaka menggunakan jasa take away, sementara itu Pak Hanif yang selalu mengambil di lobi jika Mas Ojol telah datang.

"Dia seangkatan Langit?"

Odeiva berpikir. "Kayaknya enggak, deh. Oka dua bulan lalu sembilan belas tahun, Langit dua puluh, 'kan?"

Lansaka mengangguk. "Hampir seangkatan. Tapi pasti mereka bakalan berteman baik."

Hanya senyum yang bisa Odeiva berikan, sebab tak tahu menanggapi apa. Adiknya itu matre, benar-benar matre, sedangkan Langit punya segalanya. Jika mereka berteman dan terus bersama, sudah pasti adik Odeiva hanya akan menjadi parasit. Seperti dirinya sekarang.

Ia tak menginginkan hal itu terjadi, akan sangat memalukan jika dua bersaudara menyusahkan dua saudara dari kalangan orang kaya. Odeiva merinding saat membayangkan, dipercepat makannya, kemudian menenggak air sampai habis.

"Kalau udah nikah, Li, mobilmu kasih Oka aja. Aku beliin kamu mobil baru," ujar Lansaka, terdengar sangat santai, "kasihan dia curhat sering kepanasan pulang pergi Jakarta-Bandung naik motor. Belum lagi kehujanan."

Odeiva merutuk adiknya itu, yang dengan sengaja menceritakan kesusahan keluarga mereka, dan sialnya malah mendapatkan simpati. Baru begini saja Oka sudah melakukan hal luar biasa, apalagi jika Odeiva dan Lansaka sudah menikah dan Oka dekat dengan Langit. Entah akan Odeiva sembunyikan di mana wajah cantiknya ini.

"Kamu nggak keberatan, 'kan?"

"Keberatan," jawabnya, tanpa pikir panjang, "aku takut kuliahnya terganggu karena punya mobil. Soalnya dia pasti leluasa pergi ke mana pun yang dia mau. Tanpa takut kehujanan dan kepanasan."

***

Guys, lagi-lagi aku nggak ngedit, ya.

Jangan lupa vote dan komeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang