OD 34 : Mungkin Jiwanya Sakit

16.4K 1.5K 23
                                    

"Terus, orangnya mau ganti rugi?"

Langit mengangguk. "Iya dong, temen-temenku udah mau keroyok, gimana nggak mau ganti."

Odeiva meringis mendengarkan cerita yang keluar dari mulut adik iparnya. Tinggal di bawah atap yang sama selama dua hari, membuat keduanya mulai dekat satu sama lain. Banyak kesempatan yang mereka miliki untuk saling bercerita, apalagi sekarang Odeiva sudah tak bekerja dan Langit tengah libur semester.

Seperti hari ini, Langit memintanya untuk menjemput di sebuah restoran sebab mobil adik iparnya itu masuk bengkel karena mengalami kecelakaan kecil. Odeiva yang mendengarkan segera menemui Langit, tetapi ternyata tak terjadi hal buruk, lelaki itu baik-baik saja, tetapi mobil tidak bisa dikatakan baik karena bagian belakangnya sedikit penyok.

Langit berdecak kala ponselnya berdering. "Mas Lan nelpon lagi, Kakak nggak aktifin HP?"

"Lobet," jawab Odeiva, "Mas Lan terlalu sering nelpon, makanya HP cepat lobet."

"Kangen kali, Kak."

Odeiva mengedikkan bahu, tak yakin dengan kata tersebut bisa terjadi pada Lansaka. "Paling minta buat Kakak balik kerja, soalnya di kantor nggak ada orang yang bisa dia percaya selain Kakak."

Langit membulatkan bibir. "Besok aku mau ke Bandung, nginep di kosannya Oka, kita mau mendaki Gunung Manglayang."

"Mamangnya lagi layang, gitu?" celetuk Odeiva.

"Krik-krik, Kak," Langit menimpali, meski begitu bibirnya melengkungkan senyum, "Kakak harus ikut."

Odeiva menggelengkan kepala. Dibandingkan ingin ikut, ia malah lebih suka mendengarkan ungkapan Langit yang katanya akan menginap dan pergi mendaki bersama Oka. Entah sejak kapan keduanya mendekatkan diri seperti ini, dibanding risih karena Odeiva masih kesal pada Lansaka dan berniat akan bercerai—sedangkan kedua adik mereka sudah berteman dekat—ia malah lebih suka jika Oka dan Langit berteman hingga akhir hayat.

Bukan karena Langit berasal dari keluarga kaya raya, tetapi karena Odeiva ingin Oka belajar banyak pada Langit yang di umur terbilang muda sudah membantu Veronika dalam mengembangkan beberapa bisnis.

"Nggak, Mas Lan pasti nggak bakalan izinin."

"Iya juga, sih."

Langit tidak mengetahui alasan utama perginya Lansaka dan Veronika ke luar negeri. Adik iparnya itu hanya diberikan alasan bahwa sedang dalam perjalanan bisnis. Langit adalah tipe anak yang sekali dijelaskan, langsung percaya pada ibunya, padahal bisa saja ada kebohongan yang disembunyikan.

"Aku ke toilet bentar, Kak."

Odeiva mengangguk, matanya mengikuti gerak Langit yang meninggalkan meja. Selama kenal, Langit tak pernah menceritakan tentang Fahtar, sama halnya dengan Lansaka yang seakan telah mengikhlaskan perpisahan kedua orang tua mereka. Padahal, di depan mereka berdiri seorang perempuan yang secara tidak langsung membuat orang tua mereka bercerai, tetapi nyatanya kakak-beradik itu tak pernah memandang Odeiva seperti nyamuk pengganggu.

Jujur, dulu ia sangat bersyukur masuk dalam keluarga yang menghargainya, menyayangi meski baru bertemu. Namun ternyata, syukur itu langsung tertepis saat sadar bahwa cinta juga dibutuhkan dalam sebuah pernikahan. Memang Odeiva tak merasa hambar pada hubungannya dengan Veronika dan Langit, tetapi untuk Lansaka sangat berbeda. Odeiva belum menemukan akan menjadi seperti apa pernikahan ini kelak.

Belum juga menemukan titik terang, aib Lansaka malah terbuka di saat Odeiva merasa belum siap menerima semuanya. Hidupnya sungguh pahit saat itu juga, meskipun Odeiva menambahkan gula di teh yang saat ini dinikmatinya sembari menatap langit di sore hari, itu tak akan merubah alur hidupnya menjadi manis seperti gula.

"Akhirnya lo sendirian," ucap seseorang yang tiba-tiba berdiri di sebelahnya.

Odeiva menoleh, matanya hampir keluar kala melihat Riko menatapnya dengan sorot mata hangat. "Ngapain lo di sini?"

Riko menarik kursi di sebelah Odeiva. "Gue harus buru-buru ngomongnya, lo jangan potong, soalnya gue nggak mau ketemu sama adik ipar lo."

"Gue nggak ada urusan sama lo," Odeiva mengibaskan tangan di udara, mengusir lelaki itu.

"Denger," Riko menatap lurus dan dalam, membuat alis Odeiva bertaut, "lo nggak perlu ngelakuin apapun buat orang lain cinta sama lo," ujar lelaki itu.

"Maksud lo?"

Riko tak sedikitpun melepaskan tatapannya. "Lo cantik, Dei. Apa yang terjadi di Adel, sebagian karena dia takut kena saing sama lo."

Odeiva berdecak. "Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

"Jangan lakuin apapun buat Adel bungkam, biar bagaimanapun dia sahabat lo. Kalian deket banget, sampai—"

"Itu karena gue nggak tahu busuknya," timpal Odeiva, sengit.

Riko mengangguk paham. "Lo cantik, Dei, dan Adel takut Farel berpaling. Sangking takutnya dia sama lo, akhirnya Adel temui Farel di tempat tongkrongan, dia berantem sama Farel gara-gara cemburu sama kecantikan lo."

Odeiva mengernyit. "Itu bukan sesuatu yang bikin dia jadi cemburu. Buktinya, Farel tetep milih dia," melengos malas, "lo ngapain, sih, temui gue cuma ngomongin ini? Apa jangan-jangan lo buntuti gue? Dari mana lo tahu gue di sini?" tanyanya, beruntun.

"Iya, gue ikutin lo, cari tahu tempat tinggal lo."

Melotot sempurna, Odeiva tak percaya dengan pengakuan tersebut. "Lo gila, Rik."

Riko mengangguk mengiyakan. "Karena gue nggak mau lo ngerusak persahabatan dan acara pernikahan sahabat gue," ia menoleh ke arah toilet berada, "gue pergi dulu, adik ipar lo udah mau balik ke sini. Jangan lupa kata-kata gue, Dei."

Odeiva hendak membalas ucapan itu, tetapi Riko sudah lebih dulu melangkah buru-buru meninggalkan meja tersebut. "Itu bukan urusan lo," gumamnya, berdecak kesal kemudian, "gue emang cantik, terus? Apa salahnya?"

Menurutnya tak ada alasan bagi Adel cemburu padanya. Meskipun penjelasan Riko tak bisa diterima begitu saja, tetapi Odeiva malah merasa bahwa benang kusut yang ada di kepalanya mulai terurai menjadi segaris lurus.

Odeiva mengeluarkan ponsel di dalam tasnya, kemudian mengaktifkan. Ya, ia berbohong pada adik iparnya bahwa ponsel tersebut kehabisan daya, dan membuatnya tak bisa menerima telepon dari Lansaka. Padahal, Odeiva sengaja menonaktifkan agar Lansaka tak menelponnya setiap saat.

Saat diaktifkan, nama Lansaka berada di paling atas notifikasi whatsapp. Odeiva mengabaikan, karena pasti isinya sama saja. Setiap jam pasti menanyakan 'di mana?', 'udah makan?', serta peringatan 'jangan tidur di apartemen sendirian'. Odeiva sudah hapal dengan isi pesan-pesan itu.

Odeiva mencari nama kontak Riko, mengirimkan chat, meminta untuk bertemu lain waktu karena rasa penasarannya ini luar biasa ingin segera mengetahui apa yang telah terjadi pada Adel dan Farel karena kecantikannya. Seketika rasa percaya diri Odeiva naik beratus-ratus persen saat mengulang ucapan Riko di kepalanya. Odeiva cantik. Ugh, kenapa baru sadar, sih?

Setelah mengirimkan pesan, alis Odeiva bertaut ketika notifikasi masuk dan menampakkan nama Lansaka tengah mengirimkan sebuah gambar di ruang chat pribadi mereka. Mata Odeiva terbuka sempurna kala melihat foto-foto tersebut.

"Fetish."

Ya, Lansaka mengirimkan foto amatir yang diambil tanpa sepengetahuan Odeiva. Bagaimana bisa ia tak sadar kala Lansaka memotret pahanya yang terekspos saat tertidur pulas?

"Bener-bener gila!" Odeiva tak bisa menahan keterkejutannya.

**

Vote dan komeeeenn

😉

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang