Merawat seorang anak yang bukan darah dagingnya, adalah hal yang belum pernah terbayangkan oleh Odeiva. Setuju dalam pernikahan dengan Lansaka, bukan berarti setuju untuk menjadi seorang ibu sambung. Tidak, Odeiva benar-benar tak sanggup. Mengurus anak sendiri saja sepertinya ia akan kewalahan, apalagi dengan anak yang tak tahu siapa ibunya.
"Cerai, sih, gue nggak masalah dapat status janda, asalkan nggak jadi ibu dalam waktu dekat," gumamnya, bermonolog.
Merelakan statusnya, itulah yang akan dilakukan. Odeiva masih punya hati, hal tersebut dilakukan untuk gadis kecil milik Lansaka, agar bisa hidup bersama sang ayah tanpa memiliki ibu tiri sepertinya. Sebab, sampai kapan pun Odeiva tidak akan bisa menerima status sebagai seorang ibu yang begitu tiba-tiba. Tidak akan!
"Arrgh!" Mengerang kesal, Odeiva mengacak rambutnya. "Bisa-bisanya minta gue jadi ibu anak itu. Kalau dari awal tahu dia punya buntut, nggak bakal gue terima pernikahan ini."
Odeiva bebas menggerutu di dalam kamar miliknya dan Lansaka, karena suaminya itu terusir dan terpaksa tidur di kamar sebelah, sedangkan kamar ini adalah kekuasaannya untuk sekarang. Kini dirinya tak bisa berhenti mondar-mandir, meluapkan kekesalan dalam tiap langkah dan ucapan.
"Bahkan gue nggak tahu nama anak itu," gerutunya untuk kesekian kali, "umur gue masih 24 tahun, gila aja ngurus bocah enam tahun, yang pasti lagi masa nakalnya. Gue yakin, dia pasti nakal."
Berdecak berkali-kali, nyatanya tak bisa menghilangkan kegelisahan. Odeiva pun berpikir dampak dari perceraian pada keluarganya. Sudah pasti hubungan baik antara Veronika dan Ilham pun akan berpengaruh. Odeiva tak ingin hal itu terjadi, sebab biar bagaimanapun mereka saling kenal dalam waktu sangat lama, bahkan jauh sebelum Odeiva dan Lansaka terlahir.
"Gue nanggepin remaja kayak Kayla aja, langsung kabur, nggak mau lama-lama di rumah Kalila. Apalagi anak umur enam tahun!" mengacak rambutnya lagi, frustrasi, "adik sepupu, anaknya sepupu, bahkan anak kecil lewat aja, gue auto sewot liat mereka! Berisik!"
Terdengar ketukan di pintu kamarnya, Odeiva mendelik tak ingin membuka. Siapa lagi kalau bukan Lansaka. Ia mendengkus, memilih untuk membanting tubuh ke kasur.
"Dei, ini Bunda!" ujar si pelaku yang mengetuk pintu.
Lantas Odeiva segera bangkit menuju pintu. "Maaf, Bunda!" menyahuti sembari membuka pintu, "kok, dateng malam gini, Bun?"
Odeiva menatap wajah Veronika yang terlihat lelah, ada tanda-tanda bekas air mata di sana. Jika Odeiva melalui masalah ini dengan rasa tak dikhianati, maka lain hal dengan ibu mertuanya itu. Bisa ia rasakan ada beban, rasa bersalah, menolak menerima, dan sakit hati bercampur menjadi satu.
"Ikut Bunda ke ruang tamu," Veronika berusaha tersenyum, "kita bahas tentang anak itu sekarang. Kalau dilama-lamain yang ada Bunda bakalan gila."
Hanya anggukan yang Odeiva berikan, langkahnya pasti mengikuti Veronika menuju ruang tamu. Di sana Lansaka telah duduk menunggu, ada seorang pria berjas menemani suaminya di sana. Odeiva kenal pria itu, sering terlihat di kantor bersama Veronika, bisa dibilang kaki-tangan atau orang kepercayaan wanita itu.
"Bunda nggak langsung percaya, seperti yang didiskusikan di awal, Bunda mau tes DNA," ujar Veronika, tegas.
Alis Odeiva mengerut, terheran mengapa bisa Veronika melakukan hal tersebut pada cucu sendiri, bahkan Lansaka telah mengatakan berkali-kali bahwa itu benar darah dagingnya. Merasa bahwa tak harus ikut campur, Odeiva duduk santai di sofa dan bersandar. Ia telah memiliki keputusan sendiri, terserah Veronika melakukan hal apa pada anak itu.
"Bun, itu benar anakku," Lansaka menyahuti, "kenapa sulit banget percaya?"
"Karena dia bareng Verta!" bentak Veronika, "kamu tahu gimana liciknya keluarga itu?"
Rahang Lansaka mengerat, terlihat jelas tengah menahan emosi. "Harusnya Bunda berterima kasih ke mereka, karena kakaknya mau adopsi Pretty dan merawat seperti anak sendiri."
Veronika melipat tangan di depan dada. "Itu akal bulus mereka. Kamu tahu apa yang terjadi di ayahmu?" menatap tajam, "tantenya Verta ngegodain ayahmu, dan akhirnya mereka menikah di belakang Bunda. Sekarang? Lihat sendiri, bagaimana kehidupan mereka saat Bunda tahu semuanya."
Odeiva mengernyit, fakta itu baru diketahuinya. Merasa sangat tertarik dengan topik tersebut, ia menarik bahu menjauh dari sandaran sofa, dan menyiapkan kuping untuk mendengarkan dengan seksama. Odeiva tak boleh melewatkan satu kata pun, permasalahan keluarga orang kaya benar-benar menyita perhatiannya.
"Beruntung kamu anaknya Bunda, kalau bukan, hidup kamu bakalan kayak Fahtar. Dan Bunda yakin, kamu nggak bakalan kuat lalui itu," Veronika menghela napas berat, "lusa ikut Bunda ke London, kita harus lakuin tes DNA."
Lansaka mengerang kesal. "Dia anakku, Bun!" Tatapannya begitu tegas. "Aku ngelakuin itu bareng teman kampus di acara penerimaan siswa baru, meskipun dalam keadaan mabuk, tapi aku tetap yakin ngelakuin hal itu, Bun."
Veronika menggigit bibir bawahnya, menatap penuh kekecewaan pada putra sulungnya. "Bawa perempuan itu ke hadapan Bunda," tukasnya.
"Dia menghilang setelah pesta itu," Lansaka menyahuti dengan tenang, "Pretty datang sembilan bulan kemudian di depan pintu apartemen aku. Dia diletakkan di sana, dan ada surat dari ibunya."
Odeiva ingin menyuarakan keterkejutannya, tetapi tertahan di ujung lidah. Untuk menutupi rasa ingin nimbrung dalam obrolan, ia kembali bersandar dan meredakan gejolak di dada. Ingin sekali dirinya mengeluarkan pendapat, serta begitu besar keinginan menenangkan ibu mertuanya yang akan segera mencurahkan air mata.
"Bisa saja itu anak orang lain."
Lansaka menggeleng tegas. "Itu anakku, ada namaku di surat itu. Lagi pula, rupanya, kulitnya, khas orang Indonesia, di apartemen itu hanya aku yang berasal dari Indonesia atau Asia."
Veronika menarik napas dalam. "Bisa saja itu anak dari pemilik apartemen sebelum kamu," ucapnya, mulai mengada-ada, "sebelum kamu sewa apartemen itu, yang tinggal di sana juga dari Indonesia, 'kan?"
Hanya helaan napas panjang yang Lansaka berikan, terlihat lelah menanggapi Veronika yang tak ingin mengalah. "Kalau Bunda nggak mau nerima Pretty, nggak masalah. Dia juga udah tinggal bareng kakaknya Verta, nggak bakalan ngaruh di hidup Bunda.
"Tes DNA," ketus Veronika, "dia tetap ngaruh di kehidupan Bunda, dan jangan lupakan soal Dei."
Mendengarkan namanya disebut, Odeiva kembali menjauhkan punggung dari sandaran. Sedari tadi yang bisa dilakukannya hanyalah mendengar, saat namanya disebut maka sudah pasti pendapat dari dirinya dibutuhkan untuk menenangkan suasana.
Namun, alih-alih ingin menenangkan suasana, nyatanya ucapan yang keluar dari mulut Odeiva malah membuat suasana semakin memanas. "Aku nggak bisa nerima anak yang bukan darah dagingku," ucapnya, tegas.
"Kamu dengar?" Veronika menatap Lansaka begitu lurus dan tajam, "apa yang kamu lakukan sudah termasuk menipu, mengecewakan Bunda dan Dei!"
Lansaka membuang pandangan ke sembarang arah. "Apa yang Bunda inginkan juga mengecewakan aku, kalau nggak mau nerima, tinggal bilang aja yang jujur. Seperti yang Dei katakan, dia jujur dan nggak bertele-tele."
"Bagian mana dari ucapan Bunda yang bikin kamu kecewa?" timpal Veronika.
"Tes DNA, itu bikin aku kecewa, Bun."
Veronika menarik napas dalam dan mengembuskan begitu kasar. "Ibunya nggak jelas, gimana mau percaya kalau itu anakmu? Tinggal tes DNA aja, apa susahnya?"
**
Jangan lupa vote dan komeeeen
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)
RomanceOdeiva Swanelly memiliki tujuan hidup baru setelah mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Ia ingin terkenal di aplikasi tiktok, semakin hari, rasa ingin dikenal semakin tinggi. Di suatu hari saat pergi berdua bersama sahabatnya, Odeiva tak bisa men...