OD 37 : Lantas Harus Bagaimana?

16.9K 1.7K 32
                                    

Sesuatu yang semakin membuat Odeiva benci pada Adel adalah, saat mengetahui bahwa secara tak langsung perempuan itu membuat namanya buruk di mata teman-teman Riko. Setelahnya angkat tangan dan tidak berusaha memperbaiki namanya. Odeiva bersyukur bahwa telah menikah sebelum Farel, hal tersebut membuat namanya yang dikenal sebagai pengagum pacar sahabat, kini berangsur membaik.

Ia menghela napas berat, tak menyangka kepalanya akan sesakit ini jika memikirkan betapa tak habis pikir pada kelakuan Adel padanya di masa lalu dan juga sampai saat ini. Maaf memang telah terucap, tetapi Adel bukan merujuk ke nama baik Odeiva yang telah dirusak.

"Kenapa harus nginep di sini?" tanya Langit yang baru saja menjatuhkan tasnya ke atas lantai, "Mas Lan bakalan marah kalau Kakak tinggal di sini sendirian."

Odeiva sudah mendengarkan itu berkali-kali, tetapi tak percaya, meskipun yang mengatakan adalah Lansaka. Baginya, tak perlu mempermasalahkan hal sepele, sebab hanya akan membuang-buang waktu.

"Kamar di sebelah kosong, kamu bisa tidur di situ. Malam ini doang, besok Kakak bakalan balik ke rumah kamu."

Langit tak protes, tangannya menyeret tas yang berada di atas lantai. "Mas Lan kalau ngelarang berarti peduli, dan itu sama sekali bukan buang-buang waktu buatnya."

Hanya gumaman yang Odeiva berikan sebagai respons. Ia berjalan ke pintu dan menutup rapat. Setelah dua hari berada di Bandung, adik iparnya itu kembali ke Jakarta dan langsung menuju apartemen ini. Odeiva sama sekali tak meminta, tetapi yang namanya adik, selalu menuruti kakaknya.

Odeiva duduk di kursi kerja Lansaka yang dibiarkan kosong berhari-hari. Lelaki itu menjanjikan hidup berdua tanpa Pretty, meskipun nanti terbukti bahwa gadis kecil itu adalah anaknya. Namun, Odeiva masih berat hati, karena semua anak membutuhkan ayah, apalagi perempuan. Ia tak akan ingin merenggut sosok itu dari Pretty.

Hanya saja, memikirkan bahwa dirinya akan menjalani status janda, dan kembali pada kehidupan di mana tak tentu arah, membuat Odeiva bergidik ngeri seketika. Lantas, apakah ia harus menerima status barunya sebagai ibu sambung?

Ia berdecak kesal, mengacak rambutnya yang tak dikeramas selama dua hari. Mata beralih pada macbook di hadapannya, itu adalah milik Lansaka yang sering digunakan untuk bekerja. Odeiva perlahan membuka benda tersebut, secarik kertas jatuh mendarat di atas keyboard.

Alisnya bertaut, Odeiva mengambil kertas tersebut. Tulisan seseorang tergores di sana, seakan tengah memberikan peringatan.

'Kalau kamu temuin kertas ini, berarti kamu lebih betah tinggal di apartemen daripada rumah Bunda.'

Odeiva mendengkus. "Aku betah di sana, cuma nggak cocok aja tinggal di rumah besar," ungkapnya.

Ia membalik kertas tersebut, tulisan tangan Lansaka lagi-lagi tergores di sana.

'Jangan terlalu fokus sama diri sendiri, orang lain juga punya perasaan. Jangan menepi dari keramaian, ide gila kamu datang pas udah kesepian.'

Odeiva berdecak, menyangkal setiap pesan yang dituliskan oleh suaminya itu. "Dia sadar nggak, sih, umurnya masih muda, tapi omongannya kayak kakek-kakek."

Lama memandang kertas tersebut, mengulang setiap kata dalam hati, berangsur-angsur senyum miris terbit di bibirnya. Odeiva mengasihani diri sendiri, setelah berpikir lama, dirinya yang membuat semua orang menjauh darinya, sebab terlalu memasang patok untuk perihal pertemanan.

"Nggak boleh mandang gue rendah, harus di bawah gue, otomatis bukan dari kalangan kaya raya, wajahnya harus standar," ia mendikte apa yang selalu terlintas di kepala, "Mas Lan ada benarnya juga."

Odeiva mengigit bibir bawahnya, ada rasa bersalah merayap di dada, tetapi entah ditujukan pada siapa. "Setelah dipikir-pikir, yang bikin rumit hidup ini, ya, gue sendiri."

**

Semua orang tahu bahwa Odeiva telah bersuami, ketika mereka menatapnya datang ke resepsi pernikahan tanpa ditemani suami, membuat Odeiva harus memberikan senyum menawan dan menyiapkan alasan. Mereka pasti tahu siapa itu keluarga Eradi dan bagaimana kesibukan keluarga tersebut.

Odeiva berjalan dengan anggun di karpet merah, mencari keberadaan orang tuanya yang juga datang ke resepsi pernikahan Adel. Gaun yang menutupi hingga mata kaki, kerak sabrina yang memperlihatkan bahu mulus dan cerah, tas branded yang baru dibeli, dan heels mule dengan hiasan mutiara yang mempercantik kakinya.

"Lo mau menyaingi pengantin?" bisik seseorang di telinganya.

Odeiva menoleh, mendapati teman perempuan semasa SMA berdecak kagum menatapnya dari rambut hingga kaki. Ia mengulas senyum, sedikit terkejut bahwa berada di hadapannya saat ini adalah teman yang sudah lama tak bertemu dengannya.

"Misha?" Odeiva bertanya memastikan, takut salah orang.

"Iya, ini gue," jawab perempuan itu yang lagi-lagi berdecak, "lo ngabisin berapa duit buat hair stylish? Ini juga, gaun lo kelihatan bukan yang di pasaran."

Odeiva menyentuh rambutnya yang disanggul modern loose chignon, terdapat headpiece berbentuk bunga yang terselip di helai rambut. Ya, Odeiva sengaja meminta gaya rambut tersebut, agar terlihat lebih cantik dan menawan, apalagi sangat cocok dengan gaun putih gading yang berkerak sabrina. Ia ingin memamerkan kulit putihnya.

"Biasa aja, Adel masih lebih cantik dari gue," sahutnya.

Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, Odeiva telah menyiapkan semuanya dari awal. Jika dibatalkan, yang ada semua akan berakhir tidak sesuai keinginan. Ia tak ingin menyesal di kemudian hari, lalu menyalahkan Lansaka yang menyadarkannya sebelum hari ini tiba. Untuk terakhir kalinya, biarkan Odeiva melakukan balas dendamnya ini.

"Nggak, dari tadi tamu cuma lihatin lo," Misha mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, "lo bisa lihat pandangan mereka ke mana."

Odeiva mengulas senyum tipis. "Mereka lihatin gue karena nggak dateng bareng suami." Ia menyangka begitu.

Misha menggeleng. "Lo cantik malam ini. Ruang yang disewa hanya berkapasitas 150 undangan, dan lo mampu menyita perhatian sepertiga undangan," perempuan itu menatap Odeiva, "gue denger, lo nikah sama konglomerat. Pantes aja penampilan lo kayak gini."

Hanya tawa kecil yang diberikan Odeiva. "Biasa aja. Gue pergi dulu, mau nyari nyokap sama bokap, see you."

Temannya itu mengangguk. Odeiva memutar tumit, kembali melanjutkan perjalanan. Kepalanya menggeleng, membuang segala ingatan kelam yang ada di kepala. Ia dan Misha pernah sekelas, mengingat bagaimana buruknya tingkah Odeiva saat masih SMA, membuatnya malu untuk bertemu dengan mereka yang berada di masa lalu.

Selama menuju meja, di mana mamanya berada, Odeiva berkali-kali membalas sapaan teman kuliah, SMA, bahkan tetangganya. Mereka tak bisa menahan kekaguman ketika menatapnya dari dekat. Benar kata Misha, yang mereka perhatikan bukan karena Odeiva datang sendirian tanpa suami, melainkan penampilannya saat ini.

"Ma," sapanya pada sang mama yang ternyata telah memperhatikan dirinya dari jauh.

Tiwi terlihat gemas melihat penampilannya. "Kamu udah kayak pengantin, kenapa harus gini dandanannya?"

Para ibu-ibu kompleks tertawa mendengarkan penuturan Tiwi. "Namanya juga menghargai pernikahan teman, pasti Dei nyiapin pakaian yang paling bagus menurutnya," celetuk salah satu wanita.

Odeiva tersenyum mendengarkan pembelaan tersebut. "Tuh, dengerin, Ma. Lagian, gaun aku nggak ngembang, nggak kayak yang dipakai Adel."

Mamanya nampak tak ingin berdebat. "Udah makan, belum?"

"Nanti aja, aku mau ngasih selamat ke Adel dulu."

Saat Odeiva menoleh ke arah pelaminan, tatapannya tersita pada bibir mengerucut Adel. Alisnya terangkat, menyadari bahwa tatanan rambut Adel ternyata serupa dengannya. Namun, semua orang tahu bahwa headpiece milik Odeiva terlihat lebih menawan.

**

Hellow

Gess, karna aku udah punya kegiatan di dunia nyata, jadinya aku sering lupa sama lapakku ini. Maaf banget, ya.

Kalau kalian mau baca part selanjutnya, cek karyakarsa, ya.

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang