Jika hati senang adalah perontok masalah, maka hanya uang pemicu senang tersebut. Odeiva menatap kartu kredit pemberian Lansaka yang tertulis platinum, dan juga screenshot kiriman suaminya yang berisi bukti pelunasan cicilan mobil pribadi miliknya. Sekarang Oka bisa dengan bebas menggunakan mobil itu tanpa perlu memusingkan angsuran setiap bulan.
Dulu saat terpuruk, Odeiva akan menggunakan bubble wrap sebagai alat untuk penghilang stres. Sekarang yang ia lakukan adalah memilih toko untuk dimasuki dan menggesek kartu dengan semaunya. Hanya saja, Odeiva masih punya rasa malu, maka dibanding menghambur-hamburkan uang suaminya untuk benda yang pasti jarang dipakai, maka ia memilih untuk membeli camilan stok setahun dan dibagikan kepada adik dan kedua orang tuanya.
Mereka terkejut mendapatkan kiriman makanan ringan berupa wafer, kripik, permen, dan chiki. Mungkin saat ini orang tuanya tengah berencana untuk membangun toko makanan ringan akibat kegilaan yang dilakukan Odeiva.
Namun, ternyata itu belum cukup mengobati sakit hatinya. Oleh sebab itu Odeiva terus mencari apa yang dibutuhkan agar luka ini cepat sembuh dan membuatnya kembali percaya diri seperti sebelumnya.
"Kamu nggak takut gendut?" tanya Lansaka yang baru bergabung di ruang nonton.
Odeiva sedari tadi mengunyah siomay goreng, setelah menghabiskan pecal lele. Hari sudah hampir larut malam, pantatnya belum juga beranjak dari karpet dan terus mengunyah sembari menonton televisi.
"Buat apa takut?" Odeiva menyahuti, "kurus juga nggak ada yang suka," timpalnya, tak acuh.
Lansaka duduk di sofa, tepat di belakang sang istri. "Jangan mikir kayak gitu, bukannya nggak ada, tapi belum."
Odeiva memutar bola mata, sudah jengah mendengarkan petuah-petuah sok tahu yang keluar dari mulut Lansaka. "Mas, kalau lagi kusut kayak gini, apa yang Mas lakuin selain habisin duit?"
Sudah dua hari berlalu setelah penjelasan Riko, tetapi tak sedikit pun datang tanda-tanda bahwa Adel akan menghubunginya dan mengatakan langsung apa yang telah disembunyikan dari dirinya selama ini. Odeiva sendiri tidak berharap, hanya saja hati tetap menunggu. Ya, ia masih mencari alasan untuk bisa mengikhlaskan segalanya.
Dunia belum berakhir, selama itu pula ia menunggu kejujuran dari dua orang laknat yang menjadikan dirinya badut. Selain kejujuran, Odeiva menunggu maaf. Biar bagaimanapun hatinya ini terasa sangat sakit karena dibohongi dan dibodohi, jadi tidak ada salahnya untuk Odeiva menuntut kata maaf.
"Mabuk," ungkap Lansaka, tanpa ragu, "aku nggak yakin kamu bakalan mau."
"Ayok!" Odeiva menyahuti penuh antusias, "ini saatnya buat aku keluar dari zona anak baik-baik." Berdiri dengan cepat.
Lansaka segera menarik istrinya itu untuk duduk kembali ke atas karpet. "Jangan aneh-aneh, kamu tinggal sama aku, kalau ada kesalahan pasti aku yang duluan ditanyain."
Odeiva mendelik ke arah lelaki itu. "Itu tugas Mas sebagai suami!" timpalnya, kesal.
"Saling jaga nama, dong. Sama kayak aku yang jaga nama baik kamu setelah ketemu cowok lain tanpa izin ke aku," Lansaka mendengkus, "gitu yang namanya suami istri."
Mendengarkan itu, Odeiva menatap penuh selidik. "Dih, dih, setelah seminggu menikah, baru kali ini denger Mas ngomong suami istri."
"Emang suami istri, 'kan?"
Odeiva mengedikkan bahu, tanda bahwa tak ingin berdebat. "Ngomong-ngomong, Mas, kuku aku bagusnya dikasih warna apa, ya? Aku maunya nail art gitu, yang kayak aku lihat di Youtube." Menunjukkan kukunya pada sang suami.
Ia sengaja mengalihkan topik agar tidak masuk dalam suasana serius. Biar bagaimanapun hatinya terluka memikirkan Lansaka sama sekali tak tertarik untuk menyentuhnya jika tidak melihat pahanya. Itu berarti, wajah dan sifatnya ini tak cukup menarik untuk disayangi, bukan?
"Lakuin apa yang kamu mau, asal bukan dugem. Awas aja," ancam Lansaka.
Odeiva mencebik. "Dia yang ngasih saran, dia yang ngelarang," dumelnya.
**
Sengaja melakukan olahraga malam di balkon, tetapi ternyata itu malah membuatnya susah tidur karena tubuh lengket akibat keringat. Odeiva Swanelly menatap wajahnya di cermin, sebelum menggosok gigi dan mengguyur tubuh dengan air hangat.
Lansaka sudah tertidur, entah sejak kapan. Odeiva menemukan lelaki itu telah tertidur pulas, tanpa mengambil bagian kasur milik sang istri. Ya, ini yang Odeiva sukai dari suaminya, tidurnya sopan dan sama sekali tidak mengganggu. Hanya saja, sudut hati ini sedikit tersinggung ketika menyadari bahwa Lansaka tak pernah dengan sengaja atau tidak sengaja datang ke bagian tempat tidurnya untuk mengganggu atau sekadar menggoda jahil.
Kecuali di malam Odeiva menangis, itu pun ia sendiri yang minta. Jika tidak, mungkin Lansaka sudah akan tidur duluan, tanpa memikirkan kondisinya.
"Gue nggak cantik kali, ya?" meneliti wajahnya, "atau karena dada gue tipis?"
Matanya turun ke bagian dada yang kini hanya tertutupi bra, Odeiva mengangkat satu alis sembari bergumam, "lumayan, kok, nggak terlalu mengecewakan."
Ia menangkup kedua gundukan itu, kemudian menggoyang perlahan. "Gue emang nggak terlalu merhatiin lo berdua, sih, tapi keknya lumayan."
Odeiva kembali melanjutkan aktivitas menyikat giginya, tetapi mata masih mengarah ke dada. Teringat sesuatu, ia menunduk menatap pahanya sekian detik, kemudian kembali menatap cermin dan menggosok gigi dengan semangat.
Setelah merasa cukup pada bagian gigi, Odeiva berkumur dan mengambil botol sabun cuci muka. Kembali, dirinya meneliti setiap struktur wajahnya. Hidung yang lumayan mancung, mata bulat, dan bibir merah muda meski tak menggunakan pewarna. Dalam sebuah drama di pertelevisian, harusnya wajah seperti Odeiva ini sangat mudah untuk mendapatkan laki-laki setia dan menyayangi sepenuh hati.
Lantas, mengapa sampai sekarang seorang pun tak ada?
Ia berdecak, mengusap sabun itu ke wajah hingga warna putih dan sedikit gelembung menutupi wajahnya. Odeiva memejamkan mata, takut terkena cairan pembersih itu. Sejenak ia mendengar suara pintu terbuka, membuatnya mau tak mau menoleh dan membuka sedikit matanya.
Mendapati Lansaka berdiri di sana, menatapnya dengan mata ngantuk khas bangun tidur, membuat Odeiva kembali melanjutkan aktivitas mencuci wajahnya. Pasti Lansaka hanya memerlukan waktu sebentar untuk membuang air kecil.
"Aaa!" jerit lelaki itu.
Odeiva cepat membasuh wajah, mencari keberadaan suaminya. "Kenapa, Mas?" tanyanya, mendekat.
Lansaka menatap horor ke arah Odeiva, kemudian membalikkan tubuh. "Kenapa pintunya nggak dikunci, sih?" gerutunya.
Odeiva mengernyit. "Lah, emangnya kenapa?"
Tak menyahuti, Lansaka malah berlari keluar kamar mandi dengan gerak cepat. Odeiva masih terheran, tetapi saat ia memutar tubuh kembali menatap cermin, mau tak mau dirinya menutup dada dengan tangan, pikirannya tak tenang setelah menyadari bahwa dirinya setengah telanjang.
"Maaaaas!" raungnya, "aku udah nggak suci lagi!"
Rasanya ingin menangis, tetapi air mata tertahan. Terdengar ketukan di pintu kamar mandi, ia mendengkus kesal mendengarkan lelaki itu masih bisa berkata tenang setelah melihat dengan jelas bentuk tubuhnya.
"Siapa suruh pintu nggak dikunci," Lansaka berdecak, "kalau mau mandi, tuh, dikunci. Biar aku nggak bisa lihat."
Dibanding sakit hati tubuhnya dilihat oleh Lansaka, nyatanya Odeiva lebih sakit lagi ketika menyadari bahwa suaminya itu berlari menghindarinya, bukan tertarik dan memilih untuk menerkam.
Odeiva menatap pahanya yang terekspos sebab hanya menggunakan celana dalam. "Lo kenapa nggak menggoda? Lagi nggak enak badan lo? Hah?" memukul pelan kedua pahanya, "goblok."
**
Vote dan komen
Halooo
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)
RomansaOdeiva Swanelly memiliki tujuan hidup baru setelah mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Ia ingin terkenal di aplikasi tiktok, semakin hari, rasa ingin dikenal semakin tinggi. Di suatu hari saat pergi berdua bersama sahabatnya, Odeiva tak bisa men...