OD 20 : Home

17.7K 1.6K 31
                                    

Odeiva dengan gerak ogah-ogahan mengeluarkan satu per satu pakaian dari kopernya. Hari ini dirinya resmi tinggal berdua dengan Lansaka di apartemen yang telah disediakan oleh Veronika. Bukannya Odeiva tidak bersyukur karena diberikan rumah baru, hanya saja ia sedang bingung bagaimana menghadapi Lansaka seperti biasanya.

"Mau makan apa? Aku pesenin," Lansaka datang dari pintu, sembari membawa ponsel di tangannya, "dari tadi belum selesai juga?"

Berdecak, Odeiva melirik suaminya itu. "Aku lagi banyak pikiran, nggak bisa konsen," akunya, "Mas pesenin apa aja, asalkan bukan bebek."

Tidak disangka, Lansaka malah memilih duduk di lantai, tepat berada di hadapan Odeiva. Lelaki itu meneliti wajahnya, begitu intens, lima detik kemudian menghela napas berat. Odeiva mengernyit, heran melihat kelakuan suaminya itu.

"Mikirin yang semalam?" tebak Lansaka.

Odeiva tidak langsung menjawab. "Kata Bunda kita bisa libur seminggu buat honeymoon di Bali." Ia melenceng dari topik.

"Jangan dipikirin, biasa aja, seperti kita sebelum nikah," ujar Lansaka, tidak menghiraukan ucapan istrinya tadi.

"Mas nggak denger apa kataku?"

Lelaki itu kembali menatap ponsel. "Ayam geprek aja, ya?"

Odeiva membanting baju yang ada di tangannya ke lantai. Percakapan pagi ini benar-benar menguras emosi, padahal umur pernikahan mereka masih 24 jam lebih sedikit, tetapi ternyata Odeiva sudah menyimpan dongkol. Ia tak suka laki-laki yang tidak bisa dikontrol olehnya, sama seperti Farel yang ujung-ujungnya malah jadi buah pikiran.

Ya, benar, Odeiva suka laki-laki yang memujanya, karena ia bisa berkuasa, mendapatkan pujian setiap hari dari lelaki itu. Bukan laki-laki yang tidak mengikuti maunya, memiliki prinsip sendiri dan terkesan sok berkuasa di hadapan Odeiva. Ah, ia lupa, suaminya ini adalah bosnya di kantor. Pantas saja semaunya.

"Soal honeymoon, aku udah omongin sama Bunda. Kita pergi bulan depan," kata Lansaka.

"Seminggu?" Odeiva tak terima, "kita nikahnya kemarin, bukan bulan depan."

"Kamu tahu, di kantor masih banyak kerjaan. Kamu nggak masuk seminggu, kerjaan keteteran, kita harus perbaiki itu dulu."

"Tapi ...." Ucapan Odeiva menggantung setelah menyadari bahwa tak bisa membantah.

Padahal, Odeiva telah memikirkan unggahan instagram miliknya akan menjadi lebih menarik dengan pemandangan Bali dan kemewahan vila kelas atas. Sekarang Odeiva hanya bisa mengerucutkan bibir, sembari menahan hasrat tersebut dan mengubur dalam-dalam.

"Kasihan Bunda yang harus ngerjain semuanya," imbuh Lansaka, berusaha membuat mengerti, "atau kalau kamu mau, pergi sendiri aja. Aku bisa kerja sendiri, kok."

Odeiva mengulum bibirnya, menjadi segaris lurus. Ingin meluapkan emosi, tetapi tertahan di ujung bibir. Dibandingkan pernikahan, ia merasa tengah berada dalam perang batin. Odeiva tahu bahwa belum terbiasa hidup bersama orang lain yang harusnya berada dalam kapal yang sama, tetapi malah selalu berbeda pendapat.

Ia bingung, bagian mana yang katanya enak nikah muda? Sampai detik ini Odeiva belum merasakan enaknya.

"Tahu definisi pernikahan, nggak?" tanya Odeiva, ketika melihat Lansaka hendak berdiri dari duduknya.

Lelaki itu mengerutkan kening. "Iya, tahu. Kenapa?"

"Terus, kenapa aku malah Mas saranin pergi sendirian buat honeymoon?" ketusnya.

"Bukan gitu," Lansaka kembali merapikan duduknya, "anggap aja liburan, biar aku yang tanggung perjalanan kamu."

Odeiva hampir ingin menangis, kalau tahu bahwa akan menyebalkan seperti ini, tak akan pernah dirinya menerima perjodohan dari Veronika, akan dibiarkan mobilnya ditarik debt collector, kemudian ia memulai karir dari bawah lagi. Persetan gaji kecil, yang penting dirinya bisa bebas dari pernikahan bersama Lansaka.

Menghela napas berat, Odeiva menutup kopernya. "Oke, bulan depan kita bakalan pergi honeymoon, tapi janji, Mas juga harus ikut."

"Iyalah, kalau kamu sendirian, yang ada jadinya malah me time," timpal Lansaka, terdengar begitu santai.

"Itu Mas tahu, kenapa tadi malah nyaran—"

"Mas lapar, nggak mau debat," lelaki itu menginterupsi, "bisa masak, nggak? Ada mi instan di lemari, kita makan sambil nunggu gojek anterin makanan."

Odeiva mendengkus. "Masak sendiri, aku lagi sibuk." Kembali mengeluarkan pakaiannya dari koper merapikan dengan cepat.

**

Katakan Odeiva bodoh, menerima tanpa memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Lihat dirinya, jika pengantin baru akan duduk berduaan sambil saling memberikan kehangatan, sekarang Odeiva sendirian di ruang keluarga, sembari melihat gedung pencakar langit di malam hari.

Elegan, tetapi tidak membuat Odeiva terhibur. Beberapa menit yang lalu dirinya membagikan story di instagram, foto kaca jendela yang menampilkan menampakan ibu kota dari lantai 36 apartemennya saat ini. Adiknya mengomentari, meminta diajak untuk ke rumah barunya itu.

Odeiva hanya membalas, belajar yang bener, biar bisa pacaran sama putri pemilik tower ini.

Sangat tidak mendidik. Lagi pula, Odeiva tak tahu apakah beliau memiliki putri atau tidak. Jika memiliki anak laki-laki, ia berharap kecantikannya ini mampu membuat terpesona. Sebab, baru sehari menikah, ia malah makan hati pada Lansaka yang begitu mengkhawatirkan sang bunda, sehingga malam ini dirinya ditinggal sendirian di apartemen.

"Gue nyesel, sumpah," akunya, sambil terisak, "kenapa di awal lo baikin gue, coba? Jadinya gue berharap lo emang orang baik, tapi ternyata—" Ia terisak sejadi-jadinya, menangisi kehidupan yang telah dipilih.

Pintu utama terbuka, Odeiva segera menghapus air mata. Derap langkah terdengar mendekat, ia menoleh, mendapati sang suami telah kembali, padahal baru pergi sekitar sepuluh menit yang lalu. Odeiva tentu keheranan, rumah mertuanya tak bisa ditempuh dalam waktu sesingkat itu.

Lansaka menatapnya dalam diam, helaan napas terdengar begitu berat, lelaki itu berjalan mendekatinya. "Aku bilang mau ketemu Bunda, bukan berarti ke rumah Bunda."

"Hm?" Odeiva mengerutkan kening, "maksudnya?"

"Bunda tadi di bawah, anterin buah," Lansaka mengangkat kantong plastik yang ada di tangannya, "kamu pikir aku setega itu ninggalin kamu sendirian di sini?"

Tak bisa ditahan lagi, Odeiva kembali menangis, kali ini terharu mendengar ucapan Lansaka. Meskipun ia belum mengerti dengan karakter suaminya ini, tetapi Odeiva yakin bahwa Lansaka jujur mengatakan hal itu.

"Mau jus mangga?" tawar lelaki itu.

"Ini udah malam," Odeiva menghentikan tangisnya, "lagian, aku masih kenyang."

"Oke, aku masukin ke kulkas, ya."

Odeiva mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya. Kakinya mengikuti langkah Lansaka, saat suaminya itu berhenti di depan kulkas, Odeiva pun ikut berhenti. Menyesalnya tadi sudah menghilang, ia tahu alasannya karena apa, memang dasarnya Odeiva ini murahan, terlalu cepat terbuai dengan keadaan.

"Bunda nanyain kamu," ucap Lansaka, sembari memasukkan buah ke dalam kulkas, "aku bilang lagi capek turun ke bawah."

Satu alis Odeiva terangkat, ia heran mengapa Lansaka harus berbohong pada sang bunda. Padahal, tadi lelaki itu pergi tanpa mengajaknya dan Odeiva pun tak pernah mengeluarkan alasan seperti itu. Rasa curiganya timbul begitu saja, meskipun Lansaka dengan jelas mengatakan bukan Odeiva yang dibohongi.

"Kamu bukan ketemu Bunda, 'kan?" tebaknya.

**

Vote dan komeeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang