"Mas itu udah ngecewain Bunda, jadi jangan ngebantah. Ikut aja maunya Bunda," ucap Odeiva dengan nada sewotnya, "heran, dah, ternyata ada anak kayak Mas Lan gini." Berdecak tak habis pikir.
Odeiva melirik ke arah Lansaka yang tertunduk lesu di sofa, sejak tadi belum juga mengubah posisi walau hanya seinci. Merasa bahwa keberadaannya tidak akan membuat suasana lebih baik, maka Odeiva bangkit dari duduk dan segera meninggalkan ruangan tersebut.
"Aku pikir kamu baik, Li."
Mendengarkan itu Odeiva menghentikan langkahnya.
"Kenapa kamu nggak mau nerima anakku?" tanya Lansaka, sembari mengangkat wajah dan menatap lurus ke arah istrinya, menuntut penjelasan.
Odeiva menghela napas berat. "Udah pasti karena aku nggak siap," balasnya, "siap menjadi istri, sangat jauh berbeda dengan siap menjadi ibu. Apalagi dalam situasi aku, ini sangat mendadak."
Lansaka membuang pandangan. "Kalau kamu nerima aku, berarti anakku juga harus diterima."
"Nggak semudah itu Mas. Andai aja di awal pertemuan kamu kenalin aku sama anakmu, kasih tahu ke aku kalau kamu punya anak," Odeiva menggantung ucapannya, "udah pasti aku tetap nggak bakalan terima." Tersenyum bak iblis.
Dibandingkan merasa sakit hati karena kehadiran anak itu dan juga paksaan Lansaka untuk membuatnya sebagai ibu, Odeiva malah merasa bahagia mampu membuat seseorang yang membohonginya tertunduk lemas tak berdaya. Dari sini ia sadar, segala bentuk sakit hati, jika dibalas maka hati akan merasa enteng.
Odeiva kembali melangkah ke kamarnya sembari menyanyikan sebuah lagu bahagia. "Aku bahagia... hidup sejahtera di katulistiwa...," senandungnya dengan suara fals, "Tuhan, terima kasih telah memberikan hati yang lapang kepada saya!" Ia mengucapkan syukur, dan terus mengulangnya di dalam hati.
Menjatuhkan tubuh ke atas ranjang, Odeiva mengeluarkan ponselnya dari saku celana yang dikenakan. Belajar dari apa yang dirasakan hari ini, kepala Odeiva mulai menyusun cara untuk membalas perbuatan Adel padanya. Memang ia tak punya hak untuk melakukan hal tersebut, sebab keduanya saling mencintai sejak awal.
Namun, di sini Odeiva mempermasalahkan tentang Adel yang menyembunyikan semua darinya, membuat Odeiva terlihat bodoh di depan semua orang. Jadi, yang akan ia lakukan nanti adalah membuat dirinya spesial di depan semua orang.
"Dan hari yang tepat itu adalah di acara resepsi pernikahan," ujar Odeiva dengan senyum iblis mengembang sempurna, "dia harus tahu kekuatan uang keluarga Eradi."
**
Hanya dengan beberapa kata, Veronika mengabulkan permintaannya. Odeiva keluar dari butik milik seorang desainer terkenal, yang namanya sudah melambung di dunia internasional. Tentu, pakaian yang Odeiva dapatkan sekelas dengan para bintang besar di Indonesia dan dunia, pengusaha, serta istri-istri pejabat.
Soal harga, tak perlu dipusingkan. Semua ditanggung oleh Veronika, Odeiva hanya perlu mempersiapkan tubuh untuk diukur dan memberikan pendapat akan seperti apa gaun yang ingin dikenakan dalam pesta pernikahan sahabat terbaiknya itu.
"Makasih, Bun," ucapnya pada Veronika.
Wanita itu berdecak. "Jangan ngomong gitu, dong. Mestinya Bunda yang ucapin makasih, karena kamu dukung Bunda buat ngalahin egonya Lansaka."
Odeiva tersenyum sok manis, padahal hatinya bersorak karena bisa membuat Veronika berpihak padanya. "Bunda perginya besok, ya?"
"Iya," Veronika menatapnya, "beneran kamu nggak mau ikut? Sekalian jalan-jalan, hilangin penat."
Sesungguhnya Odeiva sangat ingin ikut karena tak memiliki unggahan terbaru di instagram, tetapi di sini dirinya masih memiliki hal yang harus diurus. "Dei belum punya paspor, Bun," terkekeh sumbang, "kalau nungguin Dei, bakalan ketunda perjalanannya. Nggak apa, masih banyak kesempatan buat pergi liburan bareng Bunda."
Veronika mengangguk paham. "Ya udah, tapi kalau Bunda ajak lagi, kamu jangan pernah nolak, ya. Pulang dari London, Bunda bakalan anterin kamu bikin paspor."
Odeiva berteriak senang dalam hati, bibirnya berkedut menahan senyum bahagia. Ah, tak masalah suami bermuka dua, asalkan mertua punya hati bak malaikat. Sekarang Odeiva bisa melakukan apapun dengan kebaikan hati Veronika, bahkan tanpa diminta, Veronika menyuruh Lansaka untuk membuka blokir kartu kredit yang ada pada Odeiva.
Inilah surga dunia, ia bisa dengan bebasnya menggesek kartu tersebut. Persetan dengan gengsi, dianggap matre atau apapun, Odeiva punya alasan palsu melakukan hal tersebut. Bilang saja dirinya sakit hati dibuat Lansaka karena menipu dan memaksanya menerima si Pretty itu.
"Bunda langsung ke kantor?" tanyanya saat telah duduk di jok belakang bersama Veronika.
"Mau langsung pulang ke rumah, Bunda pengin santai sebelum tarik urat liat anak itu."
Odeiva menatap dengan rasa iba yang dibuat-buat. Tangannya terangkat mengelus bahu Veronika dengan sangat lembut, kemudian bersandar di bahu tersebut. "Bunda nggak usah mikirin perasaan aku, karena aku yakin bisa lalui ini," ucapnya begitu lembut, "Bunda fokus ke diri sendiri aja, tenang, dan jangan berpikir yang buruk-buruk."
Perlakuannya direspons oleh Veronika, wanita itu mengusap bahu tangannya, seakan saling membagi ketenangan. "Bunda cuma takut kamu ninggalin Mas Lan. Dia itu terlalu bodoh menilai orang lain, gampang percaya. Sama kayak ayahnya," ujar beliau.
"Mas Lan udah dewasa, Bun."
Wanita itu mengangguk. "Bunda tahu, tapi maunya Mas Lan seumur hidup ditemani orang yang tulus kayak kamu, bukan yang bermuka dua."
Bibir Odeiva berkedut, ingin sekali tertawa. Veronika tak tahu bahwa Lansaka telah tertekan karena perubahan sikap Odeiva yang tiba-tiba, serta penolakan mentah-mentah pada Pretty. Selamanya, ia tak ingin lagi mengalah, siapapun yang membohongi dan menjadikannya orang bodoh, tidak akan terlepas dalam genggamannya.
Odeiva bersumpah, akan terus menginjak sampai mereka yang membodohinya meminta ampun. Veronika sudah berada di tangan Odeiva, Lansaka tentu tidak akan bisa melakukan apapun padanya. Sekarang target Odeiva adalah Adel, tak sabar dirinya menunggu hari itu.
**
"Sorry, gue nggak balas chat lo karena gue nggak tahu lo nge-chat. HP gue sering dipakek suami, mungkin dia yang buka chat lo dan lupa bilang ke gue," kilahnya pada seseorang di ujung sambungan.
"Nggak apa," Adel membalas terdengar tenang, "gue pikir lo lupa sama gue karena udah nikah."
Odeiva berdecak tak suka mendengar ucapan Adel, tetapi kemudian wajahnya seperti ingin muntah. "Jangan ngomong gitu, nggak mungkin gue lupain lo. Kita temenan bukan cuma sehari, dua hari, loh."
"Ya ... kali aja ada yang bikin lo marah sama gue."
Melengos malas, Odeiva mencibir tanpa suara. "Nggak ada, kok. Gimana kalau kita ketemuan besok? Mumpung suami gue mau perjalanan bisnis ke London, kita punya waktu jalan sampai malam," ujarnya.
"Ide bagus. Lo kasih tahu aja kita ketemuan di mana," Adel memberi jeda, "ada yang mau gue omongin soalnya."
"Penting, nggak?" tanya Odeiva, berpura-pura tak tahu, "dari nada bicara lo, sih, penting pakek banget."
Terdengar Adel terkekeh sumbang, hal itu sering dilakukan oleh orang-orang yang kehabisan kata saat mengobrol.
"Gue tutup dulu, Del. Mau nyiapin kebutuhan suami dulu, see you," pamitnya.
Setelah sambungan terputus, Odeiva membuang ponsel ke atas kasur dan menyusul dirinya duduk di tepi ranjang. Saat ia menoleh ke arah sofa, Lansaka menggelengkan kepala menatap dirinya seakan tak habis pikir dengan kebohongan-kebohongan yang Odeiva lontarkan dengan lantang kepada Adel.
"Makasih, Mas nggak marah pas aku bawa-bawa kata suami," ucapnya, "ngomong-ngomong, jangan ngira aku bakalan rapiin bawaan Mas, ya."
**
Hellow guys!
Ada Dei nih
Bagusnya diapain? 👀
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)
RomanceOdeiva Swanelly memiliki tujuan hidup baru setelah mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Ia ingin terkenal di aplikasi tiktok, semakin hari, rasa ingin dikenal semakin tinggi. Di suatu hari saat pergi berdua bersama sahabatnya, Odeiva tak bisa men...