OD 4 : Karena Pekerjaan

30K 2.6K 40
                                    

Eradi Corp adalah salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Mendapatkan pekerjaan di kantor itu adalah sebuah keajaiban. Odeiva sendiri sudah berkali-kali mendengarkan pertanyaan tentang Eradi Corp dari orang sekitarnya. Dan ia tak akan menjawab serta menceritakan pengalamannya, sebab Odeiva pun tak tahu bagaimana caranya.

Bagaimana cara bisa diterima? Buka lowongan, nggak? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan padanya. Farel adalah satu di antara ratusan orang yang bertanya. Tidak ada pengecualian, Odeiva tetap tutup mulut, mengatakan bahwa hanya mengirim lamaran dan namanya keluar sebagai karyawan baru.

"Datang pas butuh," gerutu Odeiva.

Sejenak kehadiran Farel membuatnya lupa pada masalah, sekarang ia kembali mengingat bahwa harus mengumpulkan uang untuk membayar mobilnya. Odeiva turun ke lantai bawah, mendapati sang adik tengah menikmati es teh manis buatan sendiri. Segera ia menyambar gelas itu dan menghabiskan isinya.

"Kakak!" teriak Oka, lelaki berusia sembilas tahun.

"Minuman buatan lo emang terbaik." Odeiva mengacungkan jempol dan kemudian mengelap bibirnya menggunakan punggung tangan.

Meskipun terlihat sangat marah, Oka malah merebut gelas itu dan menuju kulkas. "Baru ketemu udah bikin kesel."

Ya, setelah dua bulan lamanya, Oka kembali ke rumah. Lelaki itu kuliah di Bandung, mengharuskan tinggal di indekos agar irit biaya transfortasi. Berbeda dengan Odeiva yang ke mana-mana mengendarai mobil, adik semata wayangnya masih setia dengan motor bebek. Itupun motor bekas milik Odeiva.

"Bayar," ucap Oka.

Odeiva berdecak. "Lagi kere."

"Lah, nggak mungkin, meskipun tanggal tua Kakak nggak pernah kere."

Ternyata adiknya itu tak tahu bahwa ia telah kehilangan pekerjaan. Odeiva menghela napas berat, kemudian meninggalkan Oka yang masih sibuk membuat es teh manis untuk kedua kalinya.

"Kakak nggak kerja lagi, dipecat," ucapnya, dengan suara yang sedikit lantang.

"Hah!"

Terdengar suara langkah mengikuti Odeiva. Adiknya tidak akan langsung percaya, ia telah hapal dengan watak Oka. Usia mereka berbeda lima tahun, saat sang adik lahir, Odeiva sedikit demi sedikit telah mengerti hidup. Jelas, memahami Oka adalah hal yang sangat mudah.

"Serius, Kak?"

Odeiva berbalik, menatap adiknya itu. "Lihat jam dinding." Menunjuk ke arah jam.

"Iya, ya, ini masih jam sebelas, ngapain Kakak nggak ke kantor kalau bukan dipecat," ucap Oka, terdengar sangat miris, "tapi, Kak, bisa kerja lagi, 'kan?"

Odeiva tak tahu, hanya gelengan yang bisa diberikan. Jujur, ia sangat berharap keajaiban datang padanya. Seperti ditawari kerja meskipun gaji tak seberapa, mendapatkan segepok uang untuk melunasi mobil, atau dilamar cowok kaya dan mengubah nasibnya menjadi milioner.

"Kenapa bisa, sih, Kak?" Oka nampaknya tak terima. "Aku bangga banget Kakak kerja di perusahaan besar, pas ditanya temen-temenku, mereka langsung kagum. Jujur aja, nama aku jadi terkenal di fakultas karena prestasi Kakak."

Mendengarkan itu, Odeiva menjitak kepala sang adik. "Terkenal itu harus pakek cara sendiri, bukan nitip nama kayak gitu!"

Oka malah cemberut. "Jadi, aku nggak bisa bebas minta uang kayak kemarin, nih?"

"Nggak! Cari kerja sana!"

***

Odeiva dipaksa oleh mamanya menggunakan pakaian rapi, sebab ada seseorang di bawah sana yang ingin bertemu dengannya. Entah siapa itu, Odeiva sangat terpaksa mengikuti kemauan Tiwi—mamanya. Saat ini hati kembali galau akan pekerjaan, belum lagi soal Farel yang masih diharapkan.

Ia berjalan turun ke lantai bawah menuju ruang tamu, pakaian terusan yang harusnya dikenakan keluar rumah, malam ini dikenakan di rumah hanya untuk bertemu tamu tersebut. Bisa Odeiva lihat, tamu itu sangat penting bagi orang tuanya, pasti bukan dari keluarga, sebab mereka tak pernah begini jika keluarga yang datang.

"Salim sama Tante Vero dulu," ucap Ilham, papanya.

Odeiva menoleh ke arah wanita yang dimaksud oleh sang papa, mata hampir keluar dari tempat kala menyadari siapa yang datang ke rumahnya saat ini. Ia menelan ludah susah payah, segan mendekat, bibir tersenyum kaku, jantung Odeiva hampir keluar dari tempatnya.

Apakah ini akhir hidupnya? Odeiva hampir akan menangis dan bersujud di kaki wanita itu, memohon ampun atas apa yang telah terjadi. Ya, kunjungan ini pasti berhubungan dengan dirinya yang akan dimasukkan ke penjara.

"Kok, kaget gitu?" tegur papanya, "ini Tante Vero, sahabat Papa sejak SMA. Beliau juga yang masukin kamu ke Eradi Corp."

"Hah?" Odeiva menoleh ke arah papanya, "se-serius?"

Saat papanya mengangguk, saat itu pula Odeiva mendapatkan jawaban, mengapa dirinya diterima di perusahaan itu bahkan tanpa sesi wawancara. Ternyata, Odeiva sama seperti beberapa orang curang di luar sana, yaitu menggunakan kekuatan orang dalam.

Namun, kali ini kekuatan papanya tak terkira, langsung menghubungi istri dari CEO. Odeiva tak menyangka sang papa memiliki hubungan dengan orang kaya, sangat berbeda kelas dengan mereka yang hidup menggunakan gaji pegawai negeri sipil.

"Salim dulu," suruh Ilham lagi.

Odeiva memberanikan diri menjabat tangan Veronika Eradi. "Apa kabar, Bu Bos?"

Veronika tertawa geli. "Tante aja," ucap beliau, "kelihatan banget kamu masih syok."

"Hehe ...." Odeiva hanya bisa cengengesan. "Ngomong-ngomong, saya minta maaf atas kekacauan—"

"Nggak masalah," interupsi Veronika, kemudian menarik lembut tangan Odeiva untuk duduk di sebelahnya, "justru Tante mau bilang makasih udah nunjukin yang sebenarnya."

Odeiva mengulum bibir, apa yang diucapkan Veronika dan tindakan yang dilakukan atasannya sangatlah berbeda. "Tapi, saya udah bikin heboh kantor."

Veronika tersenyum lembut. "Tante udah ceraiin si Brengsek itu, sekarang kamu bisa balik ke kantor lagi. Tante udah siapin tempat yang pas buat kamu."

"Maksudnya, saya kerja lagi?"

Wanita itu mengangguk. Bak menang undian, Odeiva sangat ingin berteriak senang, tetapi masih memikirkan sopan santun. Meskipun Veronika meminta untuk dianggap seorang kerabat, tidak dengan pandangan Odeiva. Menurutnya wanita itu tetaplah atasan, dan sekarang naik tingkat menjadi malaikat penyelamat.

"Tapi, ada syaratnya."

Seketika senyum haru Odeiva menghilang. "A-apa?"

Veronika tersenyum manis. "Nikah sama anak Tante. Sekarang kamu calon istrinya."

"He?"

Wanita itu menatap Ilham yang juga terlihat terkejut. "Boleh, kan, Ham?"

"A-ah, itu terlalu mendadak. Mereka juga belum saling mengenal," ujar Ilham, meminta pengertian.

"Mereka bisa kenalan, seiring berjalannya waktu, pasti bakalan saling suka." Veronika menatap temannya itu dengan sangat intens. "Jangan bilang kamu lupa sama janji kita waktu SMA."

Odeiva menatap papanya yang seketika menjadi gagu. Ia sangat mengerti perasaan tersebut, tak ingin melepaskan sebab Odeiva adalah perempuan, sedangkan janji itu telah terucap dan meminta dipertanggungjawabkan.

"Ya ... aku bilang, kan, kalau berjodoh," balas Ilham.

"Kenapa nggak dicoba?" Veronika beralih pada Odeiva. "Besok datang ke kantor, temui Tante di ruangan general manager, pekerjaan baru kamu ada di sana. Anak Tante juga ada di sana."

Odeiva melongo. "Aku dicalonkan sama om-om perut buncit?"

Ia masih sangat ingat bagaimana perawakan general manager di kantor tersebut. Pria perut buncit, rambut gundul di depan, dan tubuh pendek, bahkan Odeiva lebih tinggi dibanding pria itu.

Veronika tertawa. "Bukan, bukan itu. Sekarang general manager diganti anak Tante. Kamu harus ketemu dia, jangan nolak."

***

Hello, selamat pagiii!

Jangan lupa vote dan komen!

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang