OD 19 : Pertanyaan yang Sama

17.1K 1.6K 14
                                    

Masuk ke dalam kamar, Odeiva langsung membanting diri ke atas kasur, tak mengatakan apapun pada lelaki yang sedari tadi mengekor di belakang. Lansaka pun begitu, tak membuka mulut sejak tadi sejak mereka keluar dari kamar ayahnya Lansaka.

Apa yang dirasakan Odeiva sekarang adalah kecewa, sedih, dan kesal dengan sikap lelaki itu tadi, tetapi sedikit bersyukur sebab di akhir kata tersemat pembelaan untuknya. Odeiva tidur memunggungi Lansaka, air mata jatuh tanpa bisa ditahan, suaminya itu tak tahu betapa ketakutan dirinya dilemparkan kata-kata pedas menusuk hati oleh sang mertua.

Sekuat mungkin menahan agar tidak terisak, Odeiva ingin dikenal sebagai perempuan kuat untuk hal sepele seperti ini. Tadi ia sempat berpikir, jika Lansaka berada di kubu yang sama dengan Fahtar, maka dirinya mau tak mau harus menggunakan Veronika sebagai pilihan terakhir untuk membuat mereka bungkam.

Namun, rasanya akan sulit. Biar bagaimanapun darah lebih kental daripada air. Fahtar saja mempermalukan tanpa melihat gender, demi membela kebahagiaan sang anak. Tidak menutup kemungkinan Veronika akan melakukan hal yang sama demi Lansaka.

Siapa, sih, gue? Itu makanya gue bilang, nggak usah sok cantik, Dei, bisiknya dalam hati.

"Li," panggil Lansaka, begitu pelan.

Odeiva mengigit bibir bawahnya, kemudian dengan gerak perlahan menghapus air mata. "Aku capek, mau langsung tidur."

"Oke." Lansaka membalas, terkesan santai dan tak ingin menghibur sang istri yang tengah terpukul.

Mendengar respons tersebut, hati Odeiva bak tercabik-cabik. Ia berharap Lansaka akan menarik pelan bahunya dan membawa ke pelukan, tetapi itu adalah hal yang tak mungkin. Mengingat fakta bahwa sebelum menikah, Lansaka memiliki seorang perempuan lain yang terpaksa diputuskan hubungan karena menerima perjodohan ini.

Tak bisa dipungkiri, perasaan itu masih ada, bukan? Mereka bukan berpisah karena masalah tak cocok, tetapi karena terpaksa. Odeiva mendengkus, meskipun berkonsentrasi untuk tidur, nyatanya ia tak bisa segera meluncur ke alam mimpi. Diraihnya ponsel yang ada di atas nakas, saat mengaktifkan data, pesan beruntun masuk ke ponsel.

"Katanya mau tidur," tegur Lansaka.

Odeiva melengos malas menanggapi, lebih sibuk membaca satu per satu chat yang dikirimkan teman dan para sepupunya. Ada satu nama yang menyita perhatian Odeiva, yaitu Farel. Lelaki itu mengirimkan sebuah ucapan maaf tak bisa datang karena suatu hal, kemudian mengucapkan selamat, dan terakhir adalah sebuah video.

Tak ada niat membuka video itu, takut jika kakak seniornya mengirimkan video iseng. Maka ia balas saja isi pesan. Setelahnya Odeiva membalas satu per satu chat dari teman dan sepupu. Isinya tidak lain adalah ucapan selamat, ada pula yang mengingatkan untuk membuka hadiah bersama suami.

"Kalau belum tidur, bisa ngobrol sebentar?" Lansaka kembali bersuara.

Odeiva pura-pura menguap, kemudian mengunci layar ponsel. Mungkin memang tidak sepantasnya memperlakukan Lansaka seperti ini, jika ditelaah kembali sebenarnya Odeiva merasa geli sok ngambek ke laki-laki yang belum lama dikenalnya, apalagi laki-laki tersebut belum punya rasa padanya.

"Makasih udah balas ucapan Ayah dengan berani. Aku sengaja nggak ikutan, karna kalau ikutan Ayah bakalan balas nyerang kamu lebih parah," jelas Lansaka, "jangan tersinggung, Ayah masih benci kelakuan kamu waktu itu."

Seketika Odeiva berbalik. "Aku udah bilang berkali-kali, itu nggak sengaja," timpalnya, setengah berteriak.

"Akhirnya kamu noleh juga," Lansaka tertawa kecil, "video yang kamu buat, otomatis hancurin hidup Ayah. Selama ini dia jadi parasit di Bunda. Mereka cerai, dan Ayah nggak dapat apa-apa."

"Numpang, gitu?"

"Bisa dibilang kayak gitu," Lansaka tersenyum miris, "jadi, apapun yang dia omongin, jangan masukin ke hati."

Amarah Odeiva mulai surut mendengarkan apa yang dijelaskan oleh Lansaka. Namun, dari tiap ucapan Fahtar, ada satu yang membuat Odeiva bertanya-tanya. Mungkin memang sudah terlambat untuk menanyakan, sebab sekarang pernikahan tersebut sudah terjadi.

"Boleh aku tanya?" Odeiva menatap lelaki itu, tetap di manik mata, "Mas nerima perjodohan ini karena kasihan sama Bunda. Itu berarti terpaksa, 'kan?"

Lansaka tak langsung menyahuti.

"Jadi, ke depannya kita bakalan gimana? Karena yang aku lihat, Mas nerima tapi nggak ada rasa cinta."

Suaminya itu membalas tatapannya. "Mas juga mau nanya sama kamu. Udah ada rasa cinta, nggak, ke Mas?"

**

Odeiva mengacak rambutnya kala mengingat lagi pertanyaan sama yang keluar selisih dua tiga detik. Harusnya ia tak perlu menuntut, sebab mereka sama-sama belum memiliki rasa. Saat ini yang dilakukannya hanyalah melirik Lansaka yang tertidur pulas di sebelahnya setelah mereka saling bungkam.

Berdecak, Odeiva mengambil ponsel untuk menghilangkan suntuk. Dibuka kembali ruang chat bersama Farel, membuka video yang dikirimkan lelaki itu. Ya, Odeiva sungguh tak punya kerjaan, maka saat teringat, itulah yang dilakukannya.

Video berdurasi tiga puluh detik, menampilkan Riko tengah tertidur di atas meja. Sekilas tak ada yang membuat Odeiva tertarik, sebab itu hanyalah Riko, bukan orang istimewa yang ingin dilihatnya. Namun, di detik dua puluh lima Odeiva mengernyit, ia perbesar volume ponsel dan mengulang kembali video tersebut.

"Dei," panggil Riko, terdengar begitu pilu, tetapi terlihat setengah sadar ketika mengucapkan.

Seketika Odeiva melongo, mengulang berkali-kali video itu, mencari penyangkalan bahwa dirinya hanya salah dengar, tetapi nihil, ia mendengarkan namanya disebut. Semakin melongo ketika menyadari bahwa Riko tengah mabuk di hari pernikahannya. Bisakah ia merasa besar kepala sekarang?

"Mampus lu!" Odeiva tersenyum miring, "sok keras, padahal kertas. Rasain, tuh!"

Senyum jahatnya terbit, merasa puas dengan apa yang dilihatnya. Puas menertawakan keadaan Riko, ia menuju instagram, mem-posting kembali story yang dikirimkan temannya. Demi menghargai ucapan-ucapan tersebut, padahal kebanyakan dari mereka sudah dibalasnya melalui chat.

Odeiva dan pencitraan tak bisa dipisahkan.

"Kamu emang sering begadang begini?"

Odeiva terkesiap, menoleh ke lelaki yang ada di sebelahnya. "Udah mau tidur, kok." Mematikan layar ponsel.

"Nggak capek sejak pagi belum istirahat?" tanya Lansaka lagi, "ini udah jam dua pagi, loh."

Jujur, ia baru tahu bahwa lelaki itu juga bisa bawel. Mendengar Lansaka berdecak, Odeiva menoleh, mendapati wajah sang suami yang terlihat terganggu dengan kelakuannya. Ia mengutuk diri sendiri, melupakan bahwa sekarang harus saling menghargai, dan selalu ingat bahwa kamarnya adalah kamar Lansaka juga.

"Maaf," lirihnya, merasa bersalah, "aku terbiasa tidur sendiri, jadinya nggak bisa nahan mulut buat nggak berisik."

Lansaka menghela napas berat. "Ya udah, tidur."

Odeiva mengangguk patuh, segera memejamkan mata. Tak usah mengharapkan aktivitas pengantin baru di malam pertama, sebab diamnya Lansaka dan dirinya tadi mengatakan bahwa mereka masih sama-sama belum punya rasa meskipun telah menerima takdir.

"Tapi harusnya ada rasa tertarik, 'kan?" gumam Odeiva, kembali membuka matanya, "cinta sama tertarik, kan, beda."

Ia mengernyit, pusing sendiri dengan pemikirannya. "Tapi kalau cuma tertatik, berarti ngandelin nafsu."

Odeiva mengubah posisi tidurnya, menghadap ke arah Lansaka yang terlentang. Ditatapnya wajah samping itu begitu intens, mencari jawaban atas apa yang dirasakan sekarang. Jujur, Lansaka memang menarik, benar-benar menarik dari segi fisik. Namun, untuk cinta rasanya Odeiva belum memiliki itu.

"apa lagi sekarang?" Lansaka membuka mata.

"Nggak apa-apa," balas Odeiva, kembali memejamkan mata dan menyembunyikan wajah di balik selimut.

***

Helloww
Love dan komen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang