Lansaka tahu bahwa istrinya pura-pura tidur saat ia masuk ke dalam kamar. Sangat mudah mengetahuinya, dilihat dari gerak tak natural dan terkesan kaku yang dilakukan Odeiva saat menarik selimut.
Hanya saja, Lansaka tidak protes sama sekali, ia memilih berbaring di sebelah istrinya dan ikut terlelap di sana. Hingga pagi tiba, Lansaka tak mendapati keberadaan Odeiva di kasur tersebut, membuatnya kebingungan di ruang asing yang baru pertama kali dimasukinya.
"Gue turun aja, kali, ya?" Lansaka memperluas pandangan, menatap ke seluruh ruang.
Kedatangannya ke rumah ini bisa dihitung jari, itu mengapa terasa sangat asing. Ditambah sang istri seakan menghindar dan tidak membawa serta dirinya untuk keluar kamar atau sekadar memberitahukan letak ruang-ruang penting dan ruang yang tak boleh dimasuki.
Sejujurnya Lansaka menyadari perubahan ekspresi Odeiva saat kemarin dirinya membahas bulan madu. Wajahnya itu menegang, sekian detik berlalu malah berubah menjadi merah. Lansaka mulai mengeluarkan kata-kata, hanya sekadar untuk menggoda sang istri, nyatanya perlakuan tersebut membuatnya dihindari seperti sekarang.
Ia tak mengerti mengapa sulit mengartikan sifat dan sikap Odeiva. Di saat Lansaka sudah membuka satu pintu, ternyata banyak pintu yang menunggu untuk dibuka. Begitulah sikap dan sifat Odeiva, hari ini akan ramah, besok berbeda, besoknya lagi seperti orang asing.
Lansaka keluar dari kamar sembari mengucek matanya, turun ke lantai bawah, menatap sekeliling yang sangat sunyi. Ia menuju pintu utama, terdengar suara sapu lidi dari arah taman kecil di dekat garasi. Odeiva terlihat tengah membersihkan taman tersebut, hal yang baru dilihat oleh Lansaka.
"Kamu kelihatan mahir, apa kita beli rumah aja, biar kamu bisa punya taman sendiri?" ucapnya, membuat sang istri menoleh seketika dengan wajah terkejut.
"Udah bangun," Odeiva menggigit bibir bawah, mata menatap horor seperti tengah melihat hantu, "mama udah siapin sarapan, makan, gih."
Lansaka yang berdiri di teras rumah, merenggangkan otot-ototnya, tak mengindahkan apa yang dikatakan oleh istrinya. "Aku suka komplek rumah kamu, masih kelihatan asri. Apalagi di dekat sini ada danau, semalam aku nggak sengaja lihat."
"Makan," suruh Odeiva lagi.
"Kamu tahu nggak, ada menantu yang merasa canggung di rumah mertuanya," Lansaka membuang napas kasar, "ya kali, aku datang-datang minta makan ke mama, sedangkan di sini aku punya istri yang harusnya nyiapin makananku."
Odeiva memasukkan sampah ke dalam kantong plastik berwarna hitam, kemudian bersiap membuang ke bak sampah yang berada tak jauh di depan rumahnya. "Kalau gitu tunggu aku selesai ngurus ini dulu."
Melihat itu, Lansaka segera menyusul sang istri dan mengambil alih si kantong sampah yang ternyata tidak terlalu berat. "Itu temen kamu, 'kan?" Ia tak sengaja menangkap keberadaan seorang perempuan yang tengah menyiram tanaman.
Tanpa isyarat, Odeiva meraih dagu suaminya agar mereka berdua bisa saling tatap. "Jangan liatin dia, entar dia bisa sadar kalau lagi diperhatiin."
"Maksudnya?" Lansaka benar-benar tidak mengerti maksud istrinya itu.
"Aku dan dia lagi dalam hubungan dingin. Males aku ketemu dia, sok iye, padahal tai."
Lansaka mendesis, menegur ucapan Odeiva. "Nggak boleh ngomong kayak gitu."
"Emang bener ju—"
"Eh, Dei?" sapa seseorang.
Keduanya yang telah sampai di bak sampah, menoleh ke asal suara. Seorang lelaki berdiri tegap, di tangannya pun terdapat kantong plastik hitam yang Lansaka yakini bahwa berisi sampah.
"Kak Farel, hai." Odeiva membalas sapaan itu, nyaris terdengar riang.
"Datang kapan, Dei?" tanya Farel, membalas senyum juniornya tersebut.
"Kemarin," Odeiva menjawab, "nginep di sini, Kak? Kapan balik? Bisa kali, kita nongki-nongki sebelum kalian balik."
"Gue mah emang udah di sini sejak nikah, lo aja yang nggak tahu."
Odeiva membulatkan bibir, detik kemudian bisa Lansaka lihat terdapat senyum iblis di bibir istrinya tersebut. Ia mengikuti arah pandang Odeiva yang sekilas berpindah sedetik ke suatu tempat. Di sana, Lansaka memperhatikan wajah kurang enak Adel yang menatap kedekatan keduanya.
Harusnya Lansaka cemburu, tetapi ternyata rasa itu tak juga hadir meskipun Odeiva lebih lembut berbicara dengan Farel dibanding dirinya, yang pasti berujung pertengkaran. Ia cukup sadar, apa yang dilakukan oleh istrinya tersebut, hanya untuk memanas-manasi Adel yang kini wajahnya sudah merah padam.
"Sampahnya udah aku buang," ucap Lansaka sembari menggenggam tangan istrinya, "kami masuk dulu, ya, belum sarapan soalnya."
"Oh, iya, Bang." Farel mengangguk.
Lansaka mengambil tindakan tersebut agar Odeiva tidak terlalu jauh terjerumus dalam sumur yang digali sendiri. Biar bagaimanapun, ia ingin istrinya memiliki hubungan baik dengan orang lain, karena pasti teman akan dibutuhkan dalam suatu hal. Mungkin bukan sekarang, tetapi waktu terus berjalan.
**
Odeiva mengerucutkan bibir karena Lansaka menyeretnya dari hal yang sangat-sangat ditunggunya. Ya, ia sudah menyadari sejak menyapu di halaman, bahwa Adel sempat melihat ke arahnya hanya saja tidak menyapa seperti apa yang telah tertinggal di masa lalu.
Itu mengapa, adegan buang sampah sangat ditunggu olehnya, sebab bak sampah berada di dekat rumah Adel. Merasa belum cukup memanas-manasi mantan temannya itu, Lansaka malah berpamitan pada Farel dan membawa serta Odeiva untuk masuk.
"Harusnya Mas masuk aja, aku masih mau ngobrol sama Kak Farel," protesnya.
Lansaka yang hendak memasukkan roti ke mulutnya, seketika berdecak, menegur kelakuan sang istri. "Udah cukup, ya. Dengan kamu terlihat lebih cantik di pernikahan Adel, itu udah lebih dari cukup buat kamu balas dendam."
"Hm? Kata siapa aku lebih cantik dari Adel di pernikahannya?" Odeiva memicingkan mata, "aku juga belum cerita soal ini, loh."
Suaminya itu melanjutkan makan tanpa mengatakan apapun. Odeiva benar-benar curiga pada apa yang diketahui oleh Lansaka, maka dari itu ditatap intens wajah samping sang suami, seakan mencari jawaban di sana.
"Uhuk!" Lansaka terbatuk.
"Makanya, makan itu pelan-pelan." Odeiva mengambil segelas air dan memberikan pada suaminya. "Tapi nggak masalah Mas tahun dari mana, asalkan informan itu nggak ngomong kebohongan ke Mas."
"Maksudnya?"
Odeiva tersenyum manis. "Aku emang lebih cantik dari Adel. Mas harus naikin gaji informan itu, kerjanya luar biasa."
Lansaka terkekeh geli. "Dia kerjanya cuma pas aku di London, sekarang udah enggak."
Odeiva cukup kecewa mendengar pengakuan penuh kejujuran tersebut. Itu berarti Lansaka mengakui bahwa selama ini memata-matai odeiva tanpa diketahui olehnya.
"Lagian, setiap bulan dia selalu dapat jatah dari Mas."
"Cewek?" Odeiva penasaran.
Lansaka menggeleng. "Cowok. Kalau aku kasih tahu siapa orangnya, kamu pasti bakal marah-marah karena selama ini ngasih dia jajan tanpa izin dulu ke kamu."
Seketika rasa penasaran Odeiva menguap begitu saja, ia tak lagi ingin tahu siapa orangnya. Tentu itu adalah orang terdekatnya, atau bisa dibilang sang adik semata wayangnya, Oka. Karena di rumah ini, hanya Oka yang mau menerima uang dari siapapun tanpa tahu malu.
"Nggak apa, deh." Odeiva memaklumi, sebab ia mengenal Oka bukan hanya sehari. "Tapi serius, Mas, aku puas banget pas denger Kak Farel tinggal di rumah Adel. Itu berarti mereka masih numpang sama orang tua, dong." Bibirnya tak bisa menahan senyum miring meremehkan.
"Itu berarti kamu harus bersyukur, punya suami kayak Mas, yang mampu bikin kamu nggak tinggal bareng mertua," sahut Lansaka.
Odeiva tertawa kecil. "Tinggal bareng bunda juga nggak masalah, yang bikin aku seneng, Adel dapet suami yang numpang di rumahnya, bukan ngajak Adel tinggal di rumah mertuanya." Selanjutnya suara tawa Odeiva menguasai ruang makan.
**
Hellow
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)
RomansaOdeiva Swanelly memiliki tujuan hidup baru setelah mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Ia ingin terkenal di aplikasi tiktok, semakin hari, rasa ingin dikenal semakin tinggi. Di suatu hari saat pergi berdua bersama sahabatnya, Odeiva tak bisa men...