OD 41 : Catatan Keinginan

16.8K 1.7K 53
                                    

Nyatanya Odeiva tidak menolak ajakan Lansaka untuk makan siang bersama, bahkan dirinya dengan kesadaran tinggi menjadi orang yang merekomendasikan restoran tempat mereka sekarang menghabiskan makanan.

Siang begitu terik, tetapi Odeiva dengan santainya melenggang masuk ke restoran tanpa dipaksakan. Ada sesuatu yang sudah sering diungkapkan, tetapi akan ditegaskan hari ini juga. Yaitu tentang Odeiva yang masih sangat menolak keputusan Lansaka yang ingin membiarkan Pretty tinggal bersama orang tua angkat, agar Odeiva mau mempertahankan pernikahan.

Sudah ia bilang berkali-kali, Odeiva mungkin jahat pada mantan sahabatnya, mantan pacarnya, atau orang-orang yang pernah menyakiti. Namun, ia tak pernah sekalipun berpikir akan merebut kebahagiaan seorang anak kecil. Odeiva tahu bagaimana perasaan anak yang ingin disayangi orang tuanya, maka ia tak bisa mengabaikan keputusan sepihak Lansaka yang setega itu pada darah daging sendiri.

"Habis dari sini, kamu ke mana?" tanya Lansaka, setelah merasa perutnya sudah kenyang, ia menghentikan aktivitas makannya dengan segelas cairan berwarna hijau.

"Paling ke rumah ortu atau apartemen, tahu sendiri, aku nganggur sekarang."

"Nggak ada janjian gitu?" Lansaka kembali bertanya, "kalau nggak ada janji, kita bisa habisin waktu di sini dengan ngobrol."

Odeiva memicingkan mata. "Di apartemen juga bisa, 'kan?"

Suaminya itu tidak lantas menjawab, malah Odeiva menangkap lelaki itu melirik ke arah lain, seakan percakapan ada bersama Odeiva, tetapi pikiran berada di tempat yang tak tahu ada di mana.

"Mas?" panggilnya, setelah sekian detik tidak mendapatkan tanggapan.

"Ya?" Lansaka kembali menatap Odeiva, "ekhem, karena hubungan kita sekarang udah mulai membaik, Mas punya pertanyaan."

"Kita nggak lagi baik-baik aja," ujar Odeiva, "bahkan sekarang pun kamu masih genggam granat yang sewaktu-waktu akan meledak."

"Mas koreksi, andai saja hubungan kita bakal baik-baik aja, kamu mau apa dari Mas?" Lansaka menatap tepat di manik mata, kali ini terlihat bahwa sang istri adalah satu-satunya fokus penglihatan dan juga pikiran.

Odeiva menaikkan satu alisnya, nampak penuh curiga. "Ini kayak permintaan terakhir."

Lansaka menggeleng tegas. "Kata siapa yang terakhir? Kita bakalan baik-baik aja, kok."

"Percaya diri banget," cibirnya, "aku belum mikirin apa yang aku mau dari Mas."

"Kamu bisa kirim lewat chat setelah berpikir," lelaki itu meraih gelasnya, "sebagai ganti, Mas juga bakalan kirim daftar hal yang Mas mau dari kamu."

Odeiva melongo. "Kok, gitu? Aku pikir di sini cuma aku doang yang punya wewenang buat bikin daftar keinginan."

Lansaka tertawa kecil. "Ya, nggak adil, dong."

Berdecak kesal, Odeiva bersandar dan melipat tangan di depan dada. "Ini permainan macam apa, sih? Aku nggak mau ikut," tukasnya, "aku, tuh, masih seperti kemarin, meskipun kamu mau lepasin Pretty, aku tetap bakalan ingin cerai."

Di luar dugaan, Lansaka malah tersenyum begitu manis, bukannya protes. "Aku harus balik ke kantor."

"Ha?" Odeiva lagi-lagi dibuat melongo, "ini obrolan kita belum selesai, loh."

Lansaka berdiri dari duduknya, mata itu tertuju pada pintu keluar. "Kamu bisa bayar dulu? Kita lanjutin obrolan di apartemen."

Odeiva belum sempat berkata-kata, suaminya itu malah melesat pergi dengan sangat cepat meninggalkan meja. Jangan ditanya, tentu saja ia merasa sangat kesal saat ini juga, maka dari itu tatapan bengisnya seakan menguliti punggung Lansaka.

**

"Rafael!"

Lansaka menatap punggung seorang lelaki yang seketika menghentikan langkah saat ia menyerukan nama tersebut. Inilah alasannya meninggalkan sang istri di restoran, sebab sejak mereka duduk untuk makan, Lansaka merasakan seseorang tengah memperhatikannya dari sudut yang entah dari mana.

Selama percakapan, ia berusaha sebisa mungkin untuk fokus pada Odeiva, nyatanya malah hanya bisa bertahan beberapa detik, kemudian rasa diintai itu kembali hadir. Lansaka menyadari kehadiran seseorang yang telah lama tidak bertemu dengannya, cukup melihat wajah samping yang melintas tak jauh dari mejanya, ia segera tahu siapa orang tersebut.

"Udah lama nggak ketemu," lanjutnya, sembari melangkah mendekat untuk memangkas jarak.

Lawan bicaranya perlahan membalikkan badan, membalas tatapannya. Ah, dengan kehadiran kenalan lamanya itu, membuat Lansaka bisa menghela napas lega. Area parkir yang sepi membuat kelegaannya terdengar begitu jelas, Lansaka mengulum senyum tipis yang sebenarnya ada bahagia di sana.

Namun, di antara lega dan bahagia, sebenarnya Lansaka pun merasakan kesal dan marah yang bukan main ingin dilepaskan sekarang juga. Hanya saja, ia tak ingin membuat lawan bicaranya kabur dari obrolan ini, kemudian menghilang dan tak bisa ditemukan.

"Kayaknya lo udah tahu kalau gue sering ngikutin lo."

Setelah enam tahun berlalu, akhirnya Lansaka bisa mendengarkan suara lelaki itu. Ya, perasaan diawasi memang beberapa kali dirasakan, tetapi baru kali ini Lansaka ingin mencari tahu asal dari rasa tak tenang ketika berada di luar kantor dan apartemen.

"Kalau gue nggak pernah gubris, lo bakalan diam terus?" tanyanya, penuh dengan maksud, "pernikahan gue ada di ujung tanduk, lo pasti tahu alasannya."

Sejauh ini emosi Lansaka masih bisa terkendali, meskipun wajah itu benar-benar ingin sekali ia layangkan pukulan tanpa ampun. Enam tahun dirinya hidup dalam rasa bersalah, takut, dan kebingungan. Setelah kembali ke Indonesia dan diminta untuk segera menikah oleh sang bunda, takut itu semakin menjadi.

Lansaka ikuti alur yang telah disiapkan untuknya, tetapi rasa dipermainkan terus mengikuti. Ya, orang-orang saat mendengarkan ceritanya ini akan selalu berkata bahwa dirinya bodoh dan terlalu polos, tetapi yang namanya hati nurani, Lansaka tak bisa abaikan, di saat seorang anak mulai mengenalnya sebagai ayah.

Rafael menunduk, tak mampu membalas tatapan mata yang sebenarnya terlihat tenang, tetapi rasa bersalahnya membuat ketakutan itu hadir tanpa bisa dicegah. "Gue takut itu bisa ngubah kehidupan gue," akunya.

"Apa kabarnya dengan gue?" Lansaka mendengkus, "enam tahun bukan waktu yang—"

"Mas!"

Suara Odeiva menginterupsi ucapannya, perempuan itu memukul bahu Lansaka, seakan mencurahkan kekesalan di sana. Anehnya, Lansaka tidak merasakan sakit, fokusnya masih pada Rafael yang berdiri tegak, terlihat menegang di tempat.

"Kenapa ninggalin aku! Kali ini aku bakal laporin ke bunda!" Odeiva mencurahkan kekesalannya, "bahkan ke mama papa, biar mereka tahu kelakuan kamu!"

Lansaka tersenyum masam, diliriknya sang istri dan memberikan kedipan mata sebagai tanda untuk tidak berisik. Bibir Odeiva mencibir, melayangkan gumaman kekesalan akan kelakuan suaminya. Namun, gerak pandang Lansaka malah menghentikan cibiran itu dan membuatnya ikut melihat ke mana fokus Lansaka.

"Oh, ada orang ternyata," Odeiva menatap lelaki yang berdiri di hadapan mereka berdua, "temen, Mas?"

"Bukan, cuma kenalan."

Odeiva membulatkan bibir. "Ini yang bikin Mas buru-buru pergi? Harusnya tadi kasih tahu, mau kete—"

"Kenalin, Li," interupsi Lansaka, tak melepaskan tatapan dari kenalannya tersebut, "ayah kandung Pretty."

"...."

**

Hellow

.

Jangan lupa vote dan komen 😄

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang