OD 30 : Seperti Permen Karet

16.5K 1.7K 39
                                    

Sore hari Odeiva memilih untuk kembali ke apartemen karena tak kuat dengan keberadaan Kayla yang terus menempel padanya, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, tentang Riko dan juga tentang Odeiva yang pasti akan bersatu jika ia mau bercerai. Gila, bukan?

Odeiva memang sempat berpikir merelakan statusnya sebagai seorang istri, demi gadis kecil milik Lansaka, hanya saja bukan berarti setelah berpisah dirinya akan memilih Riko. Tidak, persentase akan terjadi sangatlah kecil, sebab hati Odeiva benar-benar telah tertutup setelah mengetahui tentang Lansaka.

Tiga puluh menit dirinya berada di ruang nonton, menikmati secangkir teh dan camilan yang dibelinya sebelum pulang ke apartemen. Kalila sempat menahannya untuk pulang dulu, sebab merasa bahwa Odeiva masih merasa sedih. Namun, ia memaksa kembali karena Kayla tidak mau melepaskan genggaman.

Ya, gadis remaja itu menempel padanya bak permen karet melekat pada telapak sepatu. Membuat risi dan perlu tenaga ekstra untuk melepaskan, itu mengapa Odeiva mengambil keputusan untuk kembali ke apartemen, meskipun tahu bahwa dirinya akan menghadapi Lansaka. Menurutnya, sudah waktunya untuk menghadapi semua ini.

Odeiva mengaktifkan ponselnya yang telah dinonaktifkan hampir 32 jam. Chat masuk beruntun, membuat dirinya mengaktifkan mode hening dan menjauhkan ponsel dari posisi duduknya. Mata kembali menatap layar televisi, mulut mengunyah, pikirannya entah berlari ke mana.

Ia menghela napas berat, menatap laptop yang sedari tadi berada di atas meja, menunjukkan halaman yang tertera surat pengunduran diri. Ya, Odeiva yakin dengan keputusannya ini. Setelah berpikir lebih lanjut, ia terjerumus pada hubungan pernikahan karena ketidakinginan dirinya akan hidup mulai dari nol.

Jika saja Odeiva menerima takdirnya saat itu, tidak memikirkan gengsi, mengabaikan nafsu pamernya, pasti ia tidak akan sampai pada titik ini. Serta, harusnya Odeiva tak perlu mengumbar pada Adel tentang perasaannya kepada Farel, maka pasti sekarang ia tengah ikut bahagia menanti hari pernikahan sahabatnya itu.

Semua ini salahnya, terlalu rakus ingin mendapatkan apa yang telah tertanam di diri, padahal itu bukan suatu prestasi yang harus dikejar. Lama menatap layar laptop, ia beralih pada ponsel dan meraihnya. Nama Riko berada paling atas, disusul Lansaka, dan Adel.

Alis Odeiva terangkat, setelah sekian lama mantan sahabatnya itu mengirimkan pesan untuknya. Namun, bukan itu yang menjadi atensi Odeiva untuk saat ini, ia lebih memilih membuka pesan dari Riko yang entah mengapa rasa ingin mengomel lebih dominan daripada ingin tahu isi pesan lelaki itu.

Anda :
Adek sepupu lo rese! Sumpah, bisa nggak lo buang aja dia ke sungai atau ke mana, kek. Gue nggak bisa tidur siang gara-gara dia.

Nama lo terus dibawa-bawa sama dia. Tolong ditegur, gue nggak suka. Pokoknya kalau ketemu lagi, dia harus bungkam dan gak perlu sok kenal sama gue.

Odeiva mendengkus, mengirimkan pesan itu dengan ekspresi bengis. Masih teringat bagaimana wajah Kayla yang tidak peka pada kerisian Odeiva dan terus mengoceh soal Riko. Sumpah, Odeiva tidak ingin tahu tentang mantannya itu, tetapi Kayla tak mau menghentikan segala ceritanya yang lebih panjang dari sejarah kemerdekaan.

Notifikasi berbunyi, Odeiva membaca balasan dari Riko.

Riko :
Maaf, nanti gue tegur dia.
Sekali lagi maaf.

Tak ingin membalas, Odeiva beralih pada pesan dari Lansaka. Kebanyakan hanya bertanya keberadaannya, menginap di mana, sudah makan, dan meminta untuk cepat pulang. Total terdapat lima puluh lebih pesan yang dikirimkan. Luar biasa.

Anda :
Aku udah di apartemen. Cepet pulang, ada yang mau aku omongin.

Setelah itu, Odeiva beralih pada nama Adel. Cukup membuatnya deg-degan, sebab belum menyiapkan hati untuk berkomunikasi lagi dengan Adel. Odeiva sempat memaki perempuan itu dalam hati, mengatai, mengutuk, dan memahat sebagai orang yang dibenci, oleh sebab itu untuk bertemu lagi rasanya tidak akan sama seperti dulu.

Adel :
Nongkrong, yuk.
Lo kenapa gak aktif, sih?
Helloooooww

Memutar bola mata, itulah yang Odeiva lakukan. Munafik, kata itu seketika muncul di kepalanya. Biar bagaimanapun hatinya belum kunjung sembuh, meski tadi sempat berpikir bahwa dirinya pun cukup andil dalam keputusan Adel yang salah. Odeiva membuang ponselnya, ke singgel sofa, tak ada niat membalas pesan dari Adel.

Suara gaduh dari ruang tamu membuatnya menoleh, Lansaka datang dari arah tersebut berjalan tergesa-gesa menuju kamar. Odeiva menautkan kening, penasaran apa yang membuat lelaki itu terlihat tak tenang.

"Eli!" Lansaka memanggil saat berada dalam kamar, "Eli!"

Mendengkus, Odeiva berdiri dan menghampiri suaminya itu.

"Katanya udah pulang, kok nggak ada?" Lansaka bermonolog sambil menilik ke sekeliling kamar.

Melihat itu Odeiva menggelengkan kepala. "Nyarinya gak liat ke ruangan lain, sih!" semprotnya.

Lelaki itu menoleh, terlihat kelegaan sekaligus rasa senang di sana. "Aku pikir kamu ngilang lagi."

Odeiva berdecak. "Malas kabur-kaburan, ada beo gangguin mulu," ujarnya, "Mas kenapa sesenang itu lihat aku? Bikin curiga aja."

Lansaka yang hendak mendekat, menghentikan langkah ketika mendengarkan ucapan lantang itu. "Emangnya harus marah kalau kamu pulang? Kamu masih istri aku, loh, mana mungkin aku nggak senang lihat kamu pulang."

Orang munafik kedua, begitulah pikir Odeiva. Ia mengibaskan tangan di udara, mengatakan bahwa tak peduli dengan apa yang diucapkan dan dirasakan oleh Lansaka. Saat ini Odeiva ingin semua perhatian ada pada dirinya, sebab rencana-rencana dalam hidupnya ingin segera terealisasi.

"Ke ruang nonton sekarang, aku mau ngomong." Ia segera berbalik, kembali ke ruangan yang tadi ditempati olehnya.

Lansaka mengekor di belakang, Odeiva duduk di sofa panjang, sedangkan suaminya itu dengan gerakan cepat mengambil tempat di sebelahnya. Tanpa pikir panjang, Odeiva mengambil jarak. Jika dipikir-pikir, mereka tak sedekat itu untuk mempertahankan pernikahan ini, sebab sejak awal Lansaka hanya mengikuti keinginan Veronika, sedang Odeiva diperbudak oleh nafsu pamernya.

"Lihat ke laptop," ucapnya.

Suaminya itu menuruti, tak ada ekspresi apapun di sana, seakan telah memprediksi tindakan apa yang akan diambil oleh Odeiva. "Sesuai keinginanku, kamu nggak perlu kerja, biar aku aja. Karena kerja itu tugasnya suami."

Alis Odeiva terangkat, bukan itu yang diharapkan olehnya. "Aku nggak pernah bilang berhenti kerja karena mau jadi istri yang nungguin di rumah."

Lansaka seketika menoleh. "Jangan bilang kamu mau ...."

Odeiva mengangguk, tangannya terangkat ketika suaminya itu mencoba untuk berbicara kembali. "Jujur, aku merasa sakit karena salah menentukan masa depan, dan itu bukan salah kamu," katanya, begitu tegas, "aku setuju dengan pernikahan ini, tanpa tahu seluk-beluk kamu."

"Tapi bukan berarti ki—"

Ia kembali menginterupsi ucapan Lansaka dengan telapak tangan. "Aku nggak mau jadi perempuan jahat yang mengambil kebahagiaan gadis kecil," Odeiva menghela napas berat, "kamu pasti ngerti maksud aku, Mas."

Lansaka terdiam sejenak, menatap lurus pada Odeiva tanpa berkedip. "Dari awal ketemu aku tahu kamu orang baik," ungkapnya, "itu alasan aku setuju sama perjodohan yang dibuat Bunda. Ngelihat kamu disakiti Adel, aku peduli, Li. Saat itu aku berpikir buat jujur ke kamu, ke Bunda, karena aku nggak mau buat kamu makin bersedih."

Odeiva mengalihkan pandangan ke arah lain. "Tapi itu nggak bisa merubah kenyataan kalau kamu punya seorang putri."

"Dan putriku butuh seorang ibu," timpal Lansaka.

Odeiva kembali menatap lelaki itu. "Kalau ada Verta, kenapa harus aku? Dia ibu kandung anak itu."

Lelaki tersebut terdiam sedetik, kemudian berucap, "Verta bukan ibu kandungnya."

**

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang