OD 28 : Otot Butuh Refreshing

16.9K 1.6K 71
                                    

Setelah menegang dengan segala pemikiran yang terus bermunculan sepanjang malam, Odeiva berdiri di depan gerbang rumah temannya, berlari kecil tanpa berpindah tempat, sesekali menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan.

Udara subuh sangat menyegarkan, baru kali ini Odeiva rasakan, sebab hampir separuh hidupnya ia akan terbangun satu setengah jam sebelum pergi sekolah atau bekerja, kemudian segera menyiapkan segala hal yang dibutuhkan. Salat subuh? Odeiva lupa kapan terakhir melakukan ibadah.

Berhubung dirinya tinggal bersama seorang yang agamis sejak keluar dari pesantren beberapa tahun silam, maka Odeiva mau tak mau terbangun saat mendengarkan air mengalir dari kamar mandi, serta tersentak kaget saat menoleh kanan dan menemukan siluet kain putih berdiri menghadap kiblat.

Sejak detik itu, Odeiva tak kunjung bisa kembali ke alam mimpi sangking kagetnya pada Kalila yang tengah menjalankan ibadah salat subuh. Lantas, Odieva ikut bangkit menjalankan kewajiban? Oh, tentu tidak. Ia hanya berharap bahwa Kalila menyebutkan namanya dalam doa ketika salat.

"Tadi gue coba bangunin lo," ucap Kalila.

Odeiva menoleh, temannya itu tengah memperhatikan tanaman. Detik kemudian mulai mengeluarkan dedaunan yang sudah kering dan mengumpulkan di tempat sampah.

"Kalau lo sholat sekarang, pasti masih keburu," Kalila melanjutkan ucapannya, "siapa tahu masalah lo punya titik terang."

Odeiva mengulum bibir mendengarkan ucapan Kalila, sepertinya genre hidup Odeiva telah berubah dari romansa menjadi religi dalam beberapa detik. Beginilah jika punya teman yang religius, selama ini dirinya hanya berteman dengan Adel, yang semua orang tahu bahwa keduanya sama-sama minus dalam kepercayaan.

"Tapi kalau lo nggak mau juga, nggak apa-apa. Dari pada dipaksa, malah jatuhnya nggak ikhlas."

Melanjutkan kembali aktivitasnya, kali ini Odeiva menggerakkan tangannya berputar bak baling-baling helikopter. Sesekali ia melirik Kalila yang terlihat sangat rajin membersihkan halaman depan rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Astaga!" Odeiva tersentak kaget mendengar salam yang tiba-tiba entah datang dari mana, "siapa itu?!" Melihat ke segala arah.

Dua perempuan muda keluar dari persembunyian di balik pohon hias yang berada di dekat saluran air. Keduanya menyengir kaku, seakan merasa bersalah.

"Risya? Kayla?" Kalila menghentikan aktivitasnya, berjalan ke arah dua remaja itu.

Ya, Odeiva bisa pastikan keduanya masih duduk di bangku SMA, sebab wajah dan tingkah terlihat begitu polos. Merasa bahwa dirinya tidaklah penting dalam pertemuan ini, Odeiva mundur selangkah, dan kembali melanjutkan olahraga dadakannya.

"Kak," perempuan bernama Risya mendekat, bergelayut manja di lengan Kalila, "pagi ini kita jalan, yuk, ajak Mas Aji buat jadi supir."

Kalila menimbang, matanya melirik ke arah Odeiva. "Hari ini Kakak nggak bisa, Sya."

Risya mencebik. "Mas Aji nggak mau pergi kalau nggak ada Kakak."

Mendengar nama itu, Odeiva mendekat, pendengarannya dipertajam. Jujur, ia begitu penasaran dengan sosok yang bernama Aji, seorang lelaki yang kini berstatus sebagai pacar Kalila. Odeiva begitu penasaran apa yang dilihat seorang lelaki pada temannya itu—yang kini berubah drastis dari kepribadian yang dikenalnya dulu—hingga mencintai sepenuh hati.

"Ikut aja, Kal," bisik Odeiva, "ajak gue."

Kalila melirik. "Lo lagi sedih, nggak mungkin gue seneng dan maksa lo ikut seneng, padahal lo nggak bisa nikmati."

"Ribet banget lo," cibir Odeiva, "gue pengin lebih kenal pacar lo. Mau nilai dia, terbaik atau enggak."

Temannya itu berdecak sembari menoleh padanya dengan mata melotot. "Dei, ada adiknya, ngapain lo ngomong gitu," gerutunya.

"Ya, bi—"

"Haa!" pekik remaja yang sedari tadi diam mengamati.

"Astaga! Gue kaget, Bocah!" Dei mengelus dada, detik kemudian tangannya ditepuk oleh Kalila, menegur ucapannya yang kurang enak didengar.

Kayla terus menatap Odeiva, dari atas sampai kaki, begitu seterusnya. "Pantesan kayak kenal. Mantannya Bang Riko, ya?" tebaknya.

Alis Odeiva terangkat. "Kenapa bisa tahu?"

"Aaa!" Kayla menjerit kesenangan, membuat orang-orang di sekitarnya mengerutkan kening. Detik kemudian perempuan itu mengulurkan tangan pada Odeiva. "Kenalin, aku cewek yang di balik selimut bareng Bang Riko."

**

"Masuk," suruh Langit dengan nada gemas pada kakak semata wayangnya.

Lansaka berdecak. "Nyiapin hati dulu. Ya kali, sampai sana gue jadi gagu, kena tampol Oka gue."

Sedari tadi mobil mereka terparkir di depan rumah Odeiva, menatap rumah yang nampak sunyi itu dari luar. Terdapat dua mobil terparkir, Lansaka bisa melihat salah satunya adalah mobil lama Odeiva.

Sejak kemarin istrinya tak pulang, meskipun mengatakan bahwa akan memberikan waktu, nyatanya Lansaka tak bisa tenang berdiam diri di apartemen sendirian, merenungkan nasibnya di tangan sang bunda, belum lagi apa yang akan dilakukan Odeiva untuk mengakhiri takdir yang mengenaskan ini.

Lansaka memiliki seorang putri, siapapun akan syok saat mendengarkan. Memang sebelum bertemu Odeiva, dirinya belum memiliki status pernikahan, tetapi benar adanya ia memiliki seorang anak dari hasil hubungan terlarang.

Jangan tanya mengapa bisa terjadi, sebab Lansaka sendiri merasa bahwa itu terlalu cepat terjadi, bahkan dirinya belum sempat mengedipkan mata, tiba-tiba saja ia telah memiliki seorang putri. Sesuatu yang membuatnya saat kuliah jarang keluar apartemen jika bukan untuk pergi ke kampus dan berbelanja bahan pangan.

"Tuh, mamanya Kak Dei," Langit masih mengamati rumah tersebut, "tanya aja dulu."

Lansaka menghela napas berat, jika bertemu mama dari Odeiva, ia masih memiliki kekuatan. Hanya cukup memberikan ucapan-ucapan penuh kebohongan, maka semua akan lancar hingga dirinya mendapatkan kabar bahwa Odeiva tak melakukan hal buruk.

"Tunggu sini, jangan tinggalin gue."

Ia keluar dari mobil, menghampiri Tiwi yang tengah menyiram tanaman di pagi hari. Wanita itu nampak sumringah saat mendapatkan kembang berwarna-warni tersebut tumbuh subur menghiasi taman.

"Selamat pagi, Ma," sapanya.

Tiwi menoleh. "Eh, Lan! Sendirian?"

Mengangguk kaku, Lansaka memangkas jarak. "Iya, sendirian."

Wanita itu melihat ke luar pagar. "Dei nggak ikut?"

Ucapan itu mengatakan bahwa Odeiva Swanelly tak berada di rumah ini, membuat Lansaka sedikit menghela napas lega. Ya, sudah dibayangkannya akan mendapatkan pukulan dari Oka atau makian dari papa mertuanya, karena membiarkan Odeiva pergi dari rumah dan baru mencari sekarang.

"Nggak ikut, Ma. Dia lagi jalan sama temen-temennya," kilahnya, "aku tadi lewat jalan depan, mau belanja. Mama mau dibeliin apa, biar sekalian." Lagi-lagi berkilah.

Tiwi berdecak, tersemat senyum di bibir. "Nggak perlu, yang dibelanjain Dei kemarin aja belum habis. Mama sakit kepala bagi-bagi cemilan ke tetangga. Sekarang nggak tahu lagi mau bawa ke mana sisanya, dipikir Mama mau bikin toko kali, ya."

Lansaka sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Tiwi, tetapi kepalanya mangut-mangut saja, seakan mengerti. "Kalau gitu aku pamit, Ma. Sekalian mau jemput Dei juga." Bohong lagi.

**

Hmm

Bonus bab tersedia di karyakarsa

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang