OD 42 : Jadilah yang Kuinginkan

17.4K 1.5K 17
                                    

"Kok, dilepas gitu aja, sih, Mas?" Odeiva protes pada keputusan sang suami, "udah bertahun-tahun ditipu, masa dilepas gitu aja?"

Lansaka yang berada di balik kemudi, menipiskan bibirnya menjadi segaris lurus. Odeiva bisa melihat tak ada emosi berlebihan di sana, pikiran lelaki itu seakan berada di tempat lain, sembari menatap mobil Rafael yang meninggalkan area parkir.

"Mas," Odeiva gemas melihat tingkah Lansaka, "iiih." Ditariknya telinga suaminya itu.

"Ah," ringis Lansaka, kesadarannya seketika kembali ke bumi, "kenapa, sih?" Ditepisnya tangan sang istri.

"Itu, kenapa dia dilepas gitu aja?"

Lansaka mengusap telinganya, bisa dilihat dari kaca spion, telinganya memerah akibat jeweran tak berperasaan dari Odeiva. "Kata siapa dilepas gitu aja? Mas udah minta nomor kontaknya, kok."

Odeiva menggeleng tak habis pikir dengan kepolosan suaminya itu. "Mas pikir, dengan ngasih nomor, dia nggak bakalan kabur? Luar biasa, pemikiran yang begitu dangkal!"

Lelaki itu membuang napas kasar. "Kamu pikir aja, kenapa Mas ajak kamu naik mobil ini dan ninggalin mobil kamu di sini?"

"Kenapa emangnya?"

"Karena mobil kamu Mas suruh supir pakek buat ngikutin Rafael," jawab Lansaka, sedikit sewot sebab tadi Odeiva sempat mengatainya berpikir dangkal.

Odeiva melongo, detik kemudian ia mencari keberadaan mobilnya yang terparkir di sebelah mobil Lansaka, tetapi nihil, tak ada di sana. Ia pun baru ingat, tadi Lansaka datang ke restoran bersama sopir, dan saat Odeiva masuk mobil suaminya, tak ada tanda-tanda kehadiran sopir tersebut.

"Wuah," tak sengaja Odeiva menggumamkan satu kata kagum, "luar biasa, bahkan saat Mas ambil kunci mobilku saja, aku nggak sadar. Bener-bener sikap yang diam, senyap, tapi bisa mengatasi masalah."

Lansaka menyeringai, seakan ucapan istrinya itu sebuah pujian yang mampu membuat kepalanya meledak. "Oh iya, dong. Sebenarnya kamu sendiri yang buat Mas ambil keputusan itu."

"Maksudnya?" Odeiva mengerutkan kening, ucapan suaminya tak mampu dicapai oleh akalnya.

"Kamu kaget pas Mas kenalin Rafael, tasmu jatuh dan kunci mobil keluar dari tas. Makanya, Mas ambil dan segera ke Pak Anton, balik lagi ke kamu, ternyata kamu nggak sadar dan malah emosian marahin Rafael."

Odeiva melirik keluar jendela, merasa bodoh karena menyadari bahwa amarah yang tadi dikeluarkan untuk Rafael, membuat Lansaka tersenyum senang mendapatkan pembelaan. Ah, dibanding senang, Odeiva malah menganggap itu sebuah pukulan telak baginya karena sempat kesal bukan main pada suaminya saat keberadaan Pretty terungkapkan.

Sampai-sampai ia berkali-kali mengucapkan cerai, tetapi kemudian menyesali keputusan itu saat menyadari bahwa dirinya akan ditertawakan oleh Adel dan lainnya. Namun, saat melihat Lansaka dan memikirkan Pretty, keinginan tersebut timbul lagi. Ah, Odeiva benar-benar masih labil, tak bisa menetapkan satu tujuan hidup, selalu berubah sesuai suasana hati.

"Karena semuanya udah jelas, gimana kalau kita bulan madu?"

"APA?!"

Lansaka tersentak kaget mendengarkan reaksi istrinya. "Bu-bulan madu, kenapa harus kaget, sih?"

Odeiva menggigit bibir bawahnya, kembali membuang pandangan ke arah lain, asalkan bukan pada sang suami. "Bisa-bisanya reaksi gue memalukan kek gitu," dumelnya, bergumam.

"Kita harus atur jadwal," ucap Lansaka, "bagusnya ke mana, ya?"

Memejamkan mata, Odeiva tak sanggup lagi mendengarkan keputusan sepihak yang dilakukan oleh suaminya itu. Memang sebelumnya ia menginginkan bulan madu bersama Lansaka terjadi dalam hidupnya, tetapi entah mengapa sekarang Odeiva malah sangat ingin menghindari hal itu.

"Begini," Odeiva membuang napas kasar, kemudian berusaha memasok oksigen yang terasa minim dalam mobil ini, "Mas baru pulang dari luar negeri, dan udah lama ninggalin pekerjaan. Jadi, me—"

"Ah, iya, benar juga." Lansaka mengangguk setuju. "Kalau gitu minggu depan aja, minggu ini Mas janji bakalan selesaiin semua pekerjaan yang tertunda."

Odeiva melongo, tak habis pikir dengan sikap Lansaka, senyum itu menandakan bahwa sangat antusias dalam merencanakan bulan madu ini. Ia menelan ludah susah payah, melihat senyum Lansaka membuat udara seketika terasa pengap dan panas.

"Dia nggak sabar mau ituin gue?" gumamnya, mengada-ada, "gu-gue belum siap." Seketika panik menyerangnya kala membayangkan hal itu benar-benar terjadi dalam waktu dekat.

"Kita juga harus nunggu bunda pulang, ya," ucap Lansaka, "kayaknya, Mas harus nyuruh bunda cepat-cepat pulang."

"Nah, bener!" tanggap Odeiva, sedikit berlebihan dan terlalu cepat, "biar bunda bisa kita ajak ikut bulan madu, itung-itung liburan bareng."

Seketika Lansaka terkekeh pelan. "Masa iya, bulan madu ngajakin orang tua? Nggak, lah. Bulan madu itu punya kita, bukan punya anak dan orang tua. Ngerti?"

Odeiva tidak menyahuti, idenya tadi seketika terlintas kala mendengarkan kata bunda. Ya, ia berencana akan menjadikan alasan untuk menunda malam tersebut bersama Lansaka. Pura-pura ingin mengobrol bersama
Veronika sampai larut malam, atau ingin tidur menemani bunda yang sudah janda.

Ah, sepertinya Odeiva dari sekarang harus memikirkan ide untuk menghindari malam penyatu—

"Luar negeri atau dalam negeri?"

"Ha?" Odeiva melirik, nyatanya Lansaka masih membahas rencana bulan madu itu.

"Kamu nggak mau nyoba ke Turki? Mas lihat di media sosial, tahun ini banyak artis-artis yang pergi ke sana buat liburan."

Odeiva menelan ludah, bersiap menolak ajakan tersebut. "Mas, kayaknya terlalu buru-buru, deh."

Lansaka yang masih berkonsentrasi mengemudi, sekilas menoleh pada sang istri. "Buru-buru gimana? Kita udah dua bulan nikah, loh."

"Mas konsen nyetir aja, kita bahas nanti."

**

Dibandingkan meminta diantarkan ke apartemen, Odeiva malah menyuruh Lansaka mengantarkan ke rumah orang tuanya. Pikiran ini harus segera dijernihkan, menyusun ide untuk menghindari yang namanya bulan madu, seperti yang telah direncanakan oleh Lansaka.

"Kok, gue gugup bukan main, ya?" Odeiva menyentuh dadanya yang berdegup kencang, "padahal masih seminggu lagi, tapi gue bener-bener nggak bisa nahan gugup."

Di balkon kamarnya, Odeiva mondar-mandir. Ia telah mengenakan piyama lusuhnya yang sengaja ditinggalkan di rumah ini dan tak dibawa ke apartemen. Lihatlah, itu membuktikan bahwa saat pindah dari rumah orang tuanya, Odeiva telah siap seratus persen dan bahkan meninggalkan piyama lusuhnya agar terlihat menawan dengan piyama-piyama barunya.

"Kok, gue jadi gini, sih?" Odeiva berdecak berkali-kali, "apa ini karena gue ragu sama Lansaka?"

Ia menggigit bibir bawahnya, malam sudah semakin larut, ponselnya sengaja dimatikan agar Lansaka tak bisa menghubungi. Ya, saat mendengarkan suara suaminya itu, pikirannya malah terbang ke hal-hal yang bisa terjadi saat bulan madu benar-benar terlaksana.

"Ah, gue gemetar lagi," Odeiva mengusap lengannya, "ini gugup atau takut, sih?"

Memusatkan pikirannya, Odeiva berusaha tenang dan memikirkan apa yang membuatnya menjadi seperti ini. Dibandingkan perjalanan berdua, nyatanya Odeiva malah lebih takut dengan malam hari.

Ia menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan pikiran kotor tersebut. "Ini nggak bener, gue baru kali pertama, gila."

Saat Odeiva menarik napas dalam dan membuangnya perlahan, ia bisa melihat sebuah mobil yang dikenalinya berhenti di depan rumah. Ya, nyatanya Lansaka malah datang ke rumah ini di waktu hampir tengah malam.

"Dia mau mempercepat proses, atau gimana?" gumam Odeiva, ujung jari-jarinya kini sudah terasa dingin.

**

Vote dan komen

Mau cuss ke lapak sebelah dulu 😜

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang