OD 23 : Coba Tenang

16.6K 1.7K 14
                                    

Odeiva kembali ke apartemen dalam keadaan hampa, tatapannya kosong, begitu pula dengan pikiran. Lansaka yang sedari tadi berada di sebelahnya, tak dihiraukan, kendati lelaki itu berkali-kali sengaja mengguncang kasur dengan gerakan berlebihan, tetapi Odeiva masih saja tak bereaksi.

Sejak kembali dari rumah orang tuanya, Odeiva sudah bersikap aneh begini. Lansaka menggoyangkan tangannya di depan wajah sang istri, tetap bergeming, ia jadi terheran-heran melihat sikap tersebut. Mau bertanya, tetapi tak dijawab, Lansaka hanya bisa berbaring dan berusaha untuk tidak mengganggu istrinya.

"Selama ini gue nggak pernah tahu pacarnya Kak Farel, sih," gumam Odeiva, bermonolog.

Lansaka yang hendak menarik selimut, lantas kembali menatap istrinya itu. "Kamu udah sadar?"

Odeiva berdecak, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa harus disembunyiin, sih?" terisak, "pantes aja temen nongkrong Riko kenal sama dia ...."

Apa yang Odeiva rasakan sekarang, lebih sakit dibanding saat dirinya mengetahui bahwa Riko berkhianat. Ia sangat mempercayai Adel, mereka bersama bukan hanya setahun atau dua tahun. Rasa percaya itu telah hadir sejak lama, bahkan Odeiva menganggap Adel sebagai saudarinya.

Ia menangis sejadi-jadinya, bak kehilangan segalanya di dunia ini. Orang yang dicintai menikahi sahabatnya, kepercayaan hilang, Odeiva seperti orang yang dibodohi. Mungkin saja keduanya sering menjadikan Odeiva bahan tertawaan karena terlalu polos dan mau dibohongi.

"Tega banget," lirihnya.

Odeiva menyembunyikan wajah di kedua lutut, tak bisa menghentikan tangisnya meskipun hati terus mengeluarkan kata-kata menenangkan. Sebenarnya, jika Farel menikah, itu tak masalah bagi Odeiva. Hanya saja, kenapa harus Adel? Dan kenapa harus disembunyikan darinya?

Melihat hal tersebut, Lansaka bangkit dan duduk di sebelah perempuan itu, mengelus rambut Odeiva dengan sangat lembut. Mungkin ia tak tahu apa yang terjadi pada sang istri, tetapi tangisan itu terdengar begitu perih, menembus dada Lansaka dan berakhir dengan iba.

"Mas tahu nggak," Odeiva mengangkat wajahnya, menatap Lansaka, "orang yang aku suka, ternyata mau nikah sama sahabat aku."

Lansaka menatap miris, tangannya tak henti mengelus rambut, memberikan kekuatan. Sang istri menangis tersedu-sed, mengeluarkan apa yang ada dalam hati. Tangisan itu menandakan kekesalan, sakit, dan sedih, Lansaka tak bisa membantu jika sudah begini. Odeiva menangis bak anak kecil kehilangan mainan barunya.

"Aku nggak tahu harus bersikap apa nantinya, nggak tahu mau dimaafin atau enggak. Karena jujur, ini sakit banget," Odeiva memukul dadanya, "Mas, aku harus gimana?"

"Sabar...."

Odeiva menghapus air matanya, apa yang dikatakan Lansaka memang benar. "Iya, memang harus sabar ...," ia menghela napas lelah, "tapi sakit, Mas, aku nggak sanggup seperti ini."

Selain sakit dikhianati sahabat sendiri, Odeiva juga merasa harga dirinya bak dicabik-cabik. Apakah dirinya tak penting di mata Adel? Apakah persahabatan mereka selama ini tak ada artinya? Meski begitu, Odeiva sadar bahwa raungan dan tangisannya tak akan bisa mencapai Adel.

Suaminya itu mengangguk paham. "Lama-kelamaan pasti bakalan ikhlas, terima aja. Lagian, Tuhan udah nunjukin kalau mereka berdua bukan orang yang pantas buat dipercaya."

Kata-kata Lansaka berhasil membuat tangis Odeiva terhenti, benar-benar berhenti. Jika sudah begini, yang bisa ia lakukan hanyalah pura-pura tak tahu, dan mulai menjauh dari kehidupannya yang dulu. Adel yang Odeiva kenal memang sebelumnya tak pernah ada, semua hanyalah topeng semata.

"Aku mau tidur, Mas," Odeiva merapikan bantalnya, "peluk aku, ya," pintanya, tanpa rasa malu.

Lansaka mengangguk. "Iya, yang penting jangan nangis lagi."

**

Odeiva kembali ke meja kerjanya setelah seminggu lebih meliburkan diri. Ia mulai menyusun jadwal Lansaka, serta membantu sekertaris menyelesaikan berkas penting. Pikirannya sudah lebih baik, meski sesekali teringat kembali kelakuan Adel di belakangnya, tetapi Odeiva secepat kilat menghapus semua itu dengan pekerjaan.

"Semua ini, kan, Mbak?" tanya Odeiva pada sekretaris Lansaka.

"Iya, Bu."

Sejak hari ini Odeiva menjadi pusat perhatian karena pernikahannya dengan Lansaka yang menyita perhatian karyawan kantor. Banyak gosip yang bertebaran bahwa keduanya telah bersama sebelum Lansaka bekerja di perusahaan ini, ada pula yang mengatakan bahwa Odeiva sengaja mengambil video perselingkuhan Fahtar agar bisa mengait hati Lansaka.

Ya, sebab pernikahan ini, kabar dirinya yang dahulu telah terkubur rapat seiring berjalannya waktu, kini malah diungkit kembali oleh beberapa karyawan. Alhasil, dari yang tidak mengetahui, menjadi mengetahui. Begitu cepat informasi tersebar, Odeiva tak bisa menghadangnya. Biarlah orang lain akan menilai seperti apa.

Odeiva masuk ke ruangan Lansaka membawa beberapa berkas di tangannya, sudah mengetuk tiga kali dan tak ada respons, membuatnya masuk tanpa persetujuan.

"Pak, i—" Ucapan Odeiva terhenti kala melihat Lansaka tak berada di kursinya. "Pak?"

Ia mengedarkan pandangan, sayup-sayup terdengar suara napas menderu, nyaris seperti mendengkur dari arah sofa. Odeiva mendekat, mendapati Lansaka tertidur pulas di sana, sudah tak mengenakan jas, dan sepatu berada di atas karpet.

"Wuah, atasan yang luar biasa," takjubnya.

Meskipun tahu bahwa kelakuan ini sungguh tidak profesional, Odeiva tak berniat untuk membangunkan. Ia malah duduk di tepi sofa, menatap laki-laki yang sudah lima hari menjadi suaminya. Ia belum bisa membaca karakter Lansaka, tak bisa menebak isi kepalanya, yang Odeiva tahu hanyalah Lansaka bawel ketika tak suka sesuatu, baik ketika Odeiva berada dalam masa sulit, serta maniak paha.

Odeiva berdecak mengingat kesukaan suaminya itu. Kepalanya kembali berputar pada kejadian semalam, di mana Lansaka mendengarkan curhatannya dengan tenang. Dalam hal seperti itu, Lansaka selalu mengeluarkan sisi kebapakannya, yang kata Langit lebih mirip kakek-kakek.

Semalam Odeiva merasakan Lansaka terus memeluknya untuk menenangkan. Entah sampai pukul berapa, sebab ia sudah tertidur lebih dulu karena tepukan lembut Lansaka di tangannya membuat kantuk itu datang tanpa bisa ditahan.

Lama termenung, Odeiva sadar bahwa memiliki tugas penting. Menunggu Lansaka bangun sama saja membuat masalah dalam pekerjaan, maka Odeiva mengguncang pelan bahu sang suami, sembari memanggil berkali-kali.

"Hhmm... apa?" Lansaka mengubah posisi tidur memunggungi Odeiva.

Melihat itu, ia memukul bahu suaminya. "Bangun, Mas!" sentaknya.

Seketika mata Lansaka terbuka lebar, dan lekas duduk saat menyadari bahwa ia salah tempat untuk tidur. "Jam berapa?" tanyanya.

"Sepuluh," Odeiva berdecak, "Mas kenapa bisa ketiduran, sih?"

Lansaka mengucek matanya berkali-kali agar bisa menghilangkan kantuk. "Suruh siapa nangis-nangis pas lagi tidur? Aku, kan, jadi kebangun mulu."

"Siapa?" Odeiva malah balik bertanya, "cepet periksa berkas, Bunda udah nunggu."

Bukannya segera meninggalkan sofa, Lansaka malah bengong, memilih untuk mengumpulkan nyawa terlebih dulu sebelum memulai aktivitas. "Kamu mimpiin apa, sih, sampai nangis-nangis kayak gitu?" tanyanya pada sang istri yang telah meninggalkan sofa menuju meja kerja.

"Siapa yang nangis, coba? Orang aku lagi enak tidur."

"Kamu!" Lansaka meninggalkan sofa, "kamu kedengeran nangis, ya."

"Bukan, ah, bukan aku. Kalaupun iya, pasti aku bakalan kebangun," bantah Odeiva, tak mau kalah.

"Terus siapa? Kuntilanak? Ya kali."

Odeiva mendelik. "Siapa tahu iya. Tower itu, kan, pernah ada yang lompat dari lantai sepuluh."

Lansaka mengerutkan kening. "Emang iya? Kok, aku baru denger?" Seketika tubuhnya merinding membayangkan jika hal itu benar adanya.

**

Gess makasih udah mampir di karyakarsa 😅

Gimana sama ending-nya Divya?

🙄 aku salah lapak buat nanya, ya?

Vote dan komeeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang