Sebuah keberuntungan untuk Odeiva, saat dirinya mengumpulkan teman kampusnya di kedai kopi tak jauh dari kampus saat hari Sabtu, seseorang yang diharapkannya ternyata berada di balik bar, sibuk membuatkan pesanan kopi.
Entah sejak kapan Riko berprofesi sebagai barista, mungkin ini pula yang membuat lelaki itu bertemu dengannya di kampus, sebab tempat bekerja sangat dekat dengan universitas yang membuat mereka berdua mendapatkan gelar sarjana.
Odeiva mengeluarkan totebag yang sedari tadi berada di atas kursi. Ia menaruh di atas meja dan mengeluarkan apa yang ada di sana, teman yang berada satu meja dengannya seketika melotot sempurna melihat apa yang kini membuat Odeiva tersenyum cerah.
"Undangan?!" pekik mereka bersamaan termasuk Adel.
"Yap, ini yang gue maksud bikin kalian ngumpul di sini." Odeiva mulai mengabsen satu per satu undangan pernikahan tersebut, memberikan pada teman-temannya.
Tak menyangka Odeiva bisa sampai ke titik ini, menyebarkan undangan di hari reuni. Ia sendiri yang mengumpulkan teman kampusnya, dengan iming-iming akan membayar semua pengeluaran hari ini. Tentu saja, itu adalah uang dari Lansaka. Odeiva mengeluh tak terlalu tahu rumah teman-temannya, maka Lansaka memberikan ide seperti ini, pertemuan di hari Sabtu.
"Gila! Undangan lo mewah banget!" Adel tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Siapa calon lo?" tanya temannya yang lain, "orang mana? Kerja apa?"
Odeiva dengan gaya elegan, menunjuk nama Lansaka, atau lebih tepatnya nama belakang calon suaminya itu. Terdengar suara napas ditahan, detik kemudian disusul pekikan yang memekakkan telinga. Teman sekelasnya benar-benar heboh, bahkan saat kuliah mereka terkenal dengan suara besar tersebut.
Jika ada keributan dalam satu ruangan, itu pasti adalah kelas mereka. Para senior atau bahkan junior bergantian datang menegur kebisingan mereka. Diamnya hanya sedetik, kemudian kembali membuat keributan.
"Keren lo, Dei!" puji Adel, "eh, ngomong-ngomong, lo ada undangan lagi nggak? Buat...." Ia menunjuk dengan lirikan mata.
Odeiva mengangguk. Memang dirinya menyediakan undangan yang belum diberi nama. Mumpung di sini ada Adel yang memiliki tulisan tangan cantik, maka dikeluarkannya bolpoin dan undangan tersebut.
Adel tersenyum cerah, mulai menulis apa yang direncanakan. Ada senyum licik di bibir perempuan itu. "Gue yakin, dia bakal kaget bukan main. Lo sendiri yang kasih, Dei."
"Oh, jelas," ungkap Odeiva, cukup percaya diri.
Setelah menulis, Adel memberikan pada Odeiva. Mereka saling pandang memberikan dukungan. Ini adalah balas dendam ter-anggun yang pernah Odeiva lakukan pada orang jahat seperti Riko. Maka dengan percaya diri yang meningkat-saat melihat Riko tengah memainkan ponsel dan belum sibuk dengan pelanggan-Odeiva mulai melangkah.
"Sejak kapan kerja di sini?" tanya Odeiva, sekadar basa-basi.
Riko mengangkat pandangan dari ponsel, alisnya terangkat saat melihat siapa yang berbicara dengannya. "Udah lama, ini punya bokap gue."
Odeiva mengangguk paham. Jarak mereka terhalang oleh meja bar, ia menaruh undangan tersebut di sana. Riko memicingkan mata, seakan berusaha membaca apa yang tertulis di sana tanpa mau menyentuh sedikit pun.
"Datang, ya," kata Odeiva dengan nada ramah, "gue titip punya Kak Farel juga."
Riko menatapnya beberapa detik, kemudian mengambil undangan itu. "Gue pikir lo bakalan selamanya dendam ke gue." Mendengkus, terlihat sinis menatap undangan tersebut.
"Gue nggak dendam, kok, cuma masih ingat aja," balas Odeiva.
Lelaki itu menghela napas berat. "Gue baru aja mau mulai lagi." Bergumam.
"Hm?" Odeiva mendekatkan telinganya agar bisa mendengarkan gumaman itu.
Riko tersenyum kecut. "Gue bakalan datang."
Seketika senyum Odeiva terbit, dan detik itu juga ia bisa melihat pupil mata Riko melebar sempurna, bak seseorang yang terpesona akan sesuatu. Mungkin benar kata Lansaka, lelaki ini masih menyukainya, apalagi tiap kali bertemu pasti mencari gara-gara, baru sekarang saja diam dan bersikap normal.
"Oh iya, yang kejadian waktu itu. Hape gue sampai rusak, loh," sengit Odeiva.
Lelaki itu mengalihkan pandangan. "Entar gue ganti di hari nikahan, loh."
"Nggak perlu," Odeiva menyangkat tangannya yang menggenggam hape mahal, kelas selebriti, pejabat, dan pengusaha, "gue udah punya yang baru."
Odeiva akan ingat bahwa ia harus berterima kasih pada Lansaka yang membuatnya bisa pamer di hari ini. Riko menghela napas berat, kemudian memijat pelipis.
"Balik duduk, gih, entar orang-orang mikirnya lo masih suka sama gue," ucap lelaki itu.
Odeiva tertawa renyah. "Mereka tahu masa lalu lo sama gue, udah pasti nggak bakal mikir kayak gitu."
***
Tak terasa pernikahan tersisa seminggu lagi, setelah sebulan lamanya menyiapkan pernikahan. Odeiva sendiri dilarang oleh Veronika untuk datang ke kantor, katanya sudah masuk masa pingit. Sedangkan Lansaka masih diizinkan pergi ke kantor, dan hal tersebut membuat calon suaminya mengeluh karena tak ada yang bisa membantu pekerjaan.
"Bukan gitu," Tiwi memukul punggung tangan Odeiva, "diulek, bukan ditumbuk. Kamu mau kemasukan cabe matamu."
Odeiva bersungut. "Kan, bisa diblender, Ma. Ngapain susah-susah."
Tiwi berdecak. "Lebih enak diulek daripada pakai blender. Kamu ini, dengerin kata Mamamu, yang proses sulit itu lebih enak hasilnya, daripada yang pakai cara instan."
Jika membantah, maka dirinya akan semakin lama disiksa di dapur. Sejak menyiapkan sarapan hingga makan siang, Odeiva ditarik paksa oleh mamanya untuk bekerja di dapur. Jika sekadar bersih-bersih, Odeiva sangat siap dan sudang hapal dengan pekerjaan tersebut.
Namun, jangan sekali-kali menyuruhnya memasak, Oka saja kapok memakan masakannya. Pernah sekali mereka ditinggal berdua di rumah, orang tua tengah pergi ke luar kota menjenguk kakak dari kakek yang sedang sakit. Saat itu Oka masih mengenakan seragam SMA, sedangkan Odeiva masih kuliah.
Perut sudah lapar, menunggu pesanan makanan rasanya tak sanggup lagi. Odeiva tanpa pikir panjang turun ke dapur, berbekal video youtube, ia membuat nasi goreng dan ayam goreng tepung.
Nasi goreng masih bisa dimakan oleh Oka dan dirinya, tetapi ayam goreng benar-benar tak bisa dimakan, bahkan mereka hampir muntah kala merasakan bahwa ayam itu masih berdarah dan tidak matang. Jangan tanya mengapa bisa begitu, masalah pemula adalah terlalu percaya pada warna tepung yang mulai keemasan.
"Kalau ada Oka, pasti kamu bakal diledek habis-habisan," ujar sang mama.
"Dia bakal pulang dua hari lagi. Mama jangan ajak aku masak kalau ada dia."
Wanita itu mendengkus. "Pokoknya kamu harus belajar masak, sebelum dipanggil keluar rumah ini sama suamimu."
Odeiva hanya bisa mencebik. "Gimana kalau belanja aja?"
"Nggak. Kalau soal belanja kebutuhan, kamu udah jago, tahu harga pasaran juga," Tiwi terus mengomel sembari mengaduk masakannya, "soal masak kamu nggak tahu sama sekali."
"Lah, aku bisa masak mi instan," timpalnya, seketika terasa pukulan di pantatnya, "au!"
"Ulek yang bener, nggak usah banyak protes!" Tiwi melotot, tanda bahwa tak ingin dibantah.
***
Vote dan komen
Wuaaah
Bentar lagi nikah 🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)
RomansaOdeiva Swanelly memiliki tujuan hidup baru setelah mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Ia ingin terkenal di aplikasi tiktok, semakin hari, rasa ingin dikenal semakin tinggi. Di suatu hari saat pergi berdua bersama sahabatnya, Odeiva tak bisa men...