OD 13 : Cara Menikmati Hidup

19.9K 1.8K 7
                                    

Odeiva tersenyum cerah menatap ponsel barunya yang dibelikan oleh Lansaka. Sebelumnya ia menolak mentah-mentah dibelikan ponsel baru, tetapi lelaki itu memaksa dengan dalih tak bisa menghubungi Odeiva untuk sesuatu yang sangat penting.

Saat ia mengaktifkan semua aplikasinya, sebuah chat yang masuk membuat mata hampir keluar dari tempat. Odeiva segera beranjak dan tidurannya, menuju ruang tengah, di mana orang tuanya pasti tengah menonton sinetron di jam seperti ini.

"Ma! Pa!" teriaknya, panik.

"Jangan lari-lari, entar jatuh." Sang papa menegur.

"Pa!" Odeiva lekas mendekati beliau, "lihat chat dari Mas Lan." Menunjukkan layar ponsel.

Pria itu memicingkan mata, menatap layar dan membaca apa yang tertera di sana. "S-sabtu ini?"

Odeiva mengangguk. "Iya!"

"Apa, Pa?" Tiwi yang tidak diperlihatkan layar, mendekat pada keduanya.

"Vero mau datang lamaran hari Sabtu," ujar Ilham, dengan wajah masih syok.

Odeiva sebenarnya ingin protes, tetapi mau bagaimana lagi, mungkin ini memang sudah takdir dan jodohnya. Tak bisa dipungkiri, ia pun merasa bahagia mendapatkan lelaki seperti Lansaka, hanya saja mengingat belum ada cinta di antara keduanya, membuat Odeiva ingin menghilang dari bumi.

Menghilang, sama saja merelakan mobilnya. Odeiva tak bisa membiarkan hal itu terjadi, mobil adalah kebanggaannya, sama halnya dengan pekerjaan. Ia tak bisa apa-apa jika kehilangan keduanya, mungkin nanti Odeiva akan mengurung diri sangking malu keluar rumah.

"Aku siap!" serunya, setelah berpikir lama.

"Kamu serius?" mamanya berdiri dari duduk, dan pindah ke sebelahnya, "ini baru anak Mama!"

Ya, Tiwi memang merestui hubungan ini, dibandingkan sang papa yang lebih pemikir. Odeiva menatap pria itu, setelah menghela napas berat, Ilham ikut menatap.

"Ya udah, asal kamu siap, Papa juga siap," putus beliau, "tapi, Papa perlu ketemu berdua sama Lansaka."

***

Cinta memang belum melekat, tetapi Odeiva tak bisa berhenti khawatir memikirkan nasib Lansaka yang tengah mengobrol empat mata bersama Ilham. Sudah lebih dari satu jam, Odeiva belum juga diajak untuk turun, sekadar bergabung menghabiskan martabak, atau menemani obrolan malam ini.

Bukan hanya Odeiva yang disingkirkan, mamanya pun tak bisa berkutik kala mata tajam sang papa memberikan kode untuk ditinggalkan berdua saja dengan Lansaka. Ini kali pertama lelaki itu datang ke rumah ini, dan Odeiva malah tak bisa menyambut selayaknya calon pengantin.

"Kira-kira Mas Lan bakalan ngatain aku apa, ya, pas di kantor?" Odeiva bergumam.

Jarinya mengetuk meja berkali-kali, alis mengerut, seakan tengah berpikir keras. Odeiva sedang mencari antisipasi jika saja perjodohan ini tidak berjalan lancar karena keputusan Ilham yang berubah. Kesan pertama bertemu adalah awal dari penilaian, begitulah yang sering Odeiva lakukan saat bertemu orang baru.

Bahkan, jika di awal melakukan kesalahan, sampai telah akrab pun, Odeiva tetap mengingat dan akan selalu mengingat, meskipun telah memaafkan. Dan kesalahan itu selalu datang dari mulut, banyak manusia sering melukai orang lain dengan ucapan, tak peduli itu di awal jumpa atau telah akrab.

Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Tiwi muncul dari balik pintu, senyum cerah diberikan. "Kamu disuruh ke bawah sama papa."

Odeiva lekas beranjak, sebelumnya ia menilik penampilan di cermin, setelah merapikan rambut, ia menyusul sang mama yang lebih dulu meninggalkan ruangan. Sudah dari tadi ditunggunya kesempatan ini, nyaris menyentuh pukul 22.00, barulah ia dipanggil untuk turun.

Di ruang tamu, Ilham dan Lansaka duduk berhadapan, kopi di cangkir tersisa ampas, martabak di atas meja pun hanya tersisa dua potong. Odeiva ingin mencomot satu, memasukkan ke dalam mulut, tetapi tertahan karena masih memikirkan sopan santun.

"Kamu anterin Lansaka ke mobilnya, ini udah malam," suruh Ilham, terdengar dingin.

Odeiva menelan ludah susah payah, melihat papanya yang berdiri dan lekas meninggalkan ruangan. Pandangan teralih pada Lansaka, senyum manis diberikan lelaki itu, mau tak mau Odeiva membalas, meskipun tahu bahwa itu adalah sebuah paksaan.

Ia tak berani bertanya apa yang terjadi, obrolan apa yang mereka lalui hingga membuat papanya bersikap dingin. Melihat senyum palsu Lansaka, membuatnya urung bertanya, mungkin suasana hati lelaki itu pun sedang tak baik-baik saja.

Odeiva mengantarkan calon suaminya itu hingga ke mobil. "Hati-hati di jalan, Mas," ucapnya.

"Langsung tidur, besok kita harus kerja rodi." Nyatanya lelaki itu masih terdengar lembut dalam setiap ucapan.

Mobil Lansaka meninggalkan halaman rumahnya, Odeiva bergegas menutup pintu gerbang dan mengunci. Rumahnya ini tak memiliki asisten rumah tangga, semua pekerjaan dilakukan oleh penghuni rumah, yang lebih banyak berkontribusi adalah sang mama.

"Dei, cepat masuk!" panggil papanya.

Odeiva heran, tadi jelas ia mendengarkan pintu kamar papanya yang tertutup, itu berarti pria tersebut masuk ke kamar bahkan sebelum Lansaka beranjak dari ruang tamu.

"Iya, Pa!" Odeiva menyahuti, bergegas menghampiri Ilham yang ternyata kembali duduk di ruang tamu, memakan sepotong martabak, "Pa, itu buat aku aja!"

Menarik piring yang hanya menyisakan satu potong, Odeiva memakan dengan wajah cemberut. Selain protes papanya memakan martabak itu lagi, padahal tadi sudah makan bersama Lansaka, ia juga protes karena sikap dingin papanya pada si calon mantu.

"Kenapa marah-marah gitu?" tanya Ilham.

"Papa, tuh, ngeselin. Kenapa harus dingin, sih? Kita ini tinggal di Jakarta, yang ada cuma panas, bukan dingin."

Ilham berdecak. "Itu cara bikin anak orang mundur."

"Pa!" protes Odeiva, "hidupku tergantung dia, Pa!"

Pria itu malah menghela napas kasar. "Itu makanya Papa nyuruh kamu jadi guru aja, biar nggak jadi sok berkelas kayak sekarang."

Odeiva cemberut. "Guru juga berkelas, buktinya mereka ngajar sesuai kelas yang ditentukan."

"Papa lagi nggak mau bercanda," timpal Ilham, kembali terdengar dingin, "besok, kalau dia kelihatan berubah ke kamu, itu berarti dia nggak suka sama Papa. Kamu ngerti, kan, keputusan apa yang harus diambil?"

Papanya sering memberikan nasihat, saat Odeiva atau Oka mencari pasangan hidup, harus menghargai keluarga dan mencintai keluarga mereka. Selama ini Odeiva tidak benar-benar melakukan nasihat itu, sebab tak pernah serius dalam menjalani hubungan.

"Kalau dia biasa aja ke aku?"

"Itu berarti dia nggak masalah sama Papa," ujar Ilham, "kamu tidur, gih, tapi sebelumnya bikinin Papa kopi dulu."

Odeiva berdecak berkali-kali. "Orang tua kalau nyuruh nggak konsisten, ya."

Pria itu hanya tertawa kecil. "Mama kamu lagi maskeran, nggak bisa dimintai bikinin kopi."

"Ada syaratnya."

Bukannya direspon baik, Odeiva malah diberikan tatapan tajam oleh papanya. "Berani, ya, pakai syarat sama orang tua."

Odeive mencebik. "Ya udah, nggak jadi. Gulanya berapa sendok?"

Ilham menghela napas kasar, kepalanya menggeleng bersamaan dengan ekspresi meremehkan. "Papa juga nggak jadi nyuruh. Pertanyaan kamu kayak ngasih tahu, selama ini kamu nggak tahu apa-apa soal selera Papa."

"Ya iyalah, sejak kapan aku bikinin Papa kopi?"

Pria itu mengibaskan tangan, seakan mengusir sang putri. "Tidur aja, Papa nungguin Mama selesai maskeran."

***

Ini aku nggak ngedit, ya. Lagi malas ngedit 😌

Vote dan komen yoook

Detik-detik mau nikah, nih. 🤣

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang