OD 21 : Harus Satu Rasa

17.2K 1.6K 31
                                    

Lansaka bersikeras menjawab bahwa bertemu dengan Veronika di lobi, tetapi Odeiva tidak percaya. Ia pernah menjalani hubungan tanpa perasaan, bersama Riko yang ujung-ujungnya malah bosan dan berkhianat. Jika Riko dibiarkannya pergi, tidak untuk Lansaka. Odeiva tak ingin menyandang status janda di usia muda.

Menikah itu sekali seumur hidup, Odeiva ingin seperti itu. Namun, sepertinya sulit. Untuk membangun perasaan, ia harus mencari cara yang tepat dan tentu keduanya harus berkontribusi, bukan saling membelakangi seperti ini.

"Kalau nggak percaya, telepon Bunda," saran Lansaka.

"Nggak perlu. Sekarang kita harus diskusiin soal kejelasan hubungan kita." Odeiva menatap serius.

Ruang makan tiba-tiba berganti suasana, dari yang tegang menjadi lebih santai, meskipun di sana terdapat raut kebingungan. Odeiva berdeham, mengetuk meja sekali agar mendapatkan perhatian lebih, kemudian melipat tangan di depan dada.

"Mas ingat ini hari keberapa kita nikah?" tanyanya.

"Dua," Jawab Lansaka, "maksudnya kejelasan hubungan, gimana? Kita udah nikah, 'kan? Ini udah jelas banget."

"Nah, itu dia Mas," timpal Odeiva, "kita udah nikah tapi seperti nggak punya ikatan erat. Perasaan kita memang sama, tapi dalam artian sama-sama masih belum punya rasa."

Lansaka mengangkat tangannya, menyuruh sang istri berhenti berbicara. "Kamu kocak," katanya, nyaris ketawa, "itu berarti kamu akui nggak cinta sama Mas."

Odeiva berdecak, menatap lelaki yang ada di hadapannya. Siku menumpu pada meja, kemudian memangku dagu di  punggung tangan. "Memang benar, aku belum cinta. Tapi jujur, sejak awal bertemu, aku tertarik sama Mas."

"Tertarik karena?" tanya Lansaka.

"Tompel."

Sang suami tercengang, sedangkan Odeiva tertawa lepas mengingat lagi kekonyolan yang dilakukan oleh Lansaka.

"Gila, gila!" Odeiva tertawa sambil memukul meja berkali-kali, "aku pas liat Mas, rasanya pengin ketawa banget, tapi masih mikirin sopan santun. Aku sampe bayangin gimana kalau kita beneran nikah, pasti aku bakalan punya hiburan setiap hari, ketawa setiap berpapasan. Wuah, gila banget, sih."

Lansaka membuang pandangan, menahan rasa malunya yang sudah memuncak. Odeiva tak henti tertawa dan terus mengoceh tentang tompel, mengeluarkan keheranan mengapa Lansaka harus melakukan sejauh itu hanya untuk menyembunyikan ketampanan.

"Pertanyaannya, Mas," Odeiva menatap serius, "berapa lama waktu yang Mas butuhkan buat nempelin tompel itu?"

Baahh! Lansaka pikir istrinya itu akan menanyakan sesuatu yang penting.

"Kembali ke topik," Odeiva bersandar, menyilang tangan di depan dada, "Mas tertarik sama aku?"

Lansaka berdeham. "Kamu harus tahu, Mas laki-laki normal."

"Wuuuu!" Odeiva berseru, sarkastik, "kalau normal, kemarin malam dan malam ini aku udah diterkam sama Mas." Mengedikkan bahu, meremehkan.

Suaminya menaikkan satu alis. "Laki-laki kapan saja siap, tapi perempuan?"

Raut wajah Odeiva langsung berubah, tangan menggaruk tengkuk dan melempar pandangan ke arah lain, merasa bahwa telah membangunkan macan tidur. "Kembali ke pembahasan awal, ki—"

Odeiva berhenti berbicara ketika menoleh pada Lansaka, yang ternyata sudah tak duduk di hadapannya. Ia mengikuti suara langkah yang berakhir di sebelahnya, Odeiva terkejut mendapati Lansaka menatap begitu intens.

"Kamu nanya, apa aku tertarik sama kamu?" lelaki itu menaruh tangan di sandaran kursi, dan satunya lagi di meja, "ya, aku tertarik. Apalagi pertama kali liat kamu pakek hotpants di mal."

Odeiva terkesiap, menatap tak tenang pada suaminya. Wajah mereka begitu dekat, ia tak bisa menghindar karena telah terkurung dalam penjara Lansaka. Menelan ludah susah payah, mata Odeiva menangkap pemandangan bibir suaminya yang terlihat begitu manis.

"Itu makanya aku bersedia ngirim uang puluhan juta ke kamu, paha kamu luar biasa, aku suka," aku Lansaka tanpa rasa malu.

Beruntungnya lelaki itu malam ini, bisa melihat pemandangan tersebut dalam jarak dekat. Odeiva baru menyadari bahwa dirinya menggunakan hotpants kesukaannya yang sering digunakan di rumah. Lansaka yang tadi menatap serius, kini berubah menjadi singa kelaparan.

"Boleh aku elus?" tanya lelaki itu, begitu tenang.

"Gila kamu!" Odeiva melotot.

"Gila?" Lansaka terkekeh pelan, "aku ini suamimu, terserah aku ngelakuin itu ke kamu."

Seketika Odeiva mengulum bibir, mengutuk mulutnya yang tak bisa direm. "Ya ... masa sukanya ke paha doang? Kalau gitu, ke toko ayam juga dapet, banyak pula," celetuknya, menghilangkan jedag-jedug di dada. Rasanya sekarang jantungnya tengah melakukan goyang tiktok.

"Tapi Mas lebih suka punyamu."

"Fetish?"

Lansaka tertawa. "Itu tertarik namanya, Mas jujur banget, loh."

Odeiva mendorong dada suaminya itu untuk menjauh, tetapi tangannya ditangkap begitu saja. "Aku mau tidur," katanya, dengan nada tegas.

"Mas mau elus."

**

Odeiva menaruh gelasnya di atas meja begitu kasar, kepalanya tak henti memikirkan kejadian yang telah berlalu beberapa jam. Ya, Lansaka benar-benar melakukan apa yang diinginkan, Odeiva merasa bahwa pahanya ini diperlakukan seperti ponsel baru yang disentuh begitu lembut, seakan tak ingin lecet.

Gilanya hanya paha! Kepala Odeiva hampir pecah ketika merasakan gejolak yang ada di tubuhnya, apalagi ketika Lansaka dengan berani mengecup berkali-kali dan menjilat seperti menikmati lolipop. Sudah Odeiva duga, lelaki itu punya kelainan.

"Sumpah, gue merasa digantung," Odeiva menenggak habis minumannya, "paha doang, Del!"

Adel seketika menutup mulutnya. "Gila lo, kita lagi di kantin kampus. Rame. Mulut lo bisa direm dikit, nggak?"

Odeiva menepis pelan tangan sahabatnya itu. Dibandingkan pergi bekerja, Odeiva malah meminta izin untuk bertemu Adel, menceritakan kekesalannya hari itu pada Lansaka. Persetan Adel akan menilai apa hubungan pernikahan ini, yang jelas ia tak bisa menahan lagi dan ingin menceritakan.

Sahabatnya itu mengajak Odeiva menuju kantin kampus, tempat terdekat untuk merasakan ayam bakar di pagi hari. Ya, kesukaan Adel memang berbeda, Odeiva saja hanya memesan minuman karena belum mampu menguyah akibat kelakuan Lansaka.

"Ngomong-ngomong, mobil lo baru?" tanya Adel.

Odeiva mengangguk. "Dibeliin Mas Lan."

"Yang punya lo?"

"Sama Oka. Sebenarnya gue sedikit nggak rela, sih," akunya, "tapi, ngapain juga gue punya mobil banyak, kalau yang dipakek cuma satu."

Adel tersenyum miring. "Kan, bisa gonta-ganti buar pamer."

Odeiva berdecak. "Gue lagi ngeluarin kelakuan suka pamer gue," katanya, "makin lama, gue makin nggak jelas, dan makin gila kalau keinginan pamer gue nggak bisa terwujud."

Seperti bulan madu ke Bali, sangat disayangkan oleh Odeiva, mendengar bahwa Lansaka menunda rencana tersebut. Tak masalah jika ditunda, Odeiva masih terima, tetapi jangan sampai dirinya disuruh pergi sendiri. Lihat saja apa yang akan ia lakukan pada Lansaka.

"Jadi, kalian nikah tanpa cinta?" Adel menghabiskan minumannya.

"Ya," ujar Odeiva, "jangan kasih tahu siapa-siapa."

Adel mengangguk. "Tapi, Del, yang kayak gitu pasti bakalan lebih manis jalaninya, karena bisa pacaran setelah nikah."

Odeiva mendengkus. "Mana ada!" timpalnya.

"Lah, gue lihat orang-orang kelihatan bahagia pernikahannya tanpa pacaran di awal. Lo pernah lihat selebgram yang nikah tanpa pacaran?"

Ia menghela napas berat. "Tapi yang gue denger, si cowok ngelamar sendiri, itu berarti punya rasa dan harapan."

"Halah, kalau nggak ada rasa dan harapan, lo bisa pakek hadiah dari gue. Yakin, deh, bakalan manjur," ucap Adel, penuh percaya diri.

**

Vote dan komeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang