OD 9 : Ini Rasanya Lega?

22K 2K 11
                                    

Di malam itu Odeiva mengalah pada keras kepala Riko, sebab satpam mulai bergerak melerai pertengkaran mereka. Jika tak ada yang mengalah, maka yang ada Odeiva akan berlama-lama di area parkir, sedangkan malam mulai dingin dan semakin larut.

Genggaman Riko masih membekas di pergelangan tangannya, menandakan bahwa lelaki itu dan dirinya sama-sama keras kepala. Odeiva menatap lebam di tangannya, kemudian mendengkus karena merasa tangan itu tak terlihat cantik lagi.

Lansaka belum sampai di kantor, tetapi tadi bosnya itu menelepon di telepon kantor dan mengatakan untuknya menunggu di ruangan. Alhasil Odeiva berada di sini, melamun di atas sofa sembari menatap gedung-gedung pencakar langit di tengah kota.

Tiga puluh menit sudah menunggu, Odeiva merasa bosan. Pintu terbuka, menampakkan kehadiran Lansaka yang berjalan dengan langkah gontai, Odeiva mengernyit melihat ekspresi lelaki itu. Tatapan mereka bertemu, Lansaka berjalan cepat dan duduk di sebelahnya.

"Pak, ada apa? Kenapa kelihatan lelah?" tanyanya, perhatian.

Lansaka tak menjawab, kepalanya dibawa bersandar ke bahu Odeiva. Sangking kagetnya, ia menggeser duduk, membuat Lansaka menatap protes padanya.

"Pinjem bentar," ucap lelaki itu.

"Ha?" Odeiva menatap bingung, "ke-kepalanya Mas berat, bahuku nggak sanggup nahan." Berkilah.

Lansaka berdecak, kembali mencoba menyandarkan kepala, tetapi lagi-lagi Odeiva menghindar. Ketidakseimbangan Lansaka membawa kepalanya terjatuh ke pangkuan Odeiva, keduanya sama-sama terkejut dan segera menjauh.

Odeiva berdiri, menatap keluar jendela, sedangkan Lansaka berdeham berkali-kali menghilangkan salah tingkah. Jujur, ini termasuk baru di kehidupan Odeiva, tak pernah sekalipun dirinya bermesraan seperti itu bersama para mantan, termasuk Riko.

Oleh sebab itu, ketika pahanya merasakan sesuatu, Odeiva tak bisa diam saja. Meski jantung masih tak tenang, ia kembali duduk dan melirik ke arah Lansaka yang berusaha rileks bersandar di sofa.

"Aku sandaran aja kalau kamu nggak mau pinjemin bahu," ucap Lansaka, terdengar sedikit pilu.

Odeiva menatap wajah itu. Sebuah pemandangan baru baginya, seorang Lansaka yang keseharian berwibawa, ramah, dan supel, sekarang terlihat tertekan, Odeiva penasaran apa yang tengah dialami calon suaminya itu.

"Aku putusin dia." Lansaka menarik napas dalam, mengembuskan dengan sangat kasar.

Foto yang dikirimkan oleh Riko terbayang kembali di kepala Odeiva. Seorang perempuan duduk di sebelah Lansaka. Cantik, anggun, wajahnya terdapat campuran luar negeri. Seketika Odeiva merasa minder kala mengetahui bahwa perempuan itu adalah pacar Lansaka.

"Kalau cinta, kejar. Aku juga nggak mau hidup sama cowok yang cinta ke cewek lain," ujar Odeiva.

"Aku lagi berusaha ikhlas, kamu malah ngusir aku." Lansaka menoleh, menatap protes.

"Ya ... kalau mau, sih," cicit Odeiva, merasa bersalah.

Hening tercipta, yang terdengar hanya helaan napas berat Lansaka. Odeiva pernah berada di posisi itu, diperintahkan untuk mundur dan tidak memperjuangkan cinta. Saat menyadari bahwa orang yang dicintainya tak memiliki rasa yang sama, membuat Odeiva harus mundur teratur dan melupakan rasa tersebut.

Ia mulai menerima orang baru, tetapi nyatanya tak semudah itu melupakan Farel. Selama bersama Riko, yang ada dalam pikiran Odeiva hanyalah, 'kapan, sih, Riko ajak gue ke rumah Farel. Mumpung mereka tetanggaan' dan mungkin berkat itulah Riko mengkhianatinya. Meskipun Odeiva berusaha menyembunyikan, yang namanya bau busuk akan tetap tercium.

"Jangan maksa, aku tahu rasanya sakit banget," ujar Odeiva, "aku punya rasa yang belum bisa aku ungkapin, sampai sekarang masih tersimpan rapat."

Lansaka menatapnya, terlihat ragu dengan apa yang diceritakan. "Kamu ... nggak lagi ngaku punya pujaan hati, 'kan?"

Odeiva membuang punggung ke sandaran sofa. "Itu udah berlalu, sekarang aku udah selangkah ninggalin dia."

"Kenapa nggak coba ungkapin? Siapa tahu perasaanmu jadi agak lega," saran Lansaka, "aku juga nggak mau nikah sama cewek yang cinta ke cowok lain."

Odeiva mengerang. "Ngapain balas kata-kataku?"

"Ungkapin, selamanya kamu bakalan penasaran," ucap Lansaka, terdengar begitu serius.

***

Enam tahun lamanya rasa ini terpendam, berbekal saran dari Lansaka, Odeiva memberanikan diri bertemu dengan Farel. Di kafe yang sering mereka datangi, ia membuat janji bertemu sepulang bekerja.

Masih dengan setelan kantor, Odeiva membasuh wajah di toilet kafe, kemudian kembali berdandan. Pertemuan ini atas permintaannya, tak ingin mengecewakan maka ia harus berdandan semaksimal mungkin, menghapus segala kekusaman di wajah.

Setelah meras puas, Odeiva keluar dari toilet dan menuju meja yang berada di sudut ruangan. Baru saja mengatur letak tasnya, seorang lelaki menghampiri dan duduk di hadapannya.

"Eh, Kak, udah dateng," ucapnya, berusaha menyembunyikan kegugupan.

"Lo udah lama?"

Menggeleng. "Belum, aku baru datang juga."

Farel membulatkan bibir. "Ngomong-ngomong, gue nggak bisa lama, kalau bisa kamu langsung kasih tahu aja apa yang mau diomongin."

Odeiva mengigit bibir, bahkan ia tak diberikan waktu hanya untuk sekadar berbasa-basi. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, ditatapnya lelaki itu dengan sangat lekat, mencari kelembutan yang selalu membuatnya jatuh cinta.

"Kak, sebenarnya ...," Odeiva menggantung ucapannya, "sebenarnya ...."

Farel sabar menunggu, tak sedikitpun menyela kegugupan itu. Diberikannya Odeiva kesempatan untuk berbicara, sebab ia merasa bahwa itu adalah sesuatu yang sulit dan penting untuk diungkapkan.

"Gue suka sama lo, Kak," ucap Odeiva begitu cepat.

Tak ada ekspresi lebih dari Farel, datar, benar-benar datar. Detik kemudian lelaki itu memberikan senyum simpul, tangan terangkat seakan mengambil sesuatu dari balik kaus yang dikenakan.

"Gue nggak tahu harus bilang apa," kata Farel, merasa bersalah, "makasih udah punya rasa ke gue."

Saat itu pula Odeiva melihat Farel mengeluarkan cincin yang dijadikan buah kalung. Sudah diduganya, benda itu bukan sekadar hiasan, Farel seakan menjaga sejak hari pertama Odeiva melihat cincin tersebut melingkar di jari manis Farel.

"Aaah ...," Odeiva mengembuskan napas, "lega rasanya bisa ungkapin rasa." Tersenyum bahagia.

"Dei?" Farel nampak khawatir.

Odeiva menggeleng. "Gue udah tahu akhirnya kayak gini, Kak. Jadi, jangan merasa bersalah, gue malah merasa lebih tenang." Sekali lagi memberikan senyum bahagia.

Farel ikut tersenyum, mata lelaki itu memindai ke arah jam tangan yang melingkar. "Gue harus pergi sekarang, Dei. Maaf banget, nih."

Mengangguk mengerti. "Nggak apa, Kak. Kayaknya penting banget, aku nggak apa-apa ditinggal."

Setelah pamit, Farel berjalan tergesa meninggalkan kafe. Odeiva duduk sendirian di meja itu, menatap para pengunjung yang mulai ramai mengisi kekosongan di meja lainnya. Ia tertunduk, tanpa bisa ditahan bulir bening mulai berjatuhan.

Odeiva terisak, baru sekarang merasakan sakit yang teramat dalam dan sekaligus lega bukan main. Enam tahun lamanya, sampai detik ini pun belum ada yang bisa menggantikan posisi Farel di hatinya. Meskipun begitu Odeiva bersyukur hatinya ini mendapatkan penolakan langsung yang membuatnya berhenti berharap.

"Kerja bagus," ucap seseorang.

Ia mendongak, mendapati Lansaka tersenyum manis, satu tangan terangkat mengelus rambut Odeiva. Bukannya berhenti menangis, ia malah ingin semakin mengeluarkan tangisannya, memberitahukan pada dunia bahwa hati ini tengah merasakan sakit.

***

Vote dan komeeeen
😁😁

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang