OD 40 : Mari Berprasangka Baik

17.6K 1.6K 17
                                    

Pernikahan dilandaskan cinta, belum tentu berhasil. Apalagi dengan yang tidak didasarkan cinta, Lansaka tak bisa berharap banyak pada pernikahannya ini. Sebelumya begitu, tetapi setelah mendengarkan pengakuan Odeiva, sepertinya ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki.

Kesalahannya di masa lalu tak bisa dilepaskan, hanya saja sebagai pembawa petaka, Lansaka berusaha memperbaiki. Meminta maaf memang tak cukup, itu mengapa dirinya memutuskan untuk bertanggung jawab, menerima keadaan, mengembalikan semuanya ke sediakala, seperti awal pernikahan.

Jahat memang, mengikhlaskan buah hati pada orang lain dan memilih seorang perempuan yang sudah mencampakkannya. Namun, perempuan itu adalah Odeiva, yang memiliki banyak sisi sifat dan sedikit labil dalam mengambil keputusan. Lansaka tak bisa meninggalkan perempuan tersebut, sebab status mereka bukan untuk mainan.

"Mas nggak pergi kerja?" tanya Odeiva.

Nada bicara ketusnya telah menghilang sejak mendengarkan kabar dari Veronika yang mengatakan bahwa akan membawa pulang hasil dari rumah sakit dan membuka bersama di apartemen mereka. Lansaka sendiri tidak begitu mempermasalahkan, ia juga tak begitu memusingkan hasilnya.

Menurut Lansaka, jika memang Pretty adalah darah dagingnya, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima dan mengikhlaskan anak itu tinggal bersama orang tua angkatnya. Dan jika tidak terbukti begitu, sudah pasti Lansaka harus mencari siapa orang tua anak tersebut.

"Lagi males, kepala mau pecah karena sesuatu," jawabnya sembari menatap macbook yang ada di hadapannya.

Layar tersebut menampilkan laman sebuah situs yang memuat artikel 'Cara Menumbuhkan Cinta dari Dua Orang yang tak Saling Cinta'. Sebenarnya jawabannya sangat mudah, tetapi itu tak akan berhasil mengingat Lansaka dan Odeiva sudah berada di bawah atap yang sama hampir selama dua bulan, dan tak ada perubahan di antara keduanya.

"Sesuatu?" Odeiva yang duduk di singgel sofa menoleh pada sang suami, "mikirin Pretty?"

Ia menggeleng tanpa memindah pandangan dari macbook. "Kamu," jawabnya, enteng.

"Aku?" Odeiva menaruh remote televisi ke atas meja, "kenapa dengan aku?"

Menyadari bahwa mulutnya keceplosan, Lansaka yang duduk di atas karpet, segera menutup layar macbook dan menggesernya ke tepi meja, agar Odeiva tak bisa merebut dan mencari tahu apa yang tengah dibacanya di benda pipih tersebut.

Odeiva menatap curiga. "Bukan hal mesum, 'kan?"

Lansaka menggeleng. "Nggak," menggigit bibir bawah, "dikit, sih," akunya, kemudian.

Seketika wajah perempuan itu tak bisa dikatakan santai, tangan meraih bantal yang berada di balik punggung dan melemparkan kepada Lansaka. Ah, ia sudah yakin akan mendapatkan respons seperti ini, sebab mereka hanyalah dua orang asing yang sering bertemu, tidak terlalu dekat, tetapi sudah sering menyakiti dengan kata-kata.

"Ya, apa salahnya aku mikirin istri?" Lansaka mengambil bantal yang tadi dilemparkan sang istri, lalu meletakkan di sofa belakang punggungnya, "kamu harusnya seneng, suami mikirin kamu, bukan perempuan lain."

"Oops," Odeiva mengedikkan bahu, "tadi itu spontan, tanpa disengaja. Tiba-tiba tanganku ngelakuin itu pas denger pengakuan kamu."

Lansaka membuang napas kasar. "Kamu kayak orang yang nggak pernah pacaran, harusnya nggak perlu respons seperti itu. A—"

Odeiva mengangkat tangannya, menyuruh lelaki itu menghentikan ucapan. "Kayak orang nggak pernah pacaran? Maksud kamu, wajar kalau pacarku mikir mesum ke aku?"

"Ya ... biasanya, kan, gitu. Cuma emang mereka—
cowok-cowok nggak jujur aja ke ceweknya."

Membulatkan bibir, Odeiva bersandar di sofa. "Sayangnya cara pacaranku nggak seterbuka kamu. Aku dan mantanku tahu batasan," ujarnya.

Lansaka berdecak. "Iya, kamunya nggak mikirin mesum. Tapi cowoknya pasti iya."

"Maksudku, harusnya kamu jangan terlalu jujur di depanku tentang mikirin mesum. Udah aku bilang, aku ini masih perawan, jadi sensitif banget sama yang kayak gitu."

Hanya bisa mengulum bibir dan membuang napas kasar, Lansaka meraih macbook dan bersiap meninggalkan ruangan tersebut. "Terus, kenapa nerima pernikahan kalau nggak mau dimesumin?" sungutnya dengan suara kecil, sebisa mungkin tak didengarkan sang istri.

"Apa?"

"Nggak ada apa-apa," timpalnya cepat, "aku mau ke kantor, ngecek kerjaan."

**

"Ah, bego banget gue," gerutu Odeiva, sembari memukul pelan kepalanya berkali-kali, "ngapain gue ngomong kayak gitu, sih."

Ia mengulang setiap percakapannya bersama Lansaka yang terjadi tiga puluh menit lalu. Di situ Odeiva seakan mempermalukan diri sendiri, sebab pengakuan sang suami yang tak tahu malu, malah dirinya yang malu mendengarkan hal itu. Maka keluarlah kata-kata yang kurang nyambung dan sedikit keluar dari topik.

"Kayaknya gue kebanyakan mikirin hal-hal negatif, makanya yang keluar dari mulut malah negatif semua," pikirnya begitu, "atau gue udah bego banget, kelamaan nggak punya pekerjaan."

"Hm? Sadar, ya?" celetuk suara berat.

Odeiva menoleh, Lansaka baru saja keluar dari kamar dengan mengenakan kemeja biru muda, di tangannya terdapat jas. Menghela napas berat, harus Odeiva akui bahwa dirinya tak suka sendirian di apartemen ini, sebab terasa sangat pengap dan hening.

"Apanya?" Odeiva balik bertanya.

"Kelakuan kamu negatif semua," Lansaka melayangkan senyum miring, "lalui hari dengan hal-hal positif, pasti pikiran kamu bakalan segar lagi."

Odeiva berdecak, menyangkal setiap ucapan tersebut. "Si Kakek kembali dengan petuahnya," dumelnya.

Lansaka tersenyum masam mendapatkan julukan itu lagi dari sang istri. "Nggak punya teman, 'kan? Gimana kalau makan siang nanti aku jemput, kita makan siang bareng."

"Ha? Maksudnya nggak punya temen?" Tak suka mendengarkan kata-kata tersebut, Odeiva berdiri dari duduknya, "kamu lagi ngeledek?"

"Nggak, cuma lagi ngajakin makan siang bareng," ungkap Lansaka, terdengar sangat santai, "kalau nggak mau juga, nggak apa-apa."

Odeiva memutar bola mata. "Aku emang nganggur, tapi bukan berarti nggak punya temen."

Lansaka membulatkan bibir. "Kenapa mesti malu nggak punya teman? Aku aja nggak punya teman, tapi nggak pernah malu."

Sungguh, Odeiva tidak percaya akan kata-kata tersebut, meskipun bukan teman sekolah atau kuliah, pasti Lansaka punya teman di dunia kerja. Bapak-bapak berperut besar pun tak masalah dianggap teman, selama obrolan nyambung dan nyaman. Orang-orang tidak akan berkomentar.

"Nggak mungkin Mas nggak punya teman," ujar Odeiva, "duit banyak, siapa yang nggak mau temenan sama dia, sih?" Bergumam.

"Punya, tapi udah pada sibuk. Ketemuan bisa setahun sekali, terakhir pas nikahan," Lansaka menjelaskan sembari mengambil sepatunya yang berada di rak.

Odeiva mengikuti gerak suaminya itu, kalau dipikir-pikir, ia tak begitu mengetahui soal pergaulan Lansaka. "Terus, yang waktu kita ketemuan di CFD siapa? Katanya Mas bareng temen. Kok, nggak kelihatan temennya?"

Lansaka mengerutkan kening, mengingat kembali kejadian yang dimaksud. "Itu temen SMA yang nggak terlalu deket. Soalnya yang bener-bener temen deket udah kerja di luar kota."

Mengangguk mengerti, Odeiva masih memperhatikan Lansaka yang duduk di sofa panjang sembari mengenakan sepatu. Obrolan mereka sudah terasa ringan, tidak lagi saling tarik urat dan mengeluarkan kekesalan. Bisa Odeiva rasakan, apartemen ini kembali hidup, tanpa keheningan seperti yang kemarin dirasakannya.

"Kok, ngeliatinnya kayak gitu?" Lansaka membalas tatapan istrinya tersebut, setelah selesai mengenakan sepatu, "ada yang aneh di wajahku?"

"Nggak, aku cuma heran aja."

"Ke?"

Odeiva membuang pandangan ke vas bunga. "Aku. Aku heran ke diri sendiri." Ya, ia merasa heran, mengapa bisa rasa sepi itu seketika menghilang sejak kepulangan Lansaka?

**

Vote dan komeeeeen

Guys, aku lagi ngejar deadline. 😅 gak bisa sering main wattpad. Kalian harus jaga kesehatan, ya.

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang