OD 38 : Terbaik untukku dan Terbaik untukmu

18.2K 1.6K 41
                                    

Langkah terbaik yang pernah Odeiva jalani semasa hidupnya terjadi pada saat ini. Odeiva Swanelly menatap lurus ke manik mata mantan sahabatnya, senyum tersemat di sana demi menyita banyak atensi. Kata orang, senyum itu terbaik, pesona alami yang dimiliki oleh setiap manusia.

Ia percaya akan hal itu, saat bersalaman dengan orang tua Adel, berkali-kali ia mendapatkan pujian atas penampilannya malam ini. Odeiva bahagia, merasa bahwa apa yang ditahannya selama ini, kini terbayar impas. Semakin percaya bahwa ia menginjak keberhasilan, saat tangan hendak menyambut uluran tangan Farel.

"Selamat, ya—" Ucapan Odeiva terhenti kala tangannya ditarik tiba-tiba oleh perempuan yang berada di sebelah Farel.

Sial. Bahkan tangannya belum bersentuhan dengan pengantin laki-laki, tetapi Adel malah menarik dan merespons berlebihan atas kedatangannya malam ini.

"Makasih udah datang, Dei!" Adel bergerak heboh, memeluk Odeiva dengan sangat erat.

Lucu? Tentu, sudut bibir Odeiva tertarik ke atas. Perlakuan Adel mengatakan dengan jelas bahwa tak tenang atas kedatangannya yang begitu menawan. Odeiva melirik ke arah Farel, yang ternyata menatap dirinya tanpa berkedip.

"Nggak mungkin gue nggak dateng," ia berusaha melepaskan pelukan, "selamat atas pernikahannya."

Adel merenggangkan pelukan, mata mereka bertemu dan Odeiva merasakan perempuan itu mengirimkan sinyal perang walau berhasil disamarkan. Tertawa dalam hati, ia menurunkan tangan Adel yang masih melingkar di bahunya dengan sangat hati-hati.

"Lo cantik banget malam ini," ucapnya dengan penuh penekanan.

Respons yang Odeiva dapatkan sangat mengejutkan. Ya, Adel tak menggubris dan berlanjut pada tamu yang sudah menunggu di sebelah Odeiva. Benar-benar lucu, ia bisa melihat kelakuan asli Adel tanpa ditutupi sedikit pun.

"Makasih, ya, Dei." Di luar dugaan, Farel merespons tanpa diminta.

Senyum Odeiva mengembang sempurna, semakin senang ketika melihat wajah Adel sudah tidak bisa dibilang santai. Ia meninggalkan pelaminan, kehadiran seorang lelaki di anak tangga membuatnya mendengkus. Riko menatap tajam padanya, seakan sedang menguliti. Merasa bahwa tak punya urusan lagi dengan mantannya itu, Odeiva berjalan melewati.

"Puas?"

Tidak menjawab, ia terus melanjutkan langkah.

"Sampai di sini aja, Dei, nggak perlu dilanjutkan. Lo nggak masalah kehilangan teman?"

Mendengarkan itu, Odeiva memutar tumit dan membalas ucapan lelaki itu. "Gue juga nggak butuh teman munafik kayak gitu."

Riko terdiam. Odeiva tak perlu menunggu perdebatan selanjutnya, ia memilih kembali menghampiri sang mama yang masih mengobrol dengan asyik bersama ibu-ibu kompleks.

"Dei, nggak mau ikut arisan?" tawar mamanya.

"Uangnya Dei udah banyak, mana mau dia ikutan arisan kecil-kecilan kayak gini." Salah satu wanita menyahuti.

Odeiva terkekeh sungkan. "Entar Dei tanya ke Mas Lan dulu," ujarnya, "ngomong-ngomong, Ma, Oka mana? Nggak ikut?"

"Ada tadi, tapi nggak tahu di mana. Mungkin lagi ngumpul sama teman-temannya," jawab Tiwi, "kenapa? Kamu kangen? Kok, tumben."

Odeiva mendesis mendapatkan respons kurang enak dari mamanya. "Nggak, Dei nanya doang."

"Mending kamu gabung sama teman-teman kamu. Tuh, mereka dari tadi lihatin kamu, nungguin pasti itu."

Ia menoleh ke arah yang ditunjuk sang mama, mendapati teman kampusnya segera melambaikan tangan, mengajaknya untuk bergabung. Odeiva mengangguk dan segera melangkah untuk menghampiri.

Untuknya memang sebuah kepalsuan. Seperti malam ini, hanya untuk mendapatkan atensi, Odeiva tak henti mengumbar senyum, padahal dalam hati merasa terpaksa. Mungkin setelah acara, Odeiva akan merasakan sedikit pegal di bagian tulang pipi.

Senyum dan Odeiva tak bisa bersahabat, apalagi di saat hati tengah membara seperti saat ini.

**

Kembali ke apartemen kosong, Odeiva menyalakan lampu dan segera membuang tubuh ke atas sofa. Dua pekan sudah berlalu, ia mulai terbiasa dengan kesunyian ini. Meskipun Langit tinggal bersamanya, tetapi adik iparnya itu sibuk memasuki tahun ajaran baru.

"Berakhir sudah," desahnya, lega.

Ucapan itu merujuk pada gejolak hatinya pada Adel. Odeiva meremas gaun yang dikenakannya, menatap langit-langit ruangan sembari mengulum bibir. Pikirannya terbang ke masa-masa di mana dirinya dan Adel melewati setiap waktu bersama seakan tanpa kebohongan.

Odeiva tak bisa pungkiri bahwa hatinya bahagia, sebab memiliki teman baik setelah ditinggal pindah oleh Kalila. Namun, secepat itu dirinya mendapatkan pengganti Kalila, rasanya secepat itu pula kebahagiaan bersama Adel berakhir.

"Gue kesepian," lirihnya, "tapi hati gue mati-matian mengelak karena udah dikecewain."

"Mas udah bilang, jangan sampai merasa kesepian, karena pikiran gila kamu datang di saat kesepian," ujar suara berat dari arah ruang keluarga, "kamu menyesal?"

Lantas Odeiva terduduk seketika mendengarkan suara itu. Mata hampir keluar dari tempatnya melihat Lansaka berdiri di sana mengenakan pakaian rumahan. Bibir Odeiva berbentuk segaris lurus, entah harus bagiamana menyambut kepulangan yang menurutnya sangat mendadak.

"Kaget?"

Odeiva mendengkus, lalu kembali berbaring. "Ya iyalah, Mas nggak ngasih tahu kalau mau pulang."

"Sengaja, biar kaget." Lansaka berjalan mendekat.

Derap langkah lelaki itu terdengar jelas di telinga Odeiva, meskipun memejamkan mata, bisa dipastikan kini Lansaka telah berada di sebelahnya. Ia merasakan terjadi gerak di sofa, seketika Odeiva membelalak menatap Lansaka yang duduk di sebelah kakinya.

"Jangan macam-macam!" ancamnya.

Lansaka mengerutkan kening. "Macam-macam gimana?"

Odeiva berdecak, segera bangkit dan menjauhkan kakinya dari sang suami. "Aku tahu Mas mau buka gaunku, 'kan?" tuduhnya.

Mendesah kesal, Lansaka memalingkan wajah. "Rapiin gaun kamu."

Menuruti apa kata suami, Odeiva merapikan gaunnya yang sedikit tersingkap hingga memperlihatkan betisnya. "Mas jangan mesum gitu, biar bagaimanapun aku ini cewek, masih perawan, otomatis bakal waspada sama kelakuan Mas," dumelnya.

"Iya, iya," Lansaka berdecak, tetapi senyum jahil muncul di bibirnya, "kalau manja-manja nggak apa, 'kan?"

"Maksudnya?"

Belum mendapatkan jawaban, Odeiva dikejutkan dengan gerak cepat Lansaka yang tiba-tiba menjatuhkan kepala pada pangkuannya. Merasakan beban dan geli di pahanya, segera ia mendorong dan berdiri menghindari lelaki itu.

"Aduh!" ringis Lansaka sembari mengelus hidungnya yang mancung, "jahat banget, sih!"

"Habisnya bikin kaget, akunya jadi lompat."

Lansaka bangkit, berjalan cepat ke arah kamar. Melihat itu membuat Odeiva kembali duduk dengan suasana hati masih terkejut dan tegang. Menarik napas dalam, kemudian mengembuskan perlahan, Odeiva menyentuh dadanya yang terasa tak tenang di dalam sana.

"Tunggu," Odeiva mengerutkan kening, "awal nikah, gue pernah dambain dia, 'kan?"

Alisnya terangkat, menyadari bahwa pernah mengalami hal tersebut di awal pernikahan. "Tapi kenapa bisa gue ngehindari dia?"

Mengulas lagi hari-hari yang telah terlewati, membuat Odeiva menemukan jawaban. Kekecewaannya yang membuat semua keinginan itu buyar, di mana Lansaka menyembunyikan fakta bahwa memiliki seorang anak.

"Ah!" pekiknya saat teringat sesuatu, "hasilnya gimana?"

Lantas ia bangkit dengan cepat meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar. Di sana dilihatnya Lansaka tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan bibir mengerucut dan pandangan lurus dan menerawang.

"Hasilnya Mas?!" Odeiva mendekat dengan penuh semangat.

**

Vote dan komen

Meskipun capek, aku harus tetap ingat buat update 😄

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang