OD 44 : Berapa Senyum yang Dibutuhkan?

16.8K 1.6K 21
                                    

"Kenapa nggak ngomong dari awal?" Veronika gemas pada si sulung yang membuatnya kesal dan kerepotan hingga meninggalkan pekerjaan.

Lansaka menunduk, rasa bersalahnya ini sudah menggunung, apalagi sempat meninggalkan bundanya di London dan lebih dulu kembali ke Jakarta. "Maaf. Bener-bener nggak ada jalan lain, Bun. Aku udah sayang sama Pretty. Makanya pas ketahuan, aku panik banget, karena Bunda pasti bakalan ambil jalan itu."

Wanita yang duduk sofa, tepat berhadapan dengan Lansaka, mendengkus kesal, seakan udara yang keluar dari hidung, akan bisa mengeluarkan sebongkah kekesalan yang ada di dalam dada. Nyatanya tidak, Veronika masih saja kesal memikirkan bahwa dirinya dipermainkan oleh sang putra.

"Jalan terakhir aku, minta tolong ke orang tua angkatnya buat sembunyiin Pretty," jelas Lansaka, "tapi ngelihat Bunda, aku jadi kasihan. Jadinya aku ngalah."

Veronika membuang pandangan, melihat si sulung hanya akan membuat kesalnya bertambah berkali-kali lipat. "Sejak kapan kamu sadar dia bukan anakmu?"

Lansaka menatap bundanya yang tak ingin menatapnya. "Sejak pulang ke Indonesia, aku merasa ada yang sering ngikutin aku," ia menghela napas berat saat sang bunda tak kunjung berpaling padanya, "dan aku langsung menduga itu Rafael, ayahnya Pretty."

"Di mana ayahnya sekarang?" tanya bundanya, lagi-lagi tak ingin menoleh pada Lansaka.

"Aku udah nyimpen nomor HP dan alamatnya, aku juga udah kirimi alamat rumah Pretty. Tinggal nunggu dia bakalan sadar jemput anaknya, atau biarin aja."

Sang bunda berdiri dari duduk, bersiap meninggalkan ruangan. "Jangan ikut campur lagi dengan urusan dia. Sekarang kamu fokus ke pernikahan kamu, Dei nggak ngomong bakalan ninggalin kamu, 'kan? Karena terakhir kali, Bunda lihat dia udah matang mau pisah sama kamu."

Lansaka pun belum mendapatkan jawaban tersebut. Odeiva sudah mengetahui semuanya, tetapi bersikap mau tak mau. Sulit mengartikan, padahal Lansaka sudah sangat serius ingin hidup berdua. Melihat sikap sang istri yang masih labil, membuatnya enggan untuk meninggalkan begitu saja.

"Nanti aku bicara lagi sama dia," ujar Lansaka, "lagi pula, dia nggak punya alasan lagi mau ninggalin aku."

"Ya udah, Bunda balik ke kamar, mau istirahat."

Lansaka mengangguk, menatap kepergian sang bunda meninggalkan ruang keluarga. Bahkan sampai tubuh itu menghilang dari jarak pandang, bundanya tak juga mau bertatap mata dengannya. Ya, begitulah jika sudah merasa dipermainkan, tetapi Lansaka yakin bahwa kekesalan itu akan menghilang besok pagi.

"Kena omel, Mas?" Odeiva berjalan cepat mendekati Lansaka, "pasti iya. Mas, sih, sok bohongi bunda."

Selama obrolan Lansaka dan Veronika, sang menantu di keluarga ini memilih untuk menepikan diri ke dapur bersama Langit. Lansaka lebih menyukai itu, sebab ia akan sangat merasa malu diomeli di depan sang istri.

"Mas minta maaf, 'kan?" Odeiva mengambil duduk di sebelah suaminya, "jangan bilang enggak."

Lansaka mengangguk. "Udah, kok, tapi kayaknya bunda belum bisa maafin karena kesal dibohongi."

Odeiva mengusap bahu lelaki itu. "Sabar, nanti juga bunda bakalan maafin."

Melihat kesempatan ada di depan mata, Lansaka meraih tangan Odeiva yang berada di bahunya. "Boleh ngomong serius sekarang?" pintanya.

"Maksudnya?" Odeiva dengan gerakan kecil mencoba meloloskan tangan dari genggaman Lansaka, tetapi suaminya itu menahan dengan sangat erat.

"Mas minta waktu, buat kita ngomong serius." Lansaka memperjelas maksudnya.

"Ini masih pagi," tanggap Odeiva begitu cepat, "kita pamit ke mama papa bentar doang ke rumah bunda. Lagian, aku udah ada janji mau nongkrong bareng Adel."

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang