OD 5 : Posisi Baru

29.2K 2.4K 101
                                    

Odeiva Swanelly berdiri tegak menatap pintu di hadapannya. Sudah lima menit berlalu, tetapi keberanian itu belum kunjung datang untuk mengetuk ruang kerja atasan barunya. Yang Odeiva takuti hanyalah satu, yaitu mengetahui wujud calon suaminya. Ia takut dijodohkan dengan pria yang memiliki kekurangan fisik, etika, atau dingin seperti tokoh di novel.

Menarik napas dalam, Odeiva bersiap untuk mengetuk. Sudah ia putuskan akan melakukan apapun agar pekerjaan ini kembali padanya, sebab tak ada yang bisa membantu untuk membayar cicilan mobil, selain dirinya kembali bekerja di kantor ini.

Tiga ketukan diberikannya, tak ada respons dari dalam sana. Odeiva mengembuskan napas, entah sejak kapan ia menahan napas, saat merasa sesak barulah sadar bahwa manusia butuh pasokan oksigen. Odeiva kembali mengetuk pintu tersebut.

"Masuk!" sahut suara berat dari dalam ruangan.

Segera membuka pintu tersebut, Odeiva memejamkan mata ketika masuk. "Selamat pagi, Pak. Saya Odeiva Swanelly, diminta Ibu Veronika untuk ketemu sama Bapak pagi ini." Berucap dalam satu tarikan napas.

"Oh, kamu orangnya. Silakan duduk dulu."

Odeiva sedikit demi sedikit membuka matanya ketika mendengarkan suara yang sangat ramah itu. Saat mata mereka bertemu, hanya ekspresi datar yang bisa ia berikan, sebab tertawa akan membuat atasannya itu tersinggung. Odeiva menarik napas dalam, ujung bibirnya yang ingin tertarik ke atas, dipaksa untuk tetap datar.

"Saya atasan baru kamu, hari ini kamu menjadi asisten pribadi saya," ucap pria itu, berdiri dan berjalan ke arah Odeiva.

Menelan ludah susah payah, Odeiva sungguh kesulitan menahan hasrat yang keluar dari dirinya. Pria itu berkulit putih, jika diperhatikan dengan teliti, wajahnya sangat tampan, hidung mancung dan alis tebal adah pemicunya. Hanya saja, dua tahi lalat sebesar kuku yang bersarang di jidat dan bawah bibir, sangat mengganggu pemandangan.

Odeiva benar-benar kasihan pada pria itu, dan mengutuk lalat yang sembarangan membuang kotoran. Untuk mengusir tawanya yang akan segera menyembur, Odeiva melirik ke arah meja kerja atasannya itu. Di sana bisa dilihat nama yang tertera di papan pengenal.

"Lansaka Eradi," Pria itu mengulurkan tangan, "saya harap kita bisa akrab sebelum pernikahan."

Odeiva kembali menatap pria tersebut, kali ini terkejut mendengarkan kata-kata yang begitu lantang diucapkan padanya. "A-ah." Dengan gerakan kaku, Odeiva menyambut tangan tersebut.

"Jadi, saya bisa panggil kamu apa? Ipa?"

Mengerutkan kening, ingin sekali protes, tetapi tak bisa karena beliau adalah atasannya, meskipun sudah mencetuskan pernikahan, tetap saja Odeiva akan segan. Ini menyangkut pekerjaan dan juga mobil yang dikendarainya setiap hari ke mana saja.

"Nama saya Odeiva, Pak Lansaka bisa panggil Dei," katanya, berucap dengan sopan.

"Swanelly?"

"Ah, itu nama belakang saya. Pak Lansaka bisa juga panggil Wa—"

"Eli," interupsi Lansaka, "panggilan yang bagus."

Mati-matian Odeiva menahan untuk tidak mempelototi pria tersebut, kedua nama panggilan yang disebutkan itu sangat ia hindari. Ipa dan Eli menurutnya nama yang lebih cocok untuk orang tua, bukan anak muda sepertinya. Namun, seperti tawa yang bisa ditahannya, Odeiva pun akan menahan jiwa protesnya.

"Terserah Pak Lansaka, lakukan senyamannya," ucap Odeiva, sedikit tak rela.

"Oke," Lansaka berbalik dan duduk di kursi kerjanya, "meja kamu ada di luar ruangan ini, di sana juga ada tablet yang bisa kamu pakai untuk mencatat jadwal saya."

Odeiva mengangguk. "Baik, Pak. Saya permisi—"

"Di sini dulu," cegah Lansaka, "lupakan pekerjaan untuk sejenak, kita harus kenalan dan mengobrol lebih dekat."

"E-eh, kenapa gitu?"

Lansaka bersandar. "Karena kita akan segera menikah, butuh waktu untuk saling mengenal."

Odeiva diam, hatinya menjerit ketika menyadari bahwa Lansaka benar-benar menginginkan pernikahan ini, sebab sedari tadi atasannya itu terus menyinggung soal pernikahan. Ia tak tahu apa alasannya, yang jelas Odeiva bahagia sebab terlihat dirinya bisa diterima oleh Lansaka.

Apakah karena kecantikannya?

Ia menahan senyum iblis. Ya, sudah jelas, alasan Lansaka mengiyakan karena Odeiva tak terlalu buruk untuk dipamerkan sebagai istri. Hanya saja, di sini Odeiva yang merasa dirugikan, sebab tawa ini tak bisa terealisasi sejak tadi. Ia tak bisa membayangkan akan tertawa seumur hidupnya hanya karena dua buah tompel yang mengotori wajah suaminya.

"Duduk dulu." Lansaka mempersilakan.

Odeiva mengangguk, kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan calon suaminya itu. Mereka saling tatap beberapa detik, bibir Odeiva kembali berkedut ingin tertawa, tetapi harus ditahan. Demi mobilnya, ia harus mempertahankan kesopanan dan posisi pekerjaan ini.

"Eemm ...," Lansaka ragu memulai topik, "kita sama-sama tahu kalau ini hanya perjodohan, dan bukan saling suka. Jadi, aku mau kasih tahu kamu sesuatu."

"Apa?" tanya Odeiva.

"Jauh sebelum perjodohan ini ada, aku udah punya pacar," ucap Lansaka, seketika senyum getir hadir di bibir itu.

Odeiva menatap iba, pasti pria itu sangat kaget dan belum bisa menerima kenyataan. Namun, meskipun Lansaka terlihat tak terima, Odeiva mengacungkan jempol pada kesopanan pria itu dan menghormatinya sebagai perempuan. Dibandingkan menggunakan sebutan 'lo gue' layaknya berteman karena mereka terlihat seumuran, Lansaka malah memilih menggunakan 'aku kamu' dan itu membuat Odeiva terkesan.

"Kenapa nggak batalin aja?" tanya Odeiva.

Saat itu ia sadar bahwa jika pertanyaan itu terkabulkan, maka Odeiva harus bersiap mencari pekerjaan lain. Syarat dirinya diterima kembali di kantor ini adalah pernikahan antara ia dan Lansaka, maka sudah pasti Odeiva akan terbuang saat Lansaka membatalkan pernikahan.

"Sempat ingin, tapi sebagai anak laki-laki, siapa yang tahan lihat bundanya bersedih. Bunda udah terluka karena kelakuan seorang pria," Lansaka menghela napas berat, "kamu tahu maksudku, meskipun dia ayah kandungku, tapi aku benci dia yang bikin bunda nangis."

Bisa Odeiva lihat seberapa tulus dan cintanya Lansaka pada sang ibu, mungkin ini juga yang membuat pria itu sampai sekarang berkata santun pada Odeiva yang harusnya dimusuhi karena bisa membuat posisi pacar Lansaka tergeser.

"Jadi, sampai pernikahan tiba, kita harus saling mengenal satu sama lain."

Odeiva mengulum bibir, menatap iba pada Lansaka. "Terus, pacarnya Pak Lansaka bagaimana?"

Pria itu menatap protes, dan Odeiva bersiap untuk kena omelan.

"Kita bukan sedang membicarakan pekerjaan, jadi jangan panggil Pak. Lagi pula, aku masih terlalu muda dipanggil seperti itu."

Odeiva tersenyum kaku, dikiranya ia akan diomeli karena menyinggung soal pacar, tetapi Lansaka malah fokus pada penyebutan di depan nama. Sudah Odeiva duga, pria itu memang baik. Ia yang sempat ragu akan pernikahan, sekarang malah ingin segera menikah karena diberikan calon suami yang baik. Masa bodoh dengan tompel, Odeiva akan terbiasa jika mereka sering bersama.

"Panggil Mas aja," ucap Lansaka.

"Eh?" Odeiva menatap horor, seumur hidup, baru kali ini ia akan memanggil seseorang terdekat dengan sebutan Mas.

"Aku sempat berpapasan sama suami istri di mall, istrinya manggil suami dengan sebutan Mas. Kelihatan romantis," imbuh pria itu.

"O-oke, Mas Lansaka."

Lansaka tersenyum puas. "Dan soal pacarku," kembali tersenyum getir, "aku akan jelasin padanya, kami memang tak bisa bersama."

***

Vote dan komen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang