OD 18 : Kenapa nggak Kelihatan?

17.1K 1.7K 22
                                    

Rasanya Odeiva sudah lelah tersenyum pada setiap undangan yang datang bersalaman dengannya. Ditambah lagi hiasan kepala yang terasa begitu berat, jika tidak mengingat bahwa acara ini adalah sekali seumur hidup, Odeiva sudah membanting diri, merengek tak ingin melanjutkan.

Malam ini juga menjadi pertemuan pertama Odeiva bertemu dengan ayah dari Lansaka, setelah kejadian konten tak sengaja itu. Jika dipikir-pikir, tanpa sengaja Odeiva menjadi pemicu berpisahan keluarga itu, membuat yang harmonis menjadi ironis.

Namun, bukannya memarahi seperti yang dilakukan Fahtar padanya, Veronika malah mengucapkan terima kasih, dan meminta maaf atas tindakan Fahtar yang langsung memecatnya tanpa mencari pertimbangan dan solusi.

"Kalau capek duduk dulu," bisik Lansaka.

Odeiva menggeleng. "Nggak apa, aku masih kuat."

Selama berdiri di pelaminan, sudah beberapa teman dilihat olehnya, yang sangat mencolok adalah Adel. Perempuan itu mondar-mandir entah sibuk dengan apa. Odeiva tidak terlalu mengerti isi otak temannya.

"Dei, selamat!" seru Adel, begitu heboh.

Odeiva menerima pelukan dari sahabatnya itu, sedikit terkejut karena lima menit yang lalu ia sempat melihat Adel masih sibuk mondar-mandir, dan sekarang malah berada di pelaminan memeluknya begitu erat.

"Riko nggak dateng, gue udah cek di buku tamu dan semua meja, dia nggak ada di mana-mana, bahkan tadi gue sempet cari di parkiran," bisik Adel, membagi informasi pada Odeiva.

Sekarang terjawab sudah, apa yang membuat sahabatnya itu sangat sibuk. "Sekarang lo bisa duduk tenang, nggak usah jadi setrika."

Adel tertawa. "Demi lo, gue lakukan apapun malam ini. Ngomong-ngomong, dua undangan lo rugi, Kak Farel juga nggak jadi dateng. Padahal tadi katanya udah siap-siap mau ke sini."

Odeiva sebenarnya tidak mengharapkan kedatangan Farel, karena tidak ingin seseorang yang tahu tentang rasa ini, mengungkapkan di depan umum. Sejak ditolak, Odeiva sudah mengikhlaskan, hati mulai menerima keberadaan Lansaka yang begitu baik padanya.

Adel melepaskan pelukan. "Jangan lupa buka kado gue sebelum mandi. Oke?" Mengedipkan satu matanya.

Odeiva tidak mengangguk, mengetahui dengan jelas apa yang akan diberikan Adel sebagai hadiah pernikahan, mengingat mereka berdua pernah memiliki satu pikiran soal hadiah, saat salah satu teman sekelas mereka akan menikah.

Hanin namanya, waktu itu mereka masih menjadi mahasiswa. Adel dan Odeiva melakukan kegilaan, memberikan hadiah berupa lingerie berwarna merah terang, benar-benar transparan, hanya menutupi bagian intim dengan bahan tipis. Gilanya, Hanin membawa itu ke kampus dan melayangkan protes kepada mereka berdua, dengan dalih, suaminya lebih suka warna biru muda. Mbees.

"Ayah bilang mau ketemu kamu habis acara, kamu mau?" tanya Lansaka, berbisik.

Odeiva menggigit bibirnya, ragu untuk memberikan jawaban. Mereka belum bertemu dalam ruang sepi, Odeiva pun belum benar-benar menyapa ayah mertuanya itu. Entah pandangan apa yang diberikan beliau padanya, yang jelas meski belum bertemu, tubuhnya sudah merinding mengingat kejadian waktu itu.

"Ada aku, kamu nggak bakalan dimarahi. Lagian, dia siapa mau marah-marah ke kamu?" Lansaka menenangkan.

Tak ada tanggapan dari Odeiva, kembali dirinya memberikan senyum pada tamu yang datang menjabat tangan. Tak ada yang tahu, di balik senyumnya Odeiva menyimpan kegugupan yang luar biasa, meskipun Lansaka telah mengatakan akan menemani.

"Dei," sapa seorang perempuan berhijab dengan nada hebohnya.

"Kal!" Odeiva memekik, terlampau senang.

Mereka berpelukan, melepaskan rasa rindu. Kalila adalah teman masa kecilnya, mereka tinggal di kompleks yang sama, di kelas sebelas SMA perempuan itu terpaksa pindah rumah karena perceraian orang tua. Odeiva sangat ingat bagaimana terpukulnya Kalila waktu itu. Namun, di pertemuan ini, bisa dilihat temannya itu dalam kondisi baik-baik saja.

"Selamat, ya," ucap Kalila, memeluk begitu erat, "nggak nyangka, lo yang duluan."

Odeiva melirik lelaki yang berada di sebelah Kalila, seketika melepaskan pelukan. "Siapa?" tanyanya, setengah menuntut.

Kalila mengedipkan mata.

"Jangan lupa ngundang." Odeiva mengedipkan mata kirinya.

***

Jika pengantin lain akan merasakan kasur setelah berganti pakaian, berbeda dengan Odeiva yang langsung bertemu Fahtar di kamar hotel pria itu, bersama Lansaka yang menemani di sebelah Odeiva. Suaminya itu sudah janji akan menemani, meski tidak berjanji pun, ia akan tetap menarik Lansaka datang bersamanya ke ruangan ini.

"Saya pikir salah lihat, ternyata tidak," ucap Fahtar, membuka percakapan.

Odeiva menunduk, ujung jarinya sudah mulai dingin. Tak tahu harus merespons apa, dan menyapa bagaimana, mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka setelah Odeiva resmi menikah dengan Lansaka.

"Pantas saja Vero niat banget masukin kamu ke perusahaan tanpa wawancara, ternyata anak temannya," imbuh mantan atasan Odeiva.

Lansaka hanya diam, seakan tidak mengikuti jalannya pertemuan itu. Saat Odeiva melirik, bisa dilihatnya sang suami malah menatap ke luar jendela hotel, menatap ibu kota yang terlihat berkilauan di malam hari.

Seketika Odeiva berharap Veronika ada di sebelahnya, membantu untuk menghadapi Fahtar. Namun, nyatanya wanita itu tak berada di sini, mungkin tidak mengetahui bahwa Odeiva diundang oleh Fahtar mengobrol di ruangan ini.

Dibandingkan mengobrol, Odeiva sendiri merasa seperti interogasi oleh petugas penyidik atas kasus tuduhan pembunuhan. Benar-benar menegangkan, mau berlari salah, mau mengelak salah. Wajah Fahtar tak bisa dikatakan santai.

"Kamu ambil kesempatan dari masalah itu?" Fahtar bertanya dengan nada menohok.

Seakan tengah dilemparkan tuduhan tanpa bukti, Odeiva mengangkat wajahnya, menatap terluka pada pria itu. Semakin terluka ketika menyadari Lansaka belum kunjung merespons. Iblis di kepalanya mulai berteriak, mengatakan bahwa telah salah menilai Lansaka.

"Kamu nggak tahu kalau Lansaka punya pacar?" Pria itu kembali bertanya.

Odeiva menggeleng. "Saya tahu," jawabnya, dengan suara hampir tak terdengar.

"Terus, kenapa masih terima perjodohan? Karena tawaran pekerjaan?"

Terhenyak, Odeiva memejamkan matanya. Ia belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini, sebab tak seorang pun yang mempertanyakan. Dipikir selama Lansaka dan Veronika biasa saja, maka tak ada yang mempermasalahkan. Sekali lagi Odeiva melirik Lansaka, berharap mendapatkan bantuan.

"Jangan terlalu maksain diri, dan jangan juga terlalu ikuti mau Veronika," ucap Fahtar, penuh peringatan, "belum terlambat buat ubah keputusan. Karena sampai saat ini Lansaka belum bisa nerima kamu."

Bagaikan ditikam ribuan tembok, Odeiva meringis menahan sakit. Sebisa mungkin menahan air mata agar tak jatuh, tangannya terkepal hingga buku-buku memutih. Tak pernah terbayangkan, awal pernikahannya akan disambut dengan ketidaksukaan ayah mertua. Ditambah lagi, sikap asli Lansaka mulai terlihat.

Lelaki itu bak seorang anak yang tak punya keberanian, memberikan segala tanggung jawab kepada orang tua. Seharusnya, Lansaka bisa mengatakan padanya secara langsung, bukan melimpahkan kepada Fahtar. Jika seperti ini, bukannya mundur, Odeiva malah tertantang untuk membuat ayah dan anak ini bungkam.

"Selama Mas Lan nggak ngusir saya, saya nggak bakalan pergi, Pak," tegasnya.

Pria itu malah membalas dengan senyum sinis. "Kamu ha—"

"Ayah udah dengar, 'kan?" interupsi Lansaka, "kami pamit, capek, mau balik ke kamar."

***

Vote dan komeeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang