OD 6 : Tamu?

27.2K 2.1K 49
                                    

"Makanan kesukaan?" tanya Lansaka.

Sedari tadi mereka berdua melakukan sesi tanya jawab, sudah satu jam berlalu dan masih seputar kesukaan masing-masing. Odeiva merasa lebih rileks, beberapa kali ia melepaskan tawa ketika sedang membahas hal yang lucu, tetapi sebenarnya Odeiva sedang menertawakan tahi lalat milik Lansaka.

"Bakso urat," Odeiva menelan ludahnya, "kalau Mas?"

Lansaka sendiri yang meminta dipanggil mas, maka Odeiva tak bisa menolak. Tiap kali mengucapkan sebutan itu, yang terbayang di kepala Odeiva adalah Lansaka tengah menjaga kasir di minimarket.

"Makanan apapun, asalkan nggak asin dan pedes," Lansaka berdecak, "aku itu suka heran sama orang yang mau tersiksa makan pedes. Padahal, lebih bisa dinikmati kalau nggak pedes, bener, 'kan?"

Odeiva tersenyum kaku. "Aku tipe orang yang kayak gitu, kalau nggak pedes, nggak menantang," ujarnya.

"Serius?" Lansaka menatap tak percaya, "kalau kita nikah nanti, jangan lakuin itu, ya. Nanti kamu bisa sakit." Penuh peringatan.

"Nggak separah itu juga, aku tahu batasan, kok, Mas." Odeiva menggigit bibir ketika ditatap begitu intens.

"Kamu bakalan nikah sama aku. Naik atau turun harga cabe di pasaran, nggak berpengaruh sama isi dompetmu. Makanya aku bilang, kamu bakal sakit karena mudah buat beli cabe."

Odeiva membulatkan bibir. "Ini ... termasuk khawatir, 'kan?" tanyanya, ragu.

"Suami mana yang nggak khawatir sama istrinya."

Mendengarkan itu, jantung Odeiva seakan ingin keluar dari tempatnya. Sejak tadi Lansaka terus menyempatkan diri untuk membahas soal pernikahan, dan itu menunjukkan bahwa pria tersebut benar-benar mengharapkan pernikahan ini terjadi. Itu mengapa, Odeiva merasa tak harus ragu untuk menerima.

"Khawatir kalau isi rekeningnya dihabisin istri," imbuh Lansaka.

"He?" Odeiva terdiam, dipikirnya Lansaka satu di antara pria berhati malaikat, ternyata tidak.

"Karena kalau dihabisin, gimana dengan masa depan anak-anak. Itu makanya, laki-laki lebih suka nyari perempuan yang bisa mengatur keuangan," jelas Lansaka.

Odeiva membulatkan bibir, hampir saja dirinya berprasangka buruk pada Lansaka. "Kalau gitu, aku harus belajar ngatur keuangan."

"Untuk apa?"

Ia berdecak dalam hati, pertanyaan Lansaka seakan membuat Odeiva bodoh. Tengah melemparkan kode, tetapi malah dibalas dengan pertanyaan. Entah pura-pura tak tahu atau malah sedang menggodanya.

"Biar kelak, anak-anakku nggak sengsara karena mamanya boros," jawabnya, memilih jawaban aman.

Pria itu tersenyum. "Udah jam sembilan, kita akhiri kuliah pagi ini, sekarang waktunya kerja." Lansaka tersenyum manis pada Odeiva.

"Baik, Pak," Odeiva mengangguk dan segera berdiri dari duduknya, "saya permisi dulu."

Seketika suasana di antara mereka berubah, yang tadinya mencoba akrab, kini menjadi formal. Odeiva meninggalkan ruangan tersebut, kemudian menuju meja yang berada di depan ruangan Lansaka. Sendirian, itulah yang dirasakan. Biasanya ia bekerja bersama tim, sekarang Odeiva harus menjalani sendiri.

***

Odeiva terdiam di depan teras rumahnya ketika melihat kedatangan seseorang yang tak ingin ditemui. Perasaannya telah pupus pada lelaki itu. Ia tengah berusaha mengubur perasaan, dengan lancangnya Farel datang, bersikap baik, dan ternyata hanya untuk mencari informasi pekerjaan.

Sebenarnya Odeiva tak perlu merasa marah, itu memang sifat asli manusia. Hanya saja, ia tak terima sifat tersebut ada pada Farel, lelaki pujaan hatinya. Ternyata lelaki itu tak langsung percaya dengan jawaban Odeiva, nyatanya Farel ada di sini bersama Adel.

"Dei," Adel melambaikan tangan padanya, memanggil dengan senyum terlewat girang, "Kak Farel mau ketemu lo."

Odeiva hanya bisa mengulas senyum tipis. Adel tak tahu maksud terselubung senior tersebut, dan jikapun tahu, sahabatnya itu tak akan mau membawa Farel ke rumah ini. Ya, terlihat di sini, lelaki itu meminta bantuan Adel untuk bisa bertemu dengan Odeiva, karena sampai saat ini ia tak membalas chat dari Farel lagi.

"Akhirnya lo pulang juga," ucap Adel, terlihat lega.

"Lo, kan, tahu jam pulang gue."

"Iya, gue tahu, tapi Kak Farel enggak," Adel berdecak, "kalau gitu gue pulang dulu, ya. Kalian ngobrol aja."

Odeiva mengikuti gerak Adel yang terlihat sangat girang meninggalkannya bersama Farel. Entah akan seperti apa ekspresi sahabatnya itu jika tahu apa yang tengah dicari Farel dari dirinya. Sejak dulu, Odeiva tak suka jika ada orang yang tak akrab dengannya, lalu datang di saat ada maunya.

"Dei, kalau ganggu, gue bisa pulang sekarang," ucap Farel, terdengar sungkan.

Odeiva menoleh, menggeleng dan memberikan seulas senyum. Sial, dirinya malah kembali tersihir oleh ketampanan kakak seniornya itu. Wajah khas Indonesia dengan lesung pipi di kiri, membuat Farel terlihat sangat manis ketika tersenyum.

"Nggak apa, Kak. Silakan duduk." Odeiva menilik pintu rumahnya yang tertutup rapat. "Orang tua gue lagi keluar, kali, ya?" gumamnya.

"Mungkin, dari tadi diketuk nggak ada yang buka," Farel menyahuti, "Ngomong-ngomong ...."

Odeiva duduk di sebelah Farel, menatap lelaki itu yang seketika menjadi sedikit kaku. "Soal Eradi?"

Farel menggeleng cepat. "Bu-bukan."

"Gue pikir Kak Farel mau ngomongin soal pekerjaan."

"Bukan," sanggah Farel, "gue ke sini mau ngomongin soal Riko."

Satu alis Odeiva terangkat. "Dia kenapa?"

Cukup penasaran pada topik yang diangkat Farel, apalagi dengan sengaja datang menemuinya ke rumah meminta bantuan Adel. Riko dan Farel memang berteman, mereka ada di angkatan yang sama, tetapi beda fakultas. Saat kegiatan organisasi, merekalah yang paling aktif di antara yang lainnya.

"Dia mau minta maaf soal kejadian di reuni kemarin," Farel menghela napas berat, "tapi gengsi mau ucapin."

Tanpa ditahan, ujung bibir Odeiva sedikit terangkat. Mengingat Adel sempat melihat Riko menganga ketika memandang Odeiva yang tengah melintas, tentu hal tersebut adalah pemicu kabar yang dibawa Farel sampai ke telinganya. Benar, Riko terpesona padanya.

Odeiva tertawa sinis. "Apa, sih? Nggak jelas."

Farel tersenyum masam. "Masih benci banget, ya?"

"Ya iyalah, gue merasa dibodohi pakek banget." Odeiva mendengkus mengingat masa lalunya.

"Itu makanya dia mau lurusin soal kejadian itu, dan dia mau minta nomor lo," Farel berdecak, "sebenarnya gue nggak perlu datang ke sini buat minta izin ngasih nomor lo ke Riko, tapi karena lo nggak balas chat gue lagi, makanya gue ke sini minta bantuan Adel."

"Lo segitunya ngelakuin sesuatu buat Riko. Emang dia sepenting apa, sih?" Odeiva berdecak, heran dengan keharmonisan di hubungan mereka.

"Kita dibesarin bareng, sama-sama anak tunggal. Itu makanya Riko udah kayak saudara buat gue," jawab Farel.

Odeiva sudah pernah mendengarkan itu dari Riko, saat hubungan asmara mereka masih baik-baik saja. Keduanya bertetangga, selalu bersama sejak lahir, orang tua juga sangat akrab. Namun, sifat keduanya jelas berbeda. Farel terkesan lebih berwibawa, sedangkan Riko pecicilan.

"Jadi, gue boleh kasih nomor lo ke dia?"

"Asal bukan buat daftarin pinjol, gue nggak masalah," celetuk Odeiva.

"Benar kata orang, lo sebenarnya baik hati." Farel tersenyum. "Ngomong-ngomong, kejadian waktu itu yang lo liat di kos, lo tahu cewek itu siapa?"

***

Hellow geesss

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang