OD 45 : Keinginan Mudah

17.1K 1.6K 24
                                    

Mas Lan : Malam ini Pretty sama Verta sampai di Jakarta, sekarang Mas udah mau otw ke bandara jemput mereka.

Odeiva sudah memikirkan matang-matang keinginan apa yang akan disampaikan padanya pada Lansaka, tetapi satu buah pesan tersebut membuat pikirannya buyar. Tidak langsung membalas, ia lebih memilih memacu mobilnya menuju rumah orang tuanya, di mana Lansaka terakhir kali ditinggalkan di sana.

Saat mobil berhenti di depan rumahnya, bisa dilihat Lansaka tengah mengenakan sepatu di teras, sedangkan sang papa tengah duduk di sebelah lelaki itu sembari memperhatikan dan mengobrol ringan.

"Aku ikut!" teriaknya, saat keluar dari mobil.

Seketika dua laki-laki yang berada di teras, menoleh padanya. Odeiva akui, suaranya begitu lantang dan terkesan membentak. Padahal, tak ada adegan adu mulut di sini, tetapi Odeiva sudah sangat ingin meledak.

"Kenapa baru bilang sekarang?" Ia protes pada sang suami.

Ya, itulah yang membuatnya marah, Lansaka baru memberitahukan malam ini lewat pesan. Beruntung Odeiva sudah selesai dengan acara makan malamnya, jika tidak, maka pikirannya akan semakin ke mana-mana saat mengetahui Lansaka pergi bertemu Verta tanpa Odeiva menemani.

"Bisa pelan ngomongnya?" Papanya menyela, "meskipun ada Papa di sini, bukan berarti kamu bisa seenaknya sama suami."

Odeiva mengerucutkan bibir, papanya tak tahu apa yang tengah dikhawatirkan. "Dei bukan seenaknya, cuma kelewat antusias," kilahnya, "yuk, Mas, kalau beneran mau pergi mending dari sekarang."

Lansaka mengangguk, bibirnya berkedut seakan menahan tawa. Odeiva memicingkan mata, tak menyukai tingkah sang suami, memangnya ia terlihat seperti badut, sehingga lelaki itu menahan tawa cukup lama.

"Kami pergi dulu, Pa. Mungkin langsung ke apartemen, nggak perlu ditunggu," ucap Lansaka.

Odeiva mengikuti Lansaka yang lebih dulu menuju mobil, setelah pamit dan bersalaman dengan sang papa. Ketika dirinya masuk ke dalam mobil, bisa didengarkan tawa geli Lansaka, membuatnya tersinggung bukan main. Mungkin suaminya itu merasa lucu saat Odeiva ditegur oleh papanya.

"Gitu doang lucu," cibirnya.

Lansaka menoleh sekilas, kemudian mulai berkonsentrasi pada jalanan. "Gimana nggak lucu, tanpa sadar kelakuan kamu menjelaskan kalau kamu lagi cemburu."

"Ha?" Odeiva melongo, "cemburu?"

"Kamu buru-buru pulang karena aku mau ketemu Verta, 'kan?" tebak sang suami.

Untuk sekian detik Odeiva terdiam sembari menelaah dalam kepala, detik kemudian ia menatap jijik pada Lansaka. "Pede banget, Anda. Aku buru-buru pulang karena mikirnya Mas butuh disiapin sesuatu sebelum pergi."

Lansaka terkekeh. "Alasan yang nggak masuk di indra penciuman," candanya, "sejak kapan kamu siapin sesuatu buat aku saat aku mau pergi?"

Benar juga, Odeiva hanya bisa mendelik dan diam tanpa membalas ucapan tersebut. Tak bisa memberikan alasan lagi, ia seakan tertangkap basah tengah merasakan yang namanya cemburu. Padahal, Odeiva buru-buru pulang karena tak suka saat membaca isi pesan Lansaka, yang menjelaskan bahwa rencana bertemu Verta baru diberitahu saat akan bertemu, bukan sebelum-sebelumnya.

"Mas tahu apa yang ada di kepalamu," Lansaka menarik napas dalam, "ini emang mendadak."

Odeiva melirik, benar-benar lupa bahwa Lansaka sangat suka membaca pikiran orang lain, dan ia selalu terkejut bahwa suaminya tersebut selalu berhasil menebak apa yang ada di pikirannya, serta apa yang akan terjadi padanya di masa depan jika salah mengambil jalan.

"Ngomong-ngomong, Mas Lan benar soal hubunganku dan Adel."

Ujung bibir Lansaka naik. "Udah puas?"

Hanya helaan napas berat yang Odeiva berikan sebagai respons. Ia tak tahu, harus bahagia atau sedih, yang jelas rasanya begitu hampa ketika menyadari bahwa hari-harinya akan berlalu tanpa kehadiran seorang teman, sedangkan Odeiva sendiri cukup kaku untuk memulai sebuah pertemanan yang baru.

"Mas sendiri, sih, puas banget," ungkap Lansaka, "soalnya, itu menjelaskan bahwa hanya tinggal Mas seorang tempat kamu berkeluh kesah."

"Masih ada orang tua," Odeiva tak mau kalah, ia akan mematahkan tingkat kepedean Lansaka, "mama, papa, bunda. Itu udah lebih dari cukup."

Lansaka mengangguk setuju. "Tapi orang tua kadang kebanyakan ngomel, dibandingkan ngasih solusi."

"Iya juga, sih. Kalaupun ngasih saran, pasti nadanya ngegas." Odeiva mangut-mangut setuju. "Okelah, untuk saat ini cuma Mas yang aku punya," ujarnya kemudian.

**

Ucapan Odeiva tadi cukup membuat hati Lansaka menjadi tenang, sebab merasa bahwa hubungan ini akan baik-baik saja ke depannya. Saat sampai di bandara dan keluar dari mobil, tingkah sang istri semakin membuatnya ingin tertawa, Odeiva tak bisa menyembunyikan kegugupan, entah karena apa.

"Kita bukan mau ketemu presiden, kenapa kamu tegang gitu?"

Odeiva berdecak tak terima disangka seperti itu. "Aku biasa aja, kok."

Nyatanya, kata-kata yang keluar dari mulut Odeiva sama sekali tak menggambarkan apa yang dilihat oleh Lansaka saat ini. Sang istri merapikan penampilannya, dari rambut hingga pakaian, dan beberapa kali melihat pantulan diri dari kaca mobil.

"Penampilan aku nggak malu-maluin, kan, Mas?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

Lansaka menghela napas kasar. "Kamu suka banget, ya, melihat reaksi orang soal penampilan kamu?"

Odeiva menghentikan geraknya. "Iya, dong. Penampilan itu cerminan diri kita."

"Tapi terlalu sering memperlihatkan, jatuhnya pamer," sahut Lansaka, "yang aku lihat, kamu maunya diakui punya penampilan bagus, tapi nggak pernah tuh memperlihatkan apa yang kamu bisa."

Memejamkan mata beberapa detik, Odeiva mencoba menahan sedikit kekesalan yang selalu muncul di saat Lansaka sudah mulai mengeluarkan kata-kata penuh nasihat. Padahal, umur mereka tak jauh beda, tetapi suaminya ini suka sekali mengguruinya.

"Mas, kita cuma mau ketemu mantanmu, kenapa harus ceramah panjang lebar?" semprot Odeiva.

"Nah, itu kamu tahu, cuma ketemu. Kenapa harus mikirin penampilan?"

Lansaka tahu, jika semakin digubris, maka perdebatan ini tak akan ada akhirnya. Karena itu, digenggamnya tangan sang istri dan menarik pelan untuk segera mencari keberadaan Pretty dan Verta. Namun, baru selangkah, bisa dilihat pemandangan tak terduga tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

"Kenapa berhenti?" tanya Odeiva.

Tidak menjawab, mata Lansaka fokus kepada Pretty yang nampak bersembunyi di belakang Verta, sedang di dekat gadis kecil itu ada seorang lelaki yang berlutut dan berbicara bak sedang ingin mengakrabkan diri.

"Itu Pretty?"

Lansaka mengangguk. "Rafael ada di sini juga, ternyata."

Melihat kenalannya itu mau bertanggung jawab atas kehadiran Pretty, membuat dada Lansaka menghangat. Begitu saja sudah cukup, akrab atau tidaknya, bisa diusahakan nanti. Mau menemui, bahkan tanpa meminta tolong pada Lansaka, sudah membuktikan bahwa Rafael masih punya hati.

"Nggak jadi, kita balik sekarang," putus Lansaka.

Odeiva mengangguk setuju. "Tapi Mas hebat banget, mau maafin Rafael. Kalau aku, mah, udah aku mintai ganti rugi. Atau minimal bikin dia menyesal udah bikin malapetaka di hidup orang lain."

Lansaka tertawa mendengarkan penuturan penuh kejujuran dari sang istri. "Itu namanya bersikap dewasa, nggak kayak kamu, apa-apa harus dibalas," cibirnya, "mohon maaf, Mas ini laki-laki dewasa, bukan anak kecil."

"Halah, bacot. Lepasin tanganku."

Bukannya mengindahkan, Lansaka semakin mengeratkan genggaman. "Mas nggak punya alasan buat lepasin. Gimana, dong?"

**

Vote dan komen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang