OD 39 : Mohon Dimengerti

16.9K 1.6K 30
                                    

Bukannya menjawab pertanyaan Odeiva, Lansaka malah melengos malas dan berbaring di ranjang. Tadi dirinya ditolak mentah-mentah untuk sekadar membuang penat di pangkuan sang istri, maka saat ini kesempatan baginya membuat perempuan itu kesal, sama seperti yang tadi dirasakan.

"Mas!" sentak Odeiva.

Lansaka memejamkan mata, berpura-pura tak mendengarkan dan fokus untuk segera tidur.

"Maaas!"

Selimut yang menutupi tubuh Lansaka tersingkap, membuat kehangatan itu seketika menghilang. Ia menghela napas kesal, beginilah bedanya laki-laki dan perempuan. Jika tadi Lansaka mengalah pada sang istri yang tidak meminjamkan pangkuan padanya, lain hal dengan apa yang terjadi saat ini. Odeiva berdiri berkacak pinggang, masih dengan menggunakan gaun dan riasan yang belum dihapus.

"Capek, mau istirahat," ucapnya, meminta pengertian.

"Apa susahnya ngomong, anak kamu atau enggak?" Nampaknya Odeiva tidak akan memberikan suaminya waktu untuk istirahat walau hanya sebentar. "Kasih tahu, dan selanjutnya aku yang putusin gimana nasib pernikahan kita."

Lansaka sejak awal sudah menduga bahwa istrinya ini akan mengatakan hal tersebut, oleh sebabnya ia malas membahas malam ini dan berencana akan menyisihkan waktu besok untuk membahas tanpa ada hambatan, seperti tubuh lelah dan mata ngantuk, contohnya.

"Besok aja," Lansaka bangkit sebentar untuk menarik selimut dan kembali berbaring, "kalau aku bilang capek, ya, capek."

Istrinya itu berdecak kesal, terdengar hentakan di lantai. "Awas aja besok menghindar."

Lansaka mengintip apa yang dilakukan oleh istrinya dari balik selimut, terlihat Odeiva masuk ke walk-in closet dengan wajah bersungut-sungut. Merasa bahwa untuk saat ini dirinya aman dari amukan Odeiva, membuatnya berbaring terlentang dan menatap langit-langit kamar.

Kepalanya berputar kejadian detik demi detik yang dilewatkan saat berada di London bersama sang bunda. Tak ada detik yang berlalu tanpa omelan dan kemarahan wanita itu, membuat Lansaka merasa risi dan kabur setelah melakukan tes DNA.

Di sinilah dirinya sekarang, kembali ke Indonesia tanpa bersama dengan wanita yang melahirkannya. Ya, Veronika belum ingin kembali sebelum mendapatkan hasil, sedangkan Lansaka sudah terlalu muak mendapatkan luapan emosi yang tak henti.

"Mungkin hasilnya udah keluar," lirihnya, diakhiri dengan desah berat.

Lansaka mematikan ponselnya sejak masuk ke pesawat hingga detik ini, karena tak ingin mendengarkan kabar dari bundanya.

Terdengar derap langkah mendekat, Lansaka cepat memejamkan mata. Ia tak tahu apa yang dilakukan Odeiva, yang jelas bisa dirasakan sebuah benda dilempar ke atas kasur, diikuti dengan suara kesal perempuan itu.

"Kamu nggak ada sopannya, ya!" semprot Odeiva tanpa bisa ditahan, "tadi bunda telpon, katanya kamu tinggalin bunda di London!"

Lansaka yang tengah pura-pura tidur, membuka mata dan menatap istrinya tersebut. "Apa kata bunda?" tanyanya, santai.

Odeiva melongo menatap sang suami. "Gila, kamu kok santai banget udah buat salah? Itu bunda, wanita yang melahirkan kamu. Kamu nggak apa bikin kesel aku, tapi ke bunda nggak boleh."

Mendengarkan omelan Odeiva, membuat Lansaka menarik bantal dan menutup wajahnya dengan bantal tersebut. "Aku capek. Di London kena omel, di sini juga kena omel. Bener-bener nggak ada tempat aman," gerutunya.

"Besok kita harus bicara!" Odeiva mengatakan dengan nada mengancam.

Lansaka hanya membalas dengan gumaman, kemudian mengubah posisi mencari kenyamanan. Ia hanya ingin istirahat malam ini, dan untuk besok, agar bisa menghindari omelan, Lansaka berencana pergi ke kantor sebelum Odeiva bangun.

**

Odeiva menatap layar ponselnya sejak mata ini terbuka lebar dan merasa bahwa tidurnya sudah cukup. Lansaka masih terlelap, hal yang diharapkannya sebelum tidur. Ya, Odeiva memang tidak akan melepaskan pengawasan dari lelaki itu, yang sepertinya akan menghindarinya hari ini.

Ditatapnya wajah tersebut, begitu tenang, tak terdapat garis tegas atau ekspresi lainnya yang sering dilayangkan pada Odeiva. Melihat itu membuatnya sedikit merasa tenang, sebab hal itu menunjukkan bahwa untuk saat ini sepertinya Lansaka tidak akan sewot padanya.

Odeiva kembali menatap layar ponselnya, mengusap layar ke atas, kemudian ke bawah. Begitu seterusnya sampai ia paham dengan isi obrolan di grup chat yang berisi teman sekelasnya semasa kuliah.

Obrolan mereka lebih banyak membahas  tentang Odeiva, dan hal itu membuatnya merasa bangga karena mampu menjadi pusat perhatian, padahal yang menikah adalah Adel. Ia pun semakin besar kepala di saat menyadari bahwa sampai detik ini Adel masih menjadi penyimak di antara obrolan mereka.

Ya, itu terlihat dari chat yang Odeiva kirimkan sejak sebelum tidur, nama Adel tertera di bagian 'dibaca'. Senyum miring Odeiva seketika tertarik ke atas, semakin tertarik kala melihat satu per satu foto yang dikirimkan di grup, lebih banyak foto bersamanya dibandingkan membagikan foto bersama pengantin.

"Astaga!" jerit lelaki di sebelahnya.

Odeiva menoleh, mendapati Lansaka yang bangkit dengan gerak tiba-tiba. "Kenapa?" Mengerutkan kening melihat kelakuan suaminya itu.

"Ini jam berapa?" Lansaka bertanya padanya sembari menoleh. Wajah dan ekspresi bak orang yang tengah diburu waktu.

"Jam empat subuh, kenapa?"

Lelaki itu mengucek matanya, detik kemudian menghentikan aktivitas itu dan menatap sang istri dengan tatapan horor. "Kok kamu udah bangun?!"

Odeiva mendengkus, benar dugaannya, Lansaka memang berniat akan menghindarinya. "Niat mau pergi subuh, ya?" ia berdecak, "nggak akan kubiarkan. Tidur aja lagi, aku jagain, kok, tenang aja."

Lansaka menelan ludah susah payah. "Bener-bener perempuan iblis," desisnya.

"Apa?!" Odeiva menatap nyalang, "kamu yang salah, aku yang dikatain."

Lelaki itu menempelkan telunjuk ke depan bibirnya sendiri. "Aku mau tidur lagi, jangan berisik," berbaring kembali, "aaah ... masih subuh udah dengerin istri ngoceh, dapet pelukan, kek. Padahal baru ketemu setelah sekian lama, tapi dia nggak kangen sama sekali."

Odeiva memutar bola mata mendengarkan penuturan penuh protes tersebut. Jika dipikir-pikir, ia memang sama sekali tak merasakan rindu ketika berada jauh dari Lansaka, hanya saja saat berada di apartemen sendirian, Odeiva sering kali merasa kesepian.

"Suami pergi, istri malah nyusun rencana balas dendam ke sahabatnya," Lansaka masih terus menggerutu, "ditelpon malah jarang diangkat, di-chat juga jarang dibalas."

"Urusin urusan masing-masing, jangan ngedumel kayak gitu," sewot Odeiva.

Lansaka menoleh. "Kalau bukan istriku, nggak bakalan aku urusin," ia berdecak berkali-kali menatap wajah samping istrinya yang keras kepala, "aku nikahi kamu, itu berarti aku bertanggung jawab atas kamu. Jadi, berhenti mencari musuh di luar sana, fokus aja ke pernikahan kita."

Odeiva membuang napas kasar, dibalasnya tatapan tersebut. "Sebelumnya kita bakalan baik-baik aja, Mas. Aku udah berniat ngasih seluruh hidup aku buat kamu. Tapi semua niat itu hilang gitu aja, karena kamu, bukan karena aku dan balas dendamku."

Lelaki itu tersenyum kecut, di dalam remangnya pencahayaan, Odeiva bisa menyadari akan hal itu. Namun, dirinya sama sekali tak iba, sebab kata-kata Lansaka tadi sedikit merobek lukanya yang baru saja sembuh.

"Maaf," lirik suaminya itu, "kalau ditanya, Mas juga nggak mau punya anak sebelum nikah. Tapi, Li, Mas serius soal pernikahan kita."

"Karena perempuan yang Mas cintai nggak disukai sama bunda?" tembaknya, tanpa memikirkan dampak.

**

Vote dan komeeeen

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang