OD 49 : Nama atau Cobaan (END)

36.1K 1.7K 63
                                    

Jika malam gagal, subuh, tak ada yang tahu.

Siapa yang memulai, tentu insting hewani bernafsu. Masih tidak disangka dan menyangka, Odeiva mampu melewati apa yang ditakutkan olehnya selama menjalani pernikahan. Penyerahan, menyerahkan, atau lebih tepatnya ia benar-benar menerima segala bentuk perlakuan dari lelaki yang kini menjadi suaminya.

"Lupa!" Odeiva menepuk pelan kepalanya.

"Dei?"

Ia segera menoleh, menatap sang suami yang baru saja masuk ke dalam ruangan kerja. "Mas, aku mampir." Menyengir seperti kuda, tetapi sebenarnya ia cukup malu menatap pria itu secara langsung.

Senyum Lansaka mengembang sempurna, berjalan cepat menghampiri istrinya yang hari ini entah kenapa kecantikannya bertambah berkali-kali lipat. Bak seseorang yang telah disihir, ia tak bisa memalingkan pandangan dari istrinya tersebut.

"Mas, aku bawain makan siang," ujar Odeiva, "tapi sebenarnya bukan aku yang masak. Mama nelpon, nyuruh anterin makanan ke kantor-Mas?" Ia menatap heran pada suaminya yang tak berkedip meniliknya begitu intens.

"Cantik," ungkap Lansaka, tanpa berpaling.

"Apaan, sih!" Odeiva protes, dipukulnya bahu pria itu, kemudian fokus pada kotak makanan.

Ia ingat betul bagaimana ekspresi sang mama saat menyediakan makanan tersebut, begitu antusias seakan yang disediakan makanan adalah seorang ternama di Nusantara ini. Odeiva tahu alasannya, kata Tiwi, 'Supaya suami kamu makin cinta, dan kamu tetap dihargai meskipun belum hamil.'

Entah siapa yang membuat Tiwi mengatakan hal tersebut. Padahal, Odeiva tetap merasa dihargai, meskipun ia dengan terang-terangan mengatakan belum ingin memiliki keturunan, Lansaka tetap menghargai dan memandangnya sebagai pasangan hidup. Buktinya, sebelum melakukan, suaminya itu tak lupa menggunakan pengaman.

"Kamu dari rumah mama?" tanya Lansaka, setelah berusaha kembali ke bumi.

"Iya, mama titip salam," Odeiva membuka kotak makan itu, "habisin, katanya."

Lansaka mengangguk. "Kamu makan bareng Mas, 'kan?"

Ia menggeleng sebagai jawaban. "Udah makan di rumah mama, Mas makan sendiri aja."

Meskipun mengharapkan bisa makan bersama di kantor, nyatanya Lansaka tetap mengikuti ucapan istrinya itu. Lagi pula, ia telah merasakan lapar setelah mengikuti rapat selama hampir tiga jam lamanya.

"Ngomong-ngomong, Li. Mas bakalan isi seminar di kampusnya Oka," cerita Lansaka, "tiga hari lagi. Kamu mau ikut?"

Odeiva mengernyit. "Buat apa? Biasanya juga, Mas pergi sendiri kalau kerja di luar kantor."

"Itung-itung bulan madu. Bukan berarti gantiin bulan madu kita yang gagal, ya ... sekedar pergi bersama aja."

"Bilang aja mau ditemenin," tembak Odeiva, dan benar, Lansaka menyengir salah tingkah.

"Itu kamu pintar," sahutnya, "sekalian kita ketemu Oka di sana."

Odeiva menimbang, jika dipikir-pikir seru juga, bisa menemui Oka di kosnya tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Tentu, Odeiva akan melihat aktivitas adiknya itu tanpa kebohongan sama sekali.

"Kamu pasti mau," tebak Lansaka, sebab bisa dilihatnya senyum miring sang istri. "Kelihatan banget, kamu bakalan jahilin Oka."

"Nggak ada yang tahu," Odeiva mengedikkan bahu, "aku mau. Tapi jangan kasih tahu Oka dulu."

Lansaka berdecak, melihat tingkah wanita itu. "Ketahuan banget mau ngelakuin sesuatu. Ngomong-ngomong, nama panjang Oka, apa? Biar nanti nyari di kampus mudah. Dia teknik, 'kan?"

Kubuat Konten, Suami Kaya Kudapat (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang